Minggu, 20 Juli 2014

79 Tahun Slamet Sjukur

                                           79 Tahun Slamet Sjukur

Erie Setiawan  ;   Musikolog
KORAN TEMPO,  19 Juli 2014
                                                


Kaki cacat ini telah melanglang buana, menjelajahi Eropa-Asia. Musik menjadi mesiunya untuk berkeliling dunia. "Karya saya dikagumi di luar negeri, tapi tidak di Indonesia," dia berkisah. Pernah 14 tahun hidup di Prancis, hingga 1976, kemudian ia "terpaksa" kembali ke Indonesia guna memenuhi undangan Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, Ali Sadikin-untuk kemudian mengajar musik di Indonesia.

Sekarang usianya 79 tahun, sudah menjadi kakek. Tapi, hebatnya, semangatnya masih belia. Ia tak mau dipanggil "Pak", dan memilih nyaman dengan sapaan "Mas". Permainan pianonya juga masih bagus. Karyanya berjudul Kabut, yang dibuat pada 1960-berhasil ia mainkan sendiri tempo hari. Seluruh audiens bertepuk tangan, kagum atas lagu yang indah itu, juga atas konsistensi yang tak lekang diamuk rayap.

Namanya Slamet Abdul Sjukur. Sebulan sekali, ia masih sibuk mondar-mandir Jakarta-Surabaya dengan kereta, memberi ceramah dalam forum yang ditelurkannya: "Pertemuan Musik Surabaya" (sejak 1957), dan "Pertemuan Musik Jakarta", yang masih balita. Kedua forum tersebut adalah surga kecil bagi para penikmat musik yang tak cukup dihibur, melainkan juga butuh dicerahkan.

Setahun yang lalu, Slamet mendapatkan penghargaan Karya Bhakti Budaya dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dia mendapatkan ini atas jasanya dalam mendedikasikan diri sepenuhnya kepada musik Indonesia, tentu saja bukan musik-musik yang kita tonton di televisi. Ia menerima banyak penghargaan internasional.

Slamet sebagai seniman memang pantas mendapatkan buah dari ketekunan panjang terhadap sesuatu yang ia pahami dan yakini: musik. Apabila kita mengikuti apa yang terjadi dalam sejarah musik Barat, Slamet adalah figur komponis yang memiliki pikiran pembaharuan layaknya Beethoven, Stravinsky, Schoenberg, dan John Cage. Bagi komponis-komponis seperti itu, berkarya membuat musik saja tidaklah cukup, melainkan mereka harus berpikir untuk menemukan sesuatu yang mampu memanuver sejarah. Dan hal itu sudah terbukti.
Ketika Slamet kembali ke Indonesia, publik Jakarta dibuat geger oleh karya-karyanya yang dianggap aneh, muncul bak bom di tengah gelombang ketenangan seriosa manis karangan Mochtar Embut, FX Soetopo, hingga pop melankolis Ismail Marzuki. Orang menyebut musik Slamet sebagai musik kontemporer. Dan kemudian Slamet pun mendapat julukan Bapak Musik Kontemporer Indonesia-meskipun sebutan ini tidak signifikan untuknya.

Yang dilakukan Slamet adalah sewajarnya: mengarang musik, belajar, dan membagi seluruh pengetahuannya kepada masyarakat. Namun, dari "gerakan-gerakannya" yang sluman-slumun bak siluman di dalam lintas pergaulan seniman ataupun akademik, Slamet hingga kini telah berhasil membumikan paradigma baru atas penciptaan musik yang tidak harus berangkat dari hal baku sebatas do-re-mi-fa-so-la-si-do. Musik bisa dari apa saja.

Slamet berhasil membuat masyarakat awam di dusun Trawas, Jawa Timur, menjadi tergila-gila dengan musik, yang tadinya tak tahu apa-apa. Sebanyak 100 ABG pernah pula mementaskan karyanya, ABG BaBu, yang bermedium kentongan-dan telah sukses dipentaskan dalam Jak@Art Festival. Siapa pun bisa dibuat Slamet menjadi suka musik: sopir becak, petani, pembantu rumah tangga, sopir, sipil, dan seterusnya. Usaha seperti ini tidak intens dilakukan oleh komponis-komponis lain yang hidup semasa dengan Slamet ataupun sesudahnya hingga saat ini.

Untuk itu, jika dipaparkan secara singkat, jasa Slamet yang paling konkret untuk musik adalah menumbuhkan kepekaan dan nilai keindahan pada diri manusia. Sebab, dengan musik, perasaan akan menjadi lebih peka dan orang akan mampu menghargai keindahan sebagai sesuatu yang paling dibutuhkan manusia, tapi sering dianggap sepele. Jasa Slamet ini kedengarannya memang remeh dan klise, tapi apakah kita sanggup berkata bahwa musik itu tidak penting artinya bagi hidup kita?

Beberapa waktu lalu pada Juni, terselenggara hajatan sederhana untuk menghormati sosok yang juga anggota Akademi Jakarta dan Masyarakat Bebas Bising ini. Acara bertajuk "Sluman-Slumun-Slamet" ini berlangsung di Perpustakaan Bank Indonesia dan STKW Surabaya. Ceramah sehari disajikan oleh Suka Hardjana, sarasehan oleh Hanafi, Natalini Widhiasi, Iwan Gunawan, dan Gatot Sulistiyanto, dan ditutup dengan pementasan karya-karya Slamet Abdul Sjukur dari berbagai kurun dan formasi: Kabut (1960), Tobor (1961), Tetabeuhan Sungut (1975), Gelandangan (1998), dan GAME-Land 1 (2003). Diluncurkan pula buku kumpulan esai Slamet Abdul Sjukur yang bertolak dari tulisan-tulisannya di media massa pada periode 1976-2013. Sebagai seorang seniman, Slamet juga berpikir dan menulis dengan ketajaman dan kejujuran yang tegas, serta informasi yang mencerahkan.

Tuhan menciptakan orang hebat sungguh sedikit jumlahnya. Slamet hanyalah secuil seniman yang pantas untuk menjadi potret ideal sebuah kesungguhan dan keikhlasan dalam pengabdian tanpa punya kepentingan pribadi-kita pun tak kuasa menemukan sosok langka ini di tengah perhatian pada dunia televisi dan politik yang mengabadikan kecurangan. Slamet adalah realitas masyarakat Indonesia yang sesungguhnya, yang luwes dan bertahan dalam rupa-rupa kondisi.

Di tengah plus-minusnya sebagai manusia dan seniman, nyatanya ia tetap dikagumi, pemikirannya diikuti, dan semangatnya menular hingga ke generasi musikus jazz belasan tahun di Surabaya yang belajar kepadanya. Ia mempengaruhi banyak guru-guru piano yang berkeinginan mendedikasikan diri untuk musik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar