Harapan
Petani untuk Presiden
Dwi Andreas Santosa ; Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor; Ketua
Umum Bank Benih Tani Indonesia
|
KOMPAS,
29 September 2014
Satu hal yang luput dari para pengamat adalah peran petani yang luar
biasa dalam memenangkan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pasangan presiden dan
wakil presiden ketujuh. Berdasarkan hasil survei yang dikeluarkan Kompas
sehari setelah pencoblosan (Kompas 10/7/2014), petani menduduki posisi
tertinggi dari kelompok pemilih yang memberikan suara ke Jokowi-JK, yaitu
59,4 persen. Urutan selanjutnya ibu rumah tangga (55,2 persen),
pelajar/mahasiswa (54,1 persen), pedagang (51,3 persen), pengangguran (47,6
persen), pegawai swasta (40,4 persen), pensiunan (38,7 persen), dan pegawai
negeri sipil (35,2 persen). Dengan jumlah rumah tangga petani 26,15 juta dan
dengan asumsi terdapat tiga pemilih per rumah tangga, menghasilkan angka
78,45 juta. Apabila suara petani tersebar merata pada kedua kandidat (50-50),
Jokowi-JK memperoleh angka 63.623.550 (47,63 persen) sehingga kalah dari
Prabowo-Hatta dengan angka 69.950.744 (52,37 persen).
Meski miskin liputan media, petani bergerak luar biasa dalam
memenangkan Jokowi-JK. Salah satunya melalui beragam organisasi relawan,
seperti Seknas Tani Jokowi, Jokowi untuk Petani Nusantara, dan Aliansi Tani
Indonesia Hebat. Ratusan ribu petani kecil menyumbangkan yang mereka miliki
berupa gabah, beras, dan hasil pertanian lain untuk mendukung gerakan
memenangkan Jokowi-JK.
Sudah puluhan tahun petani merindukan sosok yang mampu mengangkat
penghidupan dan kehidupan mereka dari keterpurukan. Dalam khazanah Jawa itu
diwujudkan dalam harapan munculnya Satrio Piningit atau Ratu Adil (istilah
yang muncul pada zaman pujangga Keraton Mataram) yang diilhami dari mahakarya
Prabu Sri Jayabaya dari Kerajaan Kediri (1135-1157 M). Hal sama dikatakan
Soekarno pada pleidoi persidangan Landraad di Bandung 1930 yang menyatakan,
”Apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini masih terus menyalakan
harapan rakyat? Tak lain ialah karena hati rakyat yang menangis itu, tak
habis-habisnya menunggu-nunggu, mengharap-harapkan datangnya pertolongan.”
Pertolongan itu diharapkan datang dari Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu yang
mampu membawa Indonesia gemah ripah loh jinawi toto tentrem kertoraharjo
(mencapai kemakmuran) melalui suro diro joyoningrat lebur dening pangastuti
(keluhuran budi mengalahkan angkara murka) atau meminjam istilah Jokowi
melalui revolusi mental.
Ingatan itu terus membekas di kalangan masyarakat petani Jawa pada
khususnya atau petani Indonesia pada umumnya. Pesta demokrasi lima tahunan
yang selama ini berlangsung tak pernah menyuntikkan api semangat untuk petani
sebesar pesta demokrasi tahun ini. Mereka memiliki harapan luar biasa.
Situasi
petani kecil
Sebanyak 62,8 persen dari 28,55 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia
(2013) petani, sedangkan sebagian besar sisanya juga petani yang terpaksa
keluar dari lahan garapan mereka. Sensus Pertanian menunjukkan tercerabutnya
keluarga tani dari lahan garapan mereka sejumlah 500.000 rumah tangga per
tahun selama 10 tahun terakhir. Data penurunan jumlah rumah tangga petani
disambut gembira beberapa kalangan yang menunjukkan proses ”involusi
pertanian” berlangsung. Petani pindah profesi masuk sektor industri dan jasa,
yang menyebabkan jumlah petani menurun yang berdampak positif karena jumlah
lahan yang dikuasai per rumah tangga petani meningkat.
Fenomena itu tak terjadi, yang sebenarnya terjadi mereka didera
kemiskinan akut sehingga terpaksa harus keluar dari lahan atau tanah garapan
mereka. Sebagai contoh di Jawa Tengah, hampir di semua golongan luas
penguasaan lahan, jumlah rumah tangga petani menurun 10 tahun terakhir. Hanya
di kelompok petani yang memiliki luas lahan 0,1-0,2 hektar yang sedikit
meningkat, sebanyak 8.658 rumah tangga tani. Penurunan drastis terjadi pada
kelompok dengan luas lahan kurang dari 0,1 hektar, yaitu 1.321.787 keluarga
tani. Kelompok kedua yang mengalami penurunan cukup besar adalah pemilik
lahan 0,2 hektar-0,5 hektar dan 0,5 hektar-1 hektar. Bahkan petani kaya yang
punya lahan lebih dari 1 hektar jumlahnya juga turun (diolah dari ST 2013).
Fenomena konversi kepemilikan ini jauh lebih berbahaya bagi kelangsungan
penyediaan pangan kita dibandingkan dengan sekadar konversi lahan dari
pertanian ke non-pertanian.
Kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin juga kian lebar. Hanya
dalam tempo sangat singkat rasio Gini (alat ukur ketimpangan pendapatan
penduduk, semakin tinggi semakin timpang) meningkat tajam dari 0,35 (2008)
menjadi 0,41 (2013). Pendapatan per kapita petani saat ini jauh di bawah
garis kemiskinan. Sebagian besar rumah tangga pertanian, petani padi, dan
palawija, pendapatannya hanya Rp 912.000 per rumah tangga petani per bulan
(diolah dari Iswadi, Kompas, 14/7). Padahal, mereka selama ini yang mencukupi
kebutuhan pangan pokok kita.
Kajian penulis menghasilkan angka hampir mirip, antara Rp 1.000.000 dan
Rp 1.300.000 per bulan per rumah tangga petani padi untuk lahan beririgasi
teknis. Jika harus menyewa lahan, pendapatan petani hanya Rp 670.000-Rp
1.000.000 per bulan. Secara agregat (BPS 2014), rata-rata pendapatan rumah
tangga pertanian dari usaha pertanian juga menghasilkan angka tak jauh
berbeda dengan angka di atas, Rp 1,03 juta per bulan. Ironisnya, angka itu
lebih rendah dari upah minimum provinsi terendah di Indonesia 2014. Upaya
petani bertahan hidup menyebabkan mereka harus mengais rezeki di luar
pertanian atau beralih usaha ke pertanian hortikultura yang berisiko sangat
tinggi. Usaha budidaya cabe, misalnya, perlu modal Rp 50 juta-Rp 80 juta per
hektar per musim, bawang merah Rp 35 juta-Rp 75 juta per hektar per musim.
Ketika harga cabe jatuh hingga Rp 2.000 per kilogram seperti dua bulan lalu,
itu menimbulkan dampak luar biasa bagi keluarga petani.
Impor pangan 10 tahun terakhir meningkat luar biasa, 173 persen untuk 8
pangan utama, sedangkan nilai devisa yang digunakan meningkat tajam dari 3,34
miliar dollar AS (2003) menjadi 14,90 miliar dollar AS (2013) atau hampir 4,5
kali lipat. Jika data itu disandingkan dengan anggaran pemerintah untuk
pangan dan pertanian, akan menghasilkan ironi karena anggaran sektor itu
meningkat 611 persen hanya dalam 9 tahun. Sering dikemukakan impor pangan
serta integrasi masif sistem pangan Indonesia dengan global adalah penyebab
utama yang menggerus kapasitas petani memproduksi pangan. Harga impor yang
lebih murah (low artificial price)
dan praktik dumping menyebabkan produk lokal dan produk petani kecil tergeser
produk impor.
Harapan
untuk presiden
Upaya meningkatkan kesejahteraan petani perlu menjadi tujuan utama
pemerintah di bawah presiden terpilih. Pola pikir dan platform ketahanan
pangan yang sudah dikerjakan puluhan tahun ini perlu dirombak mendasar
sehingga dunia pertanian memiliki wajah yang sama sekali baru. Platform yang
hanya menempatkan pangan sekadar komoditas perdagangan, menempatkan petani
hanya sebagai obyek kebijakan, dan penekanan terlalu tinggi pada sisi
konsumen perlu dirombak secara mendasar. Paradigma kedaulatan pangan yang
dijanjikan presiden terpilih dan ingin diwujudkan di Indonesia perlu
dirumuskan dengan tepat, benar-benar dipahami oleh semua birokrat, serta
menjadi roh yang menjiwai semua perumusan kebijakan dan program pertanian dan
pangan.
Sebagai penutup, visi pertanian Indonesia diharapkan: ”Mewujudkan kedaulatan pangan dan reforma
agraria untuk melayani dan memenuhi hak seluruh rakyat atas pangan yang
menyehatkan serta peningkatan kesejahteraan keluarga tani melalui dukungan
penuh negara terhadap redistribusi tanah untuk petani, pengarusutamaan
pertanian keluarga dan agroekologi, serta pelindungan petani terhadap sistem
perdagangan yang tidak adil” (deklarasi
Aliansi Tani Indonesia Hebat, 1 Juni 2014). Penulis yakin harapan petani
akan terpenuhi di pemerintahan mendatang. Dengan memuliakan petani dan
meningkatkan kesejahteraan mereka, kita semua selamat dari jurang kehancuran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar