Wong
Cilik
Bandung Mawardi ;
Esais
|
KORAN
TEMPO, 19 Juli 2014
Siapa
pemilih Joko Widodo-Jusuf Kalla? Fitri Hari dari Lingkaran Survei Indonesia
memberi jawaban: wong cilik.
Janji-janji untuk program pendidikan dan kesehatan menjadi pemicu dukungan wong cilik (rakyat kecil) bagi Joko
Widodo-Jusuf Kalla (Koran Tempo, 9 Juli
2014). Jargon wong cilik masih bertahan sampai sekarang. Megawati
Soekarnoputri semakin menguatkan pengaruh jargon wong cilik saat memimpin PDI
Perjuangan. Sekarang, Joko Widodo dianggap ikon pemimpin bagi wong cilik.
Jargon
politik muncul di kalangan pergerakan politik untuk menumbuhkan nasionalisme
dan imajinasi dalam membentuk Indonesia. Sejak awal abad ke-20, para tokoh
pergerakan politik akrab dengan istilah kromo. Tjipto Mangoenkoesoemo
menjuluki diri sebagai "anak si kromo" alias anak dari "rakjat
djelata" (M. Balfas, 1952). Julukan ini mengacu kepada pengabdian Tjipto
Mangoenkoesoemo bagi kesehatan kaum jelata dan pendidikan politik. Predikat
sebagai dokter Jawa menjadi modal untuk berbaur dan membela kaum kromo dalam
represi kolonialisme dan arogansi feodalisme.
Penggunaan
jargon kromo masih bertahan sampai masa 1930-an. Sukarno dalam pidato dan tulisannya
masih menggunakan jargon kromo, selain mempropagandakan penggunaan jargon
marhaen. Risalah Indonesia Menggugat (1930) garapan Sukarno memuat
penjelasan: "Di dalam tangannja
kaum kromo dan kaum marhaen itulah terutama letaknja nasib Indonesia."
Sukarno pun memberi tuduhan bagi gerakan politik berpamrih elitisme. Sukarno
berkata: "…siapa jang mendjalankan
politiek 'salon-salonan' atau 'menak-menakan', siapa jang tidak
memperusahakan marhaenisme atau kromoisme - walaupun ia seribu kali sehari
berteriak tjinta bangsa, tjinta rakjat, ia hanjalah mendjalankan politiek
jang tjuma 'politiek-politiekan' belaka!"
Kesejarahan
jargon politik menjadi referensi pembelajaran politik mutakhir. Joko Widodo
(2014) mengakui bahwa Sukarno adalah mentor dalam berpolitik. Risalah
Indonesia Menggugat dianggap mengandung relevansi dengan situasi sekarang.
Sejarah bersambung melalui kesadaran untuk membela dan memartabatkan kromo,
marhaen, wong cilik. Sekarang,
jargon paling akrab adalah wong cilik ketimbang kromo dan marhaen. Jargon
selalu memuat situasi zaman dan efek bahasa politik. Zaman untuk jargon kromo
dan marhaen sudah berlalu, kita mengingatnya sebagai sejarah.
Pendokumentasian
jargon marhaen pernah dilakukan oleh Sanoesi Pane melalui gubahan puisi
berjudul Marhaen. Sanoesi Pane menulis: Kami
berdjalan berabad-abad/ Dalam djoerang jang gelap goelita/ Tidak berharap
tidak berhadjat/ Tidak berpikir tidak bertjinta// Dewata loepa kepada kami/
Kaoem marhaen anak sengsara/ Kami berkerdja setengah mati/ Orang bersenang tertawa-tawa.
Sekarang, Joko Widodo semakin memberi pengesahan atas kebermaknaan wong cilik sebagai
"sambungan" dari produksi bahasa politik sejak awal abad ke-20:
kromo dan marhaen. Kita menganggap ada kesetaraan makna jika menempatkan
pemimpin sebagai pembela bagi rakyat.
Joko
Widodo justru mengimbuhi perspektif dari pengaruh penggunaan jargon politik,
mengacu ke pemahaman agama. Joko Widodo menganggap marhaen, wong cilik, dan kaum duafa menunjuk
pada lapisan sosial sama: kalangan tak berdaya secara ekonomi. Kita
menantikan Joko Widodo membuktikan pengharapan kromo, marhaen, wong cilik, dan kaum duafa sesudah
mendapat amanat melalui peristiwa dramatis berdalih demokrasi, 9 Juli 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar