Jenuh
Putu
Setia ; Wartawan Tempo, Pengarang
|
TEMPO.CO,
14 Juni 2014
ROMO Imam datang ke kampung saya
di lereng Batukaru yang dingin. Saya suguhi teh bunga rosela kering hasil
tanaman di kebun sendiri. "Di sini adem dan tenang," katanya,
"Tentu saja, Romo. Juga tak dipusingkan oleh riuhnya kampanye
capres," kata saya.
Romo tersenyum. "Ya, saya
tak melihat ada baliho dan spanduk calon presiden. Yang ada malah bendera
Belanda, Italia. Prancis, Jerman," Romo menunjuk bendera yang berjejer
di jalan. Saya mengangguk: "Itu bendera dijahit sendiri di kampung.
Warga juga menjagokan Brasil dan Spanyol, tapi benderanya sulit dibuat.
Untung ada hiburan Piala Dunia."
Romo minum. "Di kota jenuh
dengan capres-capresan. Apalagi kalau menonton televisi berita. Yang satu
jagoannya pasti menang, presiden pilihan rakyat. Yang satu lagi presiden
kita, selalu disambut di mana-mana. Bingung dan lama-lama jenuh."
"Romo menonton televisi
partisan. Keberpihakan stasiun itu sudah kebablasan. Komisi penyiaran sudah
merekomendasikan supaya izinnya dicabut. Televisi dan radio, menurut
undang-undang, harus netral. Kan siarannya membutuhkan frekuensi, dan itu
milik publik. Terbatas adanya. Bukan milik nenek moyangnya yang seenaknya
bisa dipakai. Cuma, rekomendasi komisi penyiaran macet di Menteri Komunikasi,
entah berani menteri menutup televisi itu atau takut."
"Jadi, soal
keberanian?" Romo menyela. "Ya dong, masalah pokoknya berani atau
tidak menegakkan aturan," kata saya. "Kasusnya sama dengan tabloid
Obor Rakyat. Orang resah, tapi polisi belum berani melakukan pengusutan.
Alasan polisi, kan tidak ada yang melaporkan tabloid itu. Tapi, ketika
Bawaslu melaporkan, tidak diterima polisi. Dalih polisi, Bawaslu bukan pihak
yang berwenang melaporkannya."
"Yang membuat tabloid itu
orang kuat, mungkin," lagi Romo menyela. "Tidak juga. Darmawan
Sepriyossa, yang membuat tabloid itu, sudah memberikan pernyataan terbuka di
media online tempatnya bekerja, dikutip juga di Facebook. Kalau mau mengusut,
ya, panggil saja, nama dan alamatnya juga jelas. Alasan membuat tabloid pun
dibeberkan."
"Apa alasannya?" Romo
antusias sampai mendekatkan duduknya ke arah saya. "Keberpihakan
juga," jawab saya. "Darmawan merasa Jokowi perlu diingatkan karena
semua media memujinya. Lalu, ia meracik bahan dari Internet, terutama
Facebook dan Twitter yang memojokkan Jokowi, ia masukkan ke Obor. Alasannya,
toh bahan-bahan itu sudah dibaca ribuan atau jutaan orang di media maya.
Kalau Darmawan tidak memihak salah satu capres, kenapa yang jelek-jelek
tentang Jokowi dimasukkan ke Obor, sementara yang jelek-jelek soal Prabowo
tidak ada?"
Romo diam. Barangkali dia
bingung soal begitu mudahnya membuat tabloid yang tak membutuhkan frekuensi
seperti membuat stasiun televisi. Saya terus menjelaskan: "Pokoknya,
kalau polisi punya niat baik mengusut kasus ini, mudah sekali. Tapi
ujung-ujungnya yang disalahkan bisa penulis di Facebook, yang kebanyakan nama
palsu. Pengusutan bisa bertele-tele, lalu pemilihan presiden selesai,
kasusnya pun mengambang dan dilupakan."
Tiba-tiba Romo bertanya kasus
lain: "Panglima TNI mau mengusut siapa pembocor surat keputusan Dewan
Kehormatan Perwira yang memeriksa Prabowo. Itu serius apa tidak?" Saya
langsung menjawab: "Surat yang dibocorkan itu sudah dikonfirmasi, asli
bukan palsu. Lha, kalau sudah asli, apa perlu diusut siapa pembocornya?
Didiamkan juga berhenti sendiri."
Romo
minum teh. "Ruwet juga, ya?" keluhnya. Saya bilang: "Hal
gampang diruwet-ruwetkan, makanya orang jenuh dengan keriuhan yang
diakibatkan oleh pemihakan kebablasan ini." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar