Rabu, 24 September 2014

Melindungi Petani

Melindungi Petani

Andi Perdana Gumilang ;   Peneliti dan Mahasiswa Program Pascasarjana IPB, Anggota Jaringan Petani Sehat Indonesia (JPSI)
SINAR HARAPAN, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Setiap tanggal 24 September diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Penetapan Hari Tani Nasional oleh keputusan Presiden Soekarno tanggal 26 Agustus 1963 Nomor 169/1963, menandakan pentingnya peran dan posisi petani sebagai entitas bangsa.

Adanya UU Nomor 5/1960 tentang peraturan dasar Pokok-pokok Agraria atau UUPA juga menunjukkan kepedulian negara, terutama para petani penggarap yang mulai diwujudkan.

Ini tentu saja sejalan dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan, yaitu menyejahterakan rakyatnya dengan melenyapkan undang-undang pertanahan yang kolonial dan feodal, yang menghambat kemajuan petani khususnya petani penggarap.

Namun, pada Hari Tani Nasional kali ini, fakta manisnya sektor pertanian hanya dinikmati segelintir orang yang notabene merupakan pihak minoritas. Mereka adalah para pedagang/penyalur produk pertanian. Petani sebagai produsen masih belum dapat merasakan nikmatnya usaha mereka.

Kaum tani Indonesia belum menemukan kesejahteraan hakiki. Problem yang dihadapi kaum tani Indonesia saat ini bersumber dari usaha kolonial baru bernama neoliberalisme.

Permasalahan

Berdasarkan data statistik saat ini, jumlah petani Indonesia adalah 26,14 juta orang. Ironisnya, sebagian besar petani Indonesia yang menjadi tulang punggung kedaulatan negara masih tertimpa kemiskinan dan kurang mendapatkan perhatian serius.

Sektor pertanian masih dilirik sebelah mata. Setidaknya ada empat faktor yang dialami petani agar bisa mendapat perhatian oleh semua pihak.

Pertama, lahan pertanian semakin menurun drastis. Basis industri yang semakin cepat berkembang, bahkan setiap tahunnya memakan lahan pertanian berakibat ratusan ribu hektare sektor lahan semakin berkurang, dan petani berbondong-bondong alih profesi.

Usaha penjajahan baru neoliberalisme memperlihatkan bagaimana perusahaan besar baik yang bergerak di bidang perkebunan, tambang, dan lainnya semakin leluasa menjarah tanah-tanah petani. Negara tampak tak berpihak kepada petani ketika terjadi konflik antara perusahaan besar dengan petani. Ini menyebabkan kepemilikan tanah petani Indonesia sangat sempit.

Sebagai gambaran, petani negeri ini rata-rata hanya memiliki sawah dengan luas 0,5 ha. Ini sangat berbeda dengan petani Thailand yang rata-rata memiliki luas sawah 4 ha.

Bila dibuat penghitungan berdasar produktivitas sawah dengan standar rata-rata per musim 4 ton per ha. Jika rata-rata sawah yang dimiliki 0,5 ha berarti semusim petani panen 2 ton gabah kering panen (GKP).

Rata-rata harga GKP Rp 2.000 per kg. Jadi selama satu musim (kira-kira empat bulan) petani hanya mendapatkan Rp 4 juta. Berarti Rp 1 juta per bulan.

Itu pun belum dipotong dengan modal tanam berupa benih, pupuk, traktor untuk olah lahan, atau tenaga yang dikeluarkan selama perawatan sawah. Bisa dibayangkan berapa total uang yang dibawa pulang petani untuk keluarganya.

Kedua, produktivitas rendah. Masalah produktivitas dipengaruhi oleh beberapa hal di antaranya lahan, varietas, dan keterampilan petani. Tidak dimungkiri ada lahan yang memiliki tingkat kesuburan yang berbeda, sehingga ada pengkelasan lahan.

Lahan kelas A mempunyai potensi produktivitas yang tinggi, disusul dengan kelas B, C, dan seterusnya yang memiliki kualitas lebih rendah. Kualitas lahan ini dipengaruhi kesuburan dan atau kandungan unsur hara pada tanah.

Jenis varietas tanaman juga memiliki peran besar dalam produktivitas tanaman. Kebanyakan petani belum begitu memperhatikan peranannya. Petani kadang kala masih asal dalam pemilihan jenis varietas. Bahkan, banyak pula yang tidak mempedulikan varietas yang ditanam, yang penting mereka tanam padi. Entah itu dari varietas unggul atau tidak.

Padahal, dengan mengetahui jenis varietas yang ditanam, petani dapat memiliki gambaran tentang bagaimana resistensi tanaman yang akan ditanam terhadap hama dan penyakit tanaman, berapa rata-rata produktivitasnya, cara pemupukannya, pemeliharaannya, dan sebagainya. Dengan demikian petani dapat mengoptimalkan varietas yang ditanam dengan lahan atau lingkungannya.

Ketiga, ancaman serangan hama dan penyakit tanaman (HPT) dan perubahan iklim. Serangan HPT sering menjadi momok besar bagi petani. Keberadaan serangan HPT tertentu pada tanaman dapat membuyarkan seluruh mimpi-mimpi petani.

Besarnya harapan petani pada awal musim tiba-tiba harus dihadapkan pada kenyataan. Serangan HPT dapat menurunkan produktivitas tanaman bahkan kadang sampai membuat petani gagal panen.

Begitu pula perubahan iklim yang mengganggu pola tanam. Perubahan iklim ini dapat menyebabkan kegagalan produk pertanian akibat perubahan cuaca yang ekstrem yang bisa mendorong bencana banjir dan sebagainya.

Keempat, Kebijakan yang belum berpihak. Saat ini pemerintah masih belum berpihak kepada petani. Hal ini dibuktikan dengan masih kurangnya sarana infrastruktur, minimnya subsidi pertanian, sulitnya jaminan akses modal dan pasar, kurangnya ketersediaan teknologi yang memadai serta impor pangan yang meningkat merupakan contoh nyata bagaimana tidak adilnya dalam melindungi petani.

Sektor pertanian tanpa dukungan infrastruktur, teknologi, dan inovasi pertanian akan berpengaruh pada rendahnya daya saing dan tingkat kesejahteraan petani. Petani sering mengalami kerugian akibat tidak memiliki posisi tawar atas tanaman yang mereka tanam. Dalam penentuan harga masih banyak yang ditentukan para tengkulak.

Perlindungan Nyata

Hari Tani Nasional hanya akan menjadi acara seremonial tanpa aksi nyata bila belum menemukan jalan terang dalam melindungi dan mensejahterakan kaum petani. Karena itu, negara dituntut semakin memberikan perhatian lebih pada kaum tani dalam usaha meningkatkan perlindungan dan kesejahteraannya, terlebih menjelang pasar bebas ASEAN 2015.

Bila UUPA memperlihatkan bagaimana petani penggarap oleh negara didahulukan dalam usaha memajukan kesejahteraan rakyat, kini demikian pula pemerintah dituntut langkah-langkah dan terobosan yang kongkret dalam usaha memajukan kehidupan kaum taninya.

Kaum tani Indonesia tentu tidak tinggal diam bila terus didesak kalah oleh kepentingan-kepentingan neoliberal. Berbagai wadah persatuan kaum tani perlu aktif didirikan dalam persatuan perjuangan melawan penjajahan baru neoliberalisme.

Akhirnya, penyelesaian dalam mengatasi permasalahan pertanian yang terjadi harus terus dilakukan secara integral. Berbagai pihak baik itu pemerintah, akademikus, peneliti, bahkan petani, sama-sama memiliki peran penting. Kita berharap kebijakan pemerintahan baru Jokowi-JK saat ini mampu melindungi petani secara nyata serta mampu mewujudkan kedaulatan pangan dan petani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar