Melindungi
Petani
Andi Perdana Gumilang ; Peneliti
dan Mahasiswa Program Pascasarjana IPB, Anggota Jaringan Petani Sehat
Indonesia (JPSI)
|
SINAR
HARAPAN, 22 September 2014
Setiap tanggal
24 September diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Penetapan Hari Tani
Nasional oleh keputusan Presiden Soekarno tanggal 26 Agustus 1963 Nomor
169/1963, menandakan pentingnya peran dan posisi petani sebagai entitas
bangsa.
Adanya UU Nomor
5/1960 tentang peraturan dasar Pokok-pokok Agraria atau UUPA juga menunjukkan
kepedulian negara, terutama para petani penggarap yang mulai diwujudkan.
Ini tentu saja
sejalan dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan, yaitu menyejahterakan
rakyatnya dengan melenyapkan undang-undang pertanahan yang kolonial dan
feodal, yang menghambat kemajuan petani khususnya petani penggarap.
Namun, pada
Hari Tani Nasional kali ini, fakta manisnya sektor pertanian hanya dinikmati
segelintir orang yang notabene merupakan pihak minoritas. Mereka adalah para
pedagang/penyalur produk pertanian. Petani sebagai produsen masih belum dapat
merasakan nikmatnya usaha mereka.
Kaum tani
Indonesia belum menemukan kesejahteraan hakiki. Problem yang dihadapi kaum
tani Indonesia saat ini bersumber dari usaha kolonial baru bernama
neoliberalisme.
Permasalahan
Berdasarkan
data statistik saat ini, jumlah petani Indonesia adalah 26,14 juta orang.
Ironisnya, sebagian besar petani Indonesia yang menjadi tulang punggung
kedaulatan negara masih tertimpa kemiskinan dan kurang mendapatkan perhatian
serius.
Sektor
pertanian masih dilirik sebelah mata. Setidaknya ada empat faktor yang
dialami petani agar bisa mendapat perhatian oleh semua pihak.
Pertama, lahan
pertanian semakin menurun drastis. Basis industri yang semakin cepat
berkembang, bahkan setiap tahunnya memakan lahan pertanian berakibat ratusan
ribu hektare sektor lahan semakin berkurang, dan petani berbondong-bondong
alih profesi.
Usaha
penjajahan baru neoliberalisme memperlihatkan bagaimana perusahaan besar baik
yang bergerak di bidang perkebunan, tambang, dan lainnya semakin leluasa
menjarah tanah-tanah petani. Negara tampak tak berpihak kepada petani ketika
terjadi konflik antara perusahaan besar dengan petani. Ini menyebabkan kepemilikan
tanah petani Indonesia sangat sempit.
Sebagai
gambaran, petani negeri ini rata-rata hanya memiliki sawah dengan luas 0,5
ha. Ini sangat berbeda dengan petani Thailand yang rata-rata memiliki luas
sawah 4 ha.
Bila dibuat
penghitungan berdasar produktivitas sawah dengan standar rata-rata per musim
4 ton per ha. Jika rata-rata sawah yang dimiliki 0,5 ha berarti semusim
petani panen 2 ton gabah kering panen (GKP).
Rata-rata
harga GKP Rp 2.000 per kg. Jadi selama satu musim (kira-kira empat bulan)
petani hanya mendapatkan Rp 4 juta. Berarti Rp 1 juta per bulan.
Itu pun belum
dipotong dengan modal tanam berupa benih, pupuk, traktor untuk olah lahan,
atau tenaga yang dikeluarkan selama perawatan sawah. Bisa dibayangkan berapa
total uang yang dibawa pulang petani untuk keluarganya.
Kedua,
produktivitas rendah. Masalah produktivitas dipengaruhi oleh beberapa hal di
antaranya lahan, varietas, dan keterampilan petani. Tidak dimungkiri ada
lahan yang memiliki tingkat kesuburan yang berbeda, sehingga ada pengkelasan
lahan.
Lahan kelas A
mempunyai potensi produktivitas yang tinggi, disusul dengan kelas B, C, dan
seterusnya yang memiliki kualitas lebih rendah. Kualitas lahan ini
dipengaruhi kesuburan dan atau kandungan unsur hara pada tanah.
Jenis varietas
tanaman juga memiliki peran besar dalam produktivitas tanaman. Kebanyakan
petani belum begitu memperhatikan peranannya. Petani kadang kala masih asal
dalam pemilihan jenis varietas. Bahkan, banyak pula yang tidak mempedulikan
varietas yang ditanam, yang penting mereka tanam padi. Entah itu dari
varietas unggul atau tidak.
Padahal,
dengan mengetahui jenis varietas yang ditanam, petani dapat memiliki gambaran
tentang bagaimana resistensi tanaman yang akan ditanam terhadap hama dan
penyakit tanaman, berapa rata-rata produktivitasnya, cara pemupukannya,
pemeliharaannya, dan sebagainya. Dengan demikian petani dapat mengoptimalkan
varietas yang ditanam dengan lahan atau lingkungannya.
Ketiga,
ancaman serangan hama dan penyakit tanaman (HPT) dan perubahan iklim.
Serangan HPT sering menjadi momok besar bagi petani. Keberadaan serangan HPT
tertentu pada tanaman dapat membuyarkan seluruh mimpi-mimpi petani.
Besarnya
harapan petani pada awal musim tiba-tiba harus dihadapkan pada kenyataan.
Serangan HPT dapat menurunkan produktivitas tanaman bahkan kadang sampai
membuat petani gagal panen.
Begitu pula
perubahan iklim yang mengganggu pola tanam. Perubahan iklim ini dapat
menyebabkan kegagalan produk pertanian akibat perubahan cuaca yang ekstrem
yang bisa mendorong bencana banjir dan sebagainya.
Keempat,
Kebijakan yang belum berpihak. Saat ini pemerintah masih belum berpihak
kepada petani. Hal ini dibuktikan dengan masih kurangnya sarana
infrastruktur, minimnya subsidi pertanian, sulitnya jaminan akses modal dan
pasar, kurangnya ketersediaan teknologi yang memadai serta impor pangan yang
meningkat merupakan contoh nyata bagaimana tidak adilnya dalam melindungi
petani.
Sektor
pertanian tanpa dukungan infrastruktur, teknologi, dan inovasi pertanian akan
berpengaruh pada rendahnya daya saing dan tingkat kesejahteraan petani. Petani
sering mengalami kerugian akibat tidak memiliki posisi tawar atas tanaman
yang mereka tanam. Dalam penentuan harga masih banyak yang ditentukan para
tengkulak.
Perlindungan Nyata
Hari Tani
Nasional hanya akan menjadi acara seremonial tanpa aksi nyata bila belum
menemukan jalan terang dalam melindungi dan mensejahterakan kaum petani.
Karena itu, negara dituntut semakin memberikan perhatian lebih pada kaum tani
dalam usaha meningkatkan perlindungan dan kesejahteraannya, terlebih
menjelang pasar bebas ASEAN 2015.
Bila UUPA
memperlihatkan bagaimana petani penggarap oleh negara didahulukan dalam usaha
memajukan kesejahteraan rakyat, kini demikian pula pemerintah dituntut
langkah-langkah dan terobosan yang kongkret dalam usaha memajukan kehidupan
kaum taninya.
Kaum tani
Indonesia tentu tidak tinggal diam bila terus didesak kalah oleh
kepentingan-kepentingan neoliberal. Berbagai wadah persatuan kaum tani perlu
aktif didirikan dalam persatuan perjuangan melawan penjajahan baru
neoliberalisme.
Akhirnya,
penyelesaian dalam mengatasi permasalahan pertanian yang terjadi harus terus
dilakukan secara integral. Berbagai pihak baik itu pemerintah, akademikus,
peneliti, bahkan petani, sama-sama memiliki peran penting. Kita berharap
kebijakan pemerintahan baru Jokowi-JK saat ini mampu melindungi petani secara
nyata serta mampu mewujudkan kedaulatan pangan dan petani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar