Minggu, 15 Juni 2014

Bola Rumah Tangga

Bola Rumah Tangga

Arswendo Atmowiloto  ;   Budayawan
KORAN JAKARTA,  14 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Sihir dunia yang bernama Piala Dunia Sepak Bola telah dimulai. Acara lain pada jam yang sama akan tersingkir. Kita mungkin akan mangkir rapat atau pertemuan saat ada pertandingan. Kita akan mengantuk sesudahnya. Tak pernah ada pesta yang mengundang perhatian warga seluruh dunia seperti pada bola. Sihir itu hanya berakhir ketika memang telah selesai.

Tak ada pertandingan yang tak diperhitungkan. Negara yang menang sekali ini – atau kalah, atau seri – memengaruhi angka kesebelasan negara lain. Lalu, ngaruh juga pada grup lain. Tali-temali terjadi sehingga rasanya tak ada pertandingan yang sia-sia. Demikianlah adanya sehingga sejak kemarin kita semua masuk dalam pusaran sihir bersama. Bahkan bukan tidak mungkin, topik yang paling menarik pun ikut bergeser. Sedemikian tinggi daya tariknya sehingga acara di gedung bioskop, atau pembukaan pameran, atau pentas, mau tak mau jadi ikut memperhitungkan. Kalau tidak, benar-benar akan ditinggalkan.

Sebenarnya tidak adil juga. Piala Dunia Sepak Bola lebih didominasi kaum lelaki. Mereka menjadi penguasa televisi, juga mengatur jam tidur atau berjaga untuk seluruh anggota keluarga, dan bahkan kapan meminta teh, kopi, atau bir, dengan kacang, atau menit-menit kapan ke kamar mandi ketika jeda. Dan yang lebih memengaruhi lagi adalah jika kesebelasan yang dijagoi kalah atau menang. Atmosfer yang muncul jauuuuuh berbeda.

Dalam kuasa media – elektronik, cetak, radio, sosial – inilah sebenarnya bisa dimulai pendekatan yang menyeluruh. Artinya bukan hanya hasil skor, bukan hanya analisis pertandingan, perkiraan partai yang akan datang saja yang dibahas. Melainkan, justru ini yang menarik, memberi informasi kepada yang tak tahu soal bola. Memberi tahu hal-hal mendasar. Apa itu sepak bola. Kenapa dua kali 45 menit. Apa itu off side, kenapa kiper atau penjaga gawang boleh memegang bola dengan tangan, kenapa ada tendangan bebas, dan tendangan penalti. Di sini, ibu-ibu atau anggota keluarga yang tak peduli bisa tahu, dasar-dasarnya. Tidak harus hafal nama pemain hanya dari kaus kaki – bukan nomor punggung, atau ikut dalam strategi kenapa si dia dipasang, melainkan bisa ikut menikmati, sehingga kegembiraan bisa dirasakan seluruh keluarga.

Di Amerika Serikat, ketika sepak bola mulai diperkenalkan dan menjadi “demam”, upaya-upaya ini dilakukan. Menurut penelitian, banyak hal yang bisa dipetik dari kebersamaan ketika menonton. Paling tidak, tidak ada permusuhan dan antibola. Hal yang sama di salah satu negeri di Eropa ketika diadakan pertandingan catur tingkat dunia. Karena permainan catur bukan permainan yang popular, juga terutama bagi ibu-ibu, hal-hal mendasar diinformasikan.

Di negeri ini, semua dianggap tahu tentang bola. Yang tidak tahu dianggap kurang gaul, ketinggalan zaman. Dunia sepak bola bagi pencintanya adalah mutlak. Tak bisa ditawar, tak mungkin ditolak. Tak perlu apresiasi, karena bola dianggap bagian dari kebenaran yang dihalalkan, diprioritaskan, apa lagi empat tahun sekali, sehingga berteriak keras malam hari, memakai kaos atau atribut kesebelasan negeri lain, berkumpul bersama , tak perlu dipertanyakan bagus atau tidak, pas atau berlebihan.

Bola untuk dipahami rumah tangga bisa menjadi salah satu bagian dari apresiasi media pada pembaca, pendengar, penonton, yang selama ini terabaikan. Ada baiknya begitu. Sebab yang namanya sepak bola dunia ini tak bisa diganggu gugat. Bahkan, makhluk halus pun bisa heran dengan kelakuan manusia saat pertandingan. Dan semua hanya bermuara: harap dimaklumi, jangan dihalangi. Bola terlanjur menyihir, tanpa akhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar