Mencermati
Daya Saing Daerah
Y Sri Susilo ;
Dosen FE Unika Atma Jaya, Yogyakarta
|
KORAN
JAKARTA, 11 Juli 2014
Konsep daya saing dapat ditinjau dari sisi perusahaan, industri, kelompok
industri, negara, atau daerah. Daya saing merupakan salah satu kata kunci
yang lekat dengan pembangunan ekonomi daerah (Sri Susilo, 2013). Menurut
Porter (1990), daya saing daerah adalah kemampuan menciptakan atau
mengembangkan iklim paling produktif bagi bisnis dan inovasi.
Ini membuat investor tertarik. Bagaimana dengan daya saing relatif
provinsi di Indonesia? Asia
Competitiveness Institute (ACI), Lee
Kuan Yew School of Public Policy, dan National
University of Singapore (NUS) telah menyurvei 33 provinsi Indonesia.
Hasilnya dapat dilihat dalam tabel, yakni daya saing DKI berada di urutan
pertama dari 33 provinsi. Peringkat selanjutnya Jawa Timur (2), Jawa Tengah
(4), Jawa Barat (5), dan DIY (6). Hasil survei tahun 2011 dibanding 2010
tidak berbeda signifikan.
Hanya ada perubahan peringkat, yakni Jawa Tengah mampu menggeser Jawa
Barat. Hasil pemeringkatan tersebut bergantung pada metodologinya dan
responden yang dilibatkan dalam survei. Untuk itu, perlu secara singkat
mengetahui metode ACI. Dalam survei ACI, komponen daya saing meliputi
stabilitas ekonomi makro, perencanaan pemerintah dan institusi, kondisi
keuangan, bisnis, dan tenaga kerja, serta kualitas lingkungan hidup dan
infrastruktur.
Responden Responden survei mencakup pengusaha (anggota Apindo) dan
akademisi (dosen ekonomi dan manajemen). Dari pemerintah provinsi (pemprov),
yang menjadi responden adalah perwakilan sekwilda, Bappeda, BKPMD,
Disperindagkop, dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah. Untuk menyusun Indeks
Daya Saing Provinsi Indonesia tahun 2011, ACI menggunakan 104 indikator. Agar
diperoleh indeks konstan, ACI mengubah nilai indikator aktual dari setiap
provinsi menjadi nilai terstandar.
Nilai terstandar tersebut mengukur rata-rata kinerja suatu provinsi.
Nilai terstandar nol berarti suatu provinsi memiliki skor tepat dalam rata-
rata dibanding kinerja 33 provinsi. Jika nilainya negatif, berarti kinerja
suatu provinsi di bawah rata-rata. Lalu, andai nilai positif, berarti kinerja
suatu provinsi di atas rata-rata. Dengan demikian, nilai negatif menunjukkan
daya saing lemah. Sebaliknya, nilai postif menunjukkan daya saing kuat.
Variabel stabilitas ekonomi makro terdiri dari komponen kedinamisan
ekonomi regional, keterbukaan dalam perdagangan dan jasa, serta keterbukaan
investasi asing. Urutan peringkat adalah DKI, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Banten. DIY dalam hal ini berada di peringkat ke-22, peringkat
terendah provinsi-provinsi lain di Jawa. Dibanding hasil survei tahun 2010,
peringkat DIY tersebut menurun dari posisi 18.
Selanjutnya varibel perencanaan pemerintah dan institusi terdiri dari
komponen kebijakan pemerintah dan ketahanan fiskal, institusi, pemerintahan,
kepemimpinan, kompetisi, standar regulasi, dan penegakan hukum. Berdasarkan
variabel ini, urutan peringkatnya DKI, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat,
DIY, dan Banten. Hasil survei tahun 2010 menunjukkan Jawa Barat pada
peringkat 9, naik ke peringkat 6 pada tahun 2011.
Sebaliknya, Banten merosot ke peringkat 23 dari peringkat 7 pada tahun
2010. Selanjutnya variabel kondisi keuangan, bisnis dan tenaga kerja mencakup
komponen kemampuan keuangan dan efisiensi bisnis, fleksibilitas pasar tenaga
kerja, dan kinerja produktivitas. Urutan peringkatnya: DKI, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Jawa Barat, DIY, dan Banten.
Dari survei ini, peringkat DIY melonjak dari 18 pada tahun 2010 menjadi
No 13 pada tahun 2011. Posisi Banten tetap tidak berubah pada peringkat
ke-22. Variabel yang terakhir adalah kualitas lingkungan hidup dan
infrastruktur. Komponennya mencakup infrastruktur fisik, infrastruktur
teknologi, standar hidup, pendidikan dan stabilitas sosial. DIY berhasil
menggeser peringkat DKI. Pada tahun 2010, DKI pada peringkat pertama diikuti
DIY di tempat kedua. Kemudian, pada tahun 2011, DIY pada peringkat pertama
diikuti DKI pada peringkat ketiga.
Peringkat kedua ditempati Kalimantan Timur. Jatim melonjak peringkatnya
dari 18 pada tahun 2010 menjadi Nomor 4 Tahun 2011. Implikasi hasil survei
ACI, pemerintah provinsi harus mempertahankan atau meningkatkan kinerja
terkait variabel komponen daya saing. Ini meliputi stabilitas ekonomi makro,
perencanaan pemerintah-institusi, kondisi keuangan-bisnis-tenaga kerja, dan
kualitas lingkungan hidup-infrastruktur. Upaya meningkatkan kinerja tentu
bukan hanya menjadi kewajiban pemerintah provinsi, namun juga pemerintah
kabupaten/kota.
Pemangku kepentingan, seperti Kantor Perwakilan Bank Indonesia, Badan
Pusat Statistik, Otoritas Jasa Keuangan, perbankan, Lembaga Keuangan Bukan
Bank, asosiasi pengusaha, asosiasi profesi, BUMN/BUMD, LSM, dan perguruan
tinggi, harus berkontribusi secara memadai. Mereka akan dikoordinasi
pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota. Lembaga-lembaga ini akan
memfasilitasi agar peran para pemangku tersebut menjadi optimal.
Namun, yang lebih penting lembaga-lembaga ini harus memanfaatkan hasil
survei sebagai bahan evaluasi kinerja. Dari situ, sisi-sisi negatif yang
menghambat kinerja pemerintahan daerah harus segera diperbaiki. Dengan
demikian, pendataan atau inventarisasi masalah yang telah ditemukan lembaga survei
benar-benar dimanfaatkan secara baik sehingga dari waktu-ke waktu kinerjanya
membaik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar