Selasa, 21 April 2015

Menakar Dukungan Papua di Pasifik

Menakar Dukungan Papua di Pasifik

Neles Tebay  ;  Dosen STFT Fajar Timur
dan Koordinator Jaringan Damai Papua di Abepura
SINAR HARAPAN, 15 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Konflik Papua dipandang sebagai masalah domestik Indonesia. Oleh sebab itu, seperti yang diakui banyak negara asing juga, penyelesaian konflik ini merupakan wewenang pemerintah Indonesia.

Meski demikian, pemerintah  perlu serius memperhatikan perkembangan dukungan politik terhadap  perjuangan  Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang terjadi tiga tahun terakhir ini, di empat Negara Pasifik Selatan yang bergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG), yakni Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Fiji, dan Vanuatu.

Vanuatu merupakan satu-satunya negara Melanesia yang pemerintahnya mendukung perjuangan OPM. Selain pemerintah, dukungan terhadap Papua Barat datang dari tokoh adat, gereja-gereja, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dukungan mereka didasarkan pada perkataan Fr Walter Lini, pendiri Negara Vanuatu, “Vanuatu is not free until all Melanesia is free (Vanuatu belum merdeka sampai semua Melanesia merdeka).”

Di Kepulauan Solomon, ketika menjadi Perdana Menteri, Gordon Darcy berhasil membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia. Namun, pemerintahan kini dipimpin perdana menteri baru yang mendukung perjuangan Papua.  Rakyat yang mendukung Papua Barat membentuk organisasi bernama Solomon Islands for West Papua (SIFWP), dengan tujuan to see West Papua gain its freedom.

Sekalipun pemerintah Fiji masih menjaga hubungan diplomatik dengan Indonesia, rakyatnya bangkit memberikan dukungan politik kepada the Melanesian brothers and sisters of West Papua. Bulan Februari lalu, rakyat bahkan sudah meluncurkan Fiji Solidarity Movement for West Papua’s Freedom. Partai oposisinya berpihak pada Papua Barat.

“Orang-orang Melanesia di Papua Barat sudah sekian lama diteror dan ditindas karena asiprasi mereka akan kebebasan,” kata pemimpin partai oposisi, Ro Feimumu Kepa (The Fiji Times, 17/1/2015). Bahkan, klub nasional rugby dari Fiji, dalam turnya membawa dan mengibarkan Bendera Bintang Kejora yang identik dengan bendera OPM.

Selain LSM lokal, gereja-gereja di Fiji juga mendukung perjuangan Papua Barat. Rev Tevita Nawadra selaku pemimpin Gereja Methodis yang merupakan gereja terbesar di Fiji, mengatakan, “Sudah terlalu lama kita tidak berbicara tentang penindasan secara brutal, yang dilakukan Indonesia terhadap orang Papua Barat.”

Gereja memberikan dukungan, menurut Manumalo Tuinanumea selaku pemimpin Dewan Gereja-gereja Fiji, agar kebebasan Papua Barat dicapai secara damai dan bahwa permohonan keanggotaan mereka pada MSG dikabulkan (Fiji Times Online, 20/2/2015). Selain itu, Dewan Gereja-gereja Pasifik (Pacific Council of Churches) yang berkedudukan di Fiji mendukung penuh hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua Barat.

Di luar perkiraan orang, suatu perubahan terjadi di Papua Nugini. Selama ini, para pemimpin pemerintahan Papua Nugini biasanya menjaga dan mempertahankan hubungan diplomatik yang baik dengan Indonesia, tidak pernah mempersoalkan isu dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua dalam pertemuan publik. Namun, Peter O’Neill selaku perdana menteri, pada pertemuan nasional para pemimpin Papua Nugini di Port Moresby, 5 Februari 2015, membuat kejutan karena mengakui adanya penindasan terhadap orang Papua Barat.

O’Neill mengakui, “Sering kali kita lupa keluarga kita sendiri, saudara/i kita sendiri, terutama mereka di Papua Barat.”

Setelah itu, ia melanjutkan, “Saya pikir, sebagai sebuah negara, saatnya sudah tiba untuk berbicara tentang penindasan orang-orang kita. Gambar-gambar tentang kebrutalan terhadap orang-orang kita muncul setiap hari melalui media sosial, tetapi kita tidak memberikan perhatian. Kita mempunyai kewajiban moral untuk berbicara bagi mereka, yang tidak diizinkan untuk berbicara. Kita mesti menjadi mata bagi mereka yang dibutakan. Papua Nugini, sebagai pemimpin regional, mesti memimpin diskusi tentang penindasan di Papua Barat dengan teman-teman kita, secara dewasa.”

Ia tidak mempertanyakan kedaulatan Indonesia, tetapi pernyataannya memberikan penguatan baru terhadap rakyat dan anggota-anggota parlemen, yang telah lama mendukung perjuangan OPM. Ia bahkan meminta Indonesia untuk memberikan dukungan kepada Papua Barat untuk menjadi anggota MSG.

Tampak dukungan terhadap Papua muncul dari semua negara Melanesia. Orang Melanesia telah menjadikan konflik Papua sebagai konfliknya. Orang Papua dipandang sebagai our Melanesian brothers and sisters of West Papua.

Indonesia dinilai melakukan pendudukan atas Papua Barat. Dukungan yang semakin kuat dan mengakar ini dapat memengaruhi keputusan politik pemerintahan negara-negara Melanesia.

OPM yang selama ini dikenal terpecah belah dalam faksi-faksi perlawanan, sudah bersatu dalam sebuah wadah koordinatif yang disebut United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Papua Barat, melalui ULMWP, telah mengajukan kembali aplikasi permohonannya sebagai anggota MSG, pada 4 Februari 2015. Para pemimpin negara Melanesia akan menjawab permohonan tersebut  dalam pertemuan MSG, Juli 2015.

Rekomendasi

Kita tidak menghendaki Papua mendapatkan dukungan dari seantero Pasifik dan konflik Papua menjadi isu Pasifik. Pemerintah mesti mengokohkan relasi diplomasi dan kerja sama ekonomi dengan negara-negara Melanesia, seperti kunjungan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi ke Papua Nugini pada 26-28 Februari, Kepulauan Solomon pada 28 Februari, dan Fiji pada 1 Maret 2015 (Antara, 26/2/2015).

Kunjungan menlu perlu ditindaklanjuti pemerintah, dengan membangun komunikasi konstruktif dan menyampaikan data-data pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat, selama 50 tahun integrasi, kepada pemerintah dan organisasi masyarakat sipil di Pasifik Selatan. Informasi ini akan mengimbangi informasi tentang Papua yang disebarkan OPM.

Media sosial mesti digunakan dalam menyebarkan informasi, yang memperlihatkan pemerintah sungguh menghormati HAM orang Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar