Senin, 14 Juli 2014

Mencermati Daya Saing Daerah

                                Mencermati Daya Saing Daerah

Y Sri Susilo  ;   Dosen FE Unika Atma Jaya, Yogyakarta
KORAN JAKARTA,  11 Juli 2014
                                                


Konsep daya saing dapat ditinjau dari sisi perusahaan, industri, kelompok industri, negara, atau daerah. Daya saing merupakan salah satu kata kunci yang lekat dengan pembangunan ekonomi daerah (Sri Susilo, 2013). Menurut Porter (1990), daya saing daerah adalah kemampuan menciptakan atau mengembangkan iklim paling produktif bagi bisnis dan inovasi.

Ini membuat investor tertarik. Bagaimana dengan daya saing relatif provinsi di Indonesia? Asia Competitiveness Institute (ACI), Lee Kuan Yew School of Public Policy, dan National University of Singapore (NUS) telah menyurvei 33 provinsi Indonesia. Hasilnya dapat dilihat dalam tabel, yakni daya saing DKI berada di urutan pertama dari 33 provinsi. Peringkat selanjutnya Jawa Timur (2), Jawa Tengah (4), Jawa Barat (5), dan DIY (6). Hasil survei tahun 2011 dibanding 2010 tidak berbeda signifikan.

Hanya ada perubahan peringkat, yakni Jawa Tengah mampu menggeser Jawa Barat. Hasil pemeringkatan tersebut bergantung pada metodologinya dan responden yang dilibatkan dalam survei. Untuk itu, perlu secara singkat mengetahui metode ACI. Dalam survei ACI, komponen daya saing meliputi stabilitas ekonomi makro, perencanaan pemerintah dan institusi, kondisi keuangan, bisnis, dan tenaga kerja, serta kualitas lingkungan hidup dan infrastruktur.

Responden Responden survei mencakup pengusaha (anggota Apindo) dan akademisi (dosen ekonomi dan manajemen). Dari pemerintah provinsi (pemprov), yang menjadi responden adalah perwakilan sekwilda, Bappeda, BKPMD, Disperindagkop, dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah. Untuk menyusun Indeks Daya Saing Provinsi Indonesia tahun 2011, ACI menggunakan 104 indikator. Agar diperoleh indeks konstan, ACI mengubah nilai indikator aktual dari setiap provinsi menjadi nilai terstandar.

Nilai terstandar tersebut mengukur rata-rata kinerja suatu provinsi. Nilai terstandar nol berarti suatu provinsi memiliki skor tepat dalam rata- rata dibanding kinerja 33 provinsi. Jika nilainya negatif, berarti kinerja suatu provinsi di bawah rata-rata. Lalu, andai nilai positif, berarti kinerja suatu provinsi di atas rata-rata. Dengan demikian, nilai negatif menunjukkan daya saing lemah. Sebaliknya, nilai postif menunjukkan daya saing kuat.

Variabel stabilitas ekonomi makro terdiri dari komponen kedinamisan ekonomi regional, keterbukaan dalam perdagangan dan jasa, serta keterbukaan investasi asing. Urutan peringkat adalah DKI, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten. DIY dalam hal ini berada di peringkat ke-22, peringkat terendah provinsi-provinsi lain di Jawa. Dibanding hasil survei tahun 2010, peringkat DIY tersebut menurun dari posisi 18.

Selanjutnya varibel perencanaan pemerintah dan institusi terdiri dari komponen kebijakan pemerintah dan ketahanan fiskal, institusi, pemerintahan, kepemimpinan, kompetisi, standar regulasi, dan penegakan hukum. Berdasarkan variabel ini, urutan peringkatnya DKI, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DIY, dan Banten. Hasil survei tahun 2010 menunjukkan Jawa Barat pada peringkat 9, naik ke peringkat 6 pada tahun 2011.

Sebaliknya, Banten merosot ke peringkat 23 dari peringkat 7 pada tahun 2010. Selanjutnya variabel kondisi keuangan, bisnis dan tenaga kerja mencakup komponen kemampuan keuangan dan efisiensi bisnis, fleksibilitas pasar tenaga kerja, dan kinerja produktivitas. Urutan peringkatnya: DKI, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DIY, dan Banten.

Dari survei ini, peringkat DIY melonjak dari 18 pada tahun 2010 menjadi No 13 pada tahun 2011. Posisi Banten tetap tidak berubah pada peringkat ke-22. Variabel yang terakhir adalah kualitas lingkungan hidup dan infrastruktur. Komponennya mencakup infrastruktur fisik, infrastruktur teknologi, standar hidup, pendidikan dan stabilitas sosial. DIY berhasil menggeser peringkat DKI. Pada tahun 2010, DKI pada peringkat pertama diikuti DIY di tempat kedua. Kemudian, pada tahun 2011, DIY pada peringkat pertama diikuti DKI pada peringkat ketiga.

Peringkat kedua ditempati Kalimantan Timur. Jatim melonjak peringkatnya dari 18 pada tahun 2010 menjadi Nomor 4 Tahun 2011. Implikasi hasil survei ACI, pemerintah provinsi harus mempertahankan atau meningkatkan kinerja terkait variabel komponen daya saing. Ini meliputi stabilitas ekonomi makro, perencanaan pemerintah-institusi, kondisi keuangan-bisnis-tenaga kerja, dan kualitas lingkungan hidup-infrastruktur. Upaya meningkatkan kinerja tentu bukan hanya menjadi kewajiban pemerintah provinsi, namun juga pemerintah kabupaten/kota.

Pemangku kepentingan, seperti Kantor Perwakilan Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Otoritas Jasa Keuangan, perbankan, Lembaga Keuangan Bukan Bank, asosiasi pengusaha, asosiasi profesi, BUMN/BUMD, LSM, dan perguruan tinggi, harus berkontribusi secara memadai. Mereka akan dikoordinasi pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota. Lembaga-lembaga ini akan memfasilitasi agar peran para pemangku tersebut menjadi optimal.

Namun, yang lebih penting lembaga-lembaga ini harus memanfaatkan hasil survei sebagai bahan evaluasi kinerja. Dari situ, sisi-sisi negatif yang menghambat kinerja pemerintahan daerah harus segera diperbaiki. Dengan demikian, pendataan atau inventarisasi masalah yang telah ditemukan lembaga survei benar-benar dimanfaatkan secara baik sehingga dari waktu-ke waktu kinerjanya membaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar