Gaza
dan Berahi Israel Akan Perang
Tom Saptaatmaja ;
Teolog
|
SINDONEWS,
13 Juli 2014
“PERDAMAIAN
tak bisa terwujud dari ketidakadilan“ (Paus Fransiskus)
Perdamaian adalah sesuatu yang rapuh, khususnya di Palestina. Bila
tercipta perdamaian beberapa saat saja, naluri agresi manusia yang doyan
mengobral senjata segera mengoyaknya. Inilah yang terjadi di Jalur Gaza.
Sejak Selasa (8 Juli) Israel kembali menginvasi Jalur Gaza.
Kemungkinan besar, motif serangan Israel ke Gaza kali ini lebih dipicu
oleh kemarahan publik Israel atas tewasnya tiga remaja Israel baru-baru ini,
yang menurut publik Israel dilakukan oleh Hamas. Pemerintah Israel mendapat
tekanan dari publik yang geram atas tewasnya tiga remaja itu. Padahal, belum
tentu Hamas menjadi pelakunya.
Terus
Jadi Sasaran
Gaza yang dikuasai Hamas memang sering jadi bulan-bulanan Israel.
Publik dunia tentu tidak melupakan serangan Israel di Jalur Gaza, 27 Desember
2008-18 Januari 2009 yang menewaskan 1.400 jiwa dan mencederai 5.000 warga
Palestina. Banyak juga pentolan Hamas yang dibunuh Israel. Kita tentu tak
pernah lupa bagaimana tiga rudal Israel menewaskan pendiri sekaligus pemimpin
spiritual Hamas, Sheikh Ahmed Yassin saat ia hendak meninggalkan masjid
seusai menunaikan salat Subuh (22 Maret 2004).
Belum genap sebulan setelah kematian Yassin, giliran Abdel Aziz
Rantissi, pengganti Yassin, juga tewas ditembak rudal tentara Israel (17
April 2004). Israel kembali menewaskan tokoh Hamas, Adnan al-Ghoul, dalam
serangan rudal di Jalur Gaza (21 Oktober 2004). Melihat dahsyatnya dampak
dari serangan ke Gaza pada awal 2009, Pemerintah Israel pernah hendak
diajukan ke Mahkamah Kriminal Internasional di Den Haag dengan tuduhan telah
melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Menariknya, tuduhan tersebut justru dilontarkan oleh jaksa bereputasi
internasional asal Afrika Selatan, Richard Goldstone, yang berdarah Yahudi.
Goldstone bersama timnya telah membuat laporan setebal 575 halaman yang
berjudul “Misi PBB untuk Pencari Fakta dalam Perang di Jalur Gaza”, yang
dipublikasikan pertengahan September lalu. Goldstone menyimpulkan, sesuai
hukum internasional, Israel telah melakukan kejahatan perang di Jalur Gaza.
Goldstonepun merekomendasikan Israel diadili di Mahkamah Internasional.
Laporan Goldstone menggegerkan dunia, termasuk Israel. Amerika Serikat
keberatan atas laporan Goldstone dan menyebutnya tidak objektif karena
memberatkan Israel, sekutu abadinya. Semula, laporan Golstone hendak dibahas
dalam sidang Dewan HAM PBB pada 2 Oktober 2009. Namun anehnya, atas
permintaan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, sidang ditunda hingga Maret
2010.
Langkah Abbas ini dikecam Hamas sehingga makin menjauhkan Hamas dan
Fatah dari agenda rekonsiliasi di internal Palestina. Abbas memang tunduk
kepada tekanan AS yang sudah sejak jauh hari berpesan agar Otoritas Palestina
jangan bersikap terlalu keras pada Pemerintah Israel, termasuk dalam
menyikapi laporan Goldstone. Sebab bila Israel dikerasi, hanya akan membuat
Israel menarik diri dari proses perdamaian.
Boleh jadi pertimbangan Abbas seperti itu juga bertumpu pada fakta
bahwa akses penghidupan dan kehidupan rakyat Palestina hampir semuanya
dikuasai Israel. Sidang HAM PBB yang membahas laporan Goldstone pada Maret
2010 tapi Israel tidak diajukan ke Mahkamah Internasional karena veto Amerika
Serikat.
Para analis masalah Timur Tengah memang sudah yakin bahwa Israel tidak
akan pernah bisa diseret ke Mahkamah Internasional karena masih adanya hak
veto AS. Kecuali itu, Israel selama ini “doyan” melanggar berbagai resolusi
dan regulasi PBB. Misalnya, Israel tidak pernah mematuhi Resolusi No.242/1967
yang mewajibkan negeri Yahudi tersebut untuk mengembalikan wilayah-wilayah
Palestina, Suriah, dan Libanon yang didudukinya secara tidak sah dalam perang
Arab-Israel tahun 1967.
Kegemaran Israel membangun tembok juga pernah dilaporkan ke Mahkamah
Internasional. Namun, Pemerintah Israel justru menganggap Mahkamah
Internasional mencampuri urusan dalam negeri Israel. Pembangunan tembok pun
terus berjalan. Melihat sikap keras kepala Israel, tampaknya prospek
perdamaian di bumi Palestina kian tak cerah. Apalagi masyarakat Internasional
yang diwakili PBB sering kali bersikap tidak adil kepada bangsa Palestina.
Ketidakadilan terbesar terjadi ketika Dewan Keamanan PBB mengesahkan
negara Israel dengan Resolusi No.181/1947 yang berdiri di atas wilayah
Palestina. Padahal kita tahu, berdirinya Israel ditumbali dengan terusirnya
jutaan warga Palestina dari kampung halaman mereka.
Sebagian harus hidup dalam penderitaan di banyak kamp pengungsian,
seperti di Libanon atau Yordania. Populasi warga Kristen Palestina, yang
sudah ada sejak jaman Yesus, misalnya, juga kian menyusut. Mereka lebih suka
pindah ke mancanegara.
Provokasi
Israel
Sayangnya Pemerintah Israel masih terus memprovokasi dengan mendirikan
pemukiman baru bagi warga Yahudi, khususnya di Yerusalem Timur. Proses “Yahudisasi
Yerusalem” yang terus dilakukan Israel jelas provokatif dan kerap dikecam.
Pada kunjungan tiga harinya ke Palestina pada bulan Mei lalu, Paus Fransiskus
sempat mendatangi Masjid Al Aqsa di Jerusalem Senin (26 Mei) dan meminta agar
Israel menghentikan kebijakan provokatifnya atas Palestina.
Paus juga sudah menempuh jalan lembut dengan mengajak Presiden Israel
Shimon Peres dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas berdoa bersama bagi
terciptanya perdamaian di Vatikan pada Minggu (8 Juni). Paus sadar, doa bersama
itu bukan untuk mencari solusi. Tapi, doa mungkin lebih baik daripada
bersikap diam, seperti diamnya banyak negara atas agresi terbaru ke Gaza kali
ini. Memang perdamaian di bumi Palestina sulit terwujud jika masih ada
ketidakadilan, sebagaimana ditulis di awal tulisan ini.
Kini, semua sangat bergantung pada kemauan politik Pemerintah Israel
dan sekutunya, khususnya Amerika Serikat, apakah berani menaikkan status
otoritas Palestina sebagai negara merdeka yang berdaulat penuh. Ini kunci
bagi perdamaian itu.
Selama Palestina belum menjadi negara merdeka yang berdaulat penuh,
perdamaian memang sulit diwujudkan di Palestina, apalagi Israel terus dilanda
berahi untuk berperang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar