79
Tahun Slamet Sjukur
Erie Setiawan ;
Musikolog
|
KORAN
TEMPO, 19 Juli 2014
Kaki
cacat ini telah melanglang buana, menjelajahi Eropa-Asia. Musik menjadi
mesiunya untuk berkeliling dunia. "Karya
saya dikagumi di luar negeri, tapi tidak di Indonesia," dia
berkisah. Pernah 14 tahun hidup di Prancis, hingga 1976, kemudian ia
"terpaksa" kembali ke Indonesia guna memenuhi undangan Gubernur DKI
Jakarta pada waktu itu, Ali Sadikin-untuk kemudian mengajar musik di
Indonesia.
Sekarang
usianya 79 tahun, sudah menjadi kakek. Tapi, hebatnya, semangatnya masih
belia. Ia tak mau dipanggil "Pak", dan memilih nyaman dengan sapaan
"Mas". Permainan pianonya juga masih bagus. Karyanya berjudul Kabut, yang dibuat pada 1960-berhasil
ia mainkan sendiri tempo hari. Seluruh audiens bertepuk tangan, kagum atas
lagu yang indah itu, juga atas konsistensi yang tak lekang diamuk rayap.
Namanya
Slamet Abdul Sjukur. Sebulan sekali, ia masih sibuk mondar-mandir
Jakarta-Surabaya dengan kereta, memberi ceramah dalam forum yang
ditelurkannya: "Pertemuan Musik
Surabaya" (sejak 1957), dan "Pertemuan
Musik Jakarta", yang masih balita. Kedua forum tersebut adalah surga
kecil bagi para penikmat musik yang tak cukup dihibur, melainkan juga butuh
dicerahkan.
Setahun
yang lalu, Slamet mendapatkan penghargaan Karya
Bhakti Budaya dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dia
mendapatkan ini atas jasanya dalam mendedikasikan diri sepenuhnya kepada
musik Indonesia, tentu saja bukan musik-musik yang kita tonton di televisi.
Ia menerima banyak penghargaan internasional.
Slamet
sebagai seniman memang pantas mendapatkan buah dari ketekunan panjang
terhadap sesuatu yang ia pahami dan yakini: musik. Apabila kita mengikuti apa yang terjadi dalam sejarah
musik Barat, Slamet adalah figur komponis yang memiliki pikiran pembaharuan
layaknya Beethoven, Stravinsky, Schoenberg, dan John Cage. Bagi
komponis-komponis seperti itu, berkarya membuat musik saja tidaklah cukup,
melainkan mereka harus berpikir untuk menemukan sesuatu yang mampu memanuver
sejarah. Dan hal itu sudah terbukti.
Ketika
Slamet kembali ke Indonesia, publik Jakarta dibuat geger oleh karya-karyanya
yang dianggap aneh, muncul bak bom di tengah gelombang ketenangan seriosa
manis karangan Mochtar Embut, FX Soetopo, hingga pop melankolis Ismail
Marzuki. Orang menyebut musik Slamet sebagai musik kontemporer. Dan kemudian
Slamet pun mendapat julukan Bapak Musik
Kontemporer Indonesia-meskipun sebutan ini tidak signifikan untuknya.
Yang
dilakukan Slamet adalah sewajarnya: mengarang musik, belajar, dan membagi
seluruh pengetahuannya kepada masyarakat. Namun, dari "gerakan-gerakannya"
yang sluman-slumun bak siluman di
dalam lintas pergaulan seniman ataupun akademik, Slamet hingga kini telah
berhasil membumikan paradigma baru atas penciptaan musik yang tidak harus
berangkat dari hal baku sebatas do-re-mi-fa-so-la-si-do.
Musik bisa dari apa saja.
Slamet
berhasil membuat masyarakat awam di dusun Trawas, Jawa Timur, menjadi
tergila-gila dengan musik, yang tadinya tak tahu apa-apa. Sebanyak 100 ABG
pernah pula mementaskan karyanya, ABG
BaBu, yang bermedium kentongan-dan telah sukses dipentaskan dalam Jak@Art
Festival. Siapa pun bisa dibuat Slamet menjadi suka musik: sopir becak,
petani, pembantu rumah tangga, sopir, sipil, dan seterusnya. Usaha seperti
ini tidak intens dilakukan oleh komponis-komponis lain yang hidup semasa dengan
Slamet ataupun sesudahnya hingga saat ini.
Untuk
itu, jika dipaparkan secara singkat, jasa Slamet yang paling konkret untuk
musik adalah menumbuhkan kepekaan dan nilai keindahan pada diri manusia.
Sebab, dengan musik, perasaan akan menjadi lebih peka dan orang akan mampu
menghargai keindahan sebagai sesuatu yang paling dibutuhkan manusia, tapi
sering dianggap sepele. Jasa Slamet ini kedengarannya memang remeh dan klise,
tapi apakah kita sanggup berkata bahwa musik itu tidak penting artinya bagi
hidup kita?
Beberapa
waktu lalu pada Juni, terselenggara hajatan sederhana untuk menghormati sosok
yang juga anggota Akademi Jakarta dan Masyarakat Bebas Bising ini. Acara
bertajuk "Sluman-Slumun-Slamet"
ini berlangsung di Perpustakaan Bank Indonesia dan STKW Surabaya. Ceramah
sehari disajikan oleh Suka Hardjana, sarasehan oleh Hanafi, Natalini
Widhiasi, Iwan Gunawan, dan Gatot Sulistiyanto, dan ditutup dengan pementasan
karya-karya Slamet Abdul Sjukur dari berbagai kurun dan formasi: Kabut
(1960), Tobor (1961), Tetabeuhan Sungut (1975), Gelandangan (1998), dan
GAME-Land 1 (2003). Diluncurkan pula buku kumpulan esai Slamet Abdul Sjukur
yang bertolak dari tulisan-tulisannya di media massa pada periode 1976-2013.
Sebagai seorang seniman, Slamet juga berpikir dan menulis dengan ketajaman
dan kejujuran yang tegas, serta informasi yang mencerahkan.
Tuhan
menciptakan orang hebat sungguh sedikit jumlahnya. Slamet hanyalah secuil
seniman yang pantas untuk menjadi potret ideal sebuah kesungguhan dan
keikhlasan dalam pengabdian tanpa punya kepentingan pribadi-kita pun tak
kuasa menemukan sosok langka ini di tengah perhatian pada dunia televisi dan
politik yang mengabadikan kecurangan. Slamet adalah realitas masyarakat
Indonesia yang sesungguhnya, yang luwes dan bertahan dalam rupa-rupa kondisi.
Di
tengah plus-minusnya sebagai manusia dan seniman, nyatanya ia tetap dikagumi,
pemikirannya diikuti, dan semangatnya menular hingga ke generasi musikus jazz
belasan tahun di Surabaya yang belajar kepadanya. Ia mempengaruhi banyak guru-guru
piano yang berkeinginan mendedikasikan diri untuk musik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar