Tetap
Berteman…
James
Luhulima ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
14 Juni 2014
KURANG
dari satu bulan lagi, bangsa Indonesia akan mengadakan pemilihan umum
presiden dan wakil presiden secara langsung. Suasananya pun semakin memanas.
Setiap capres dan cawapres serta pendukungnya saling perang pernyataan untuk
melemahkan posisi lawan. Berbagai cara ditempuh mulai dari pembunuhan
karakter lewat kampanye hitam, kampanye negatif, memainkan isu ras, agama,
hingga mengungkap kehidupan pribadi dan masa lalu dari setiap calon.
Bahkan,
dalam debat pasangan capres-cawapres yang pertama kali digelar di Balai
Sarbini, 9 Juni lalu, Jusuf Kalla dengan nakal mempersoalkan pelanggaran hak
asasi manusia yang diduga dilakukan Prabowo Subianto pada masa lalu. Prabowo
sempat emosi, tetapi dengan cepat ia menguasai dirinya kembali.
Atau,
kepada Hatta Rajasa juga ditanyakan soal perlakuan yang sama di muka hukum.
Hatta memang menjawabnya dengan baik, tetapi semua tahu apa yang sesungguhnya
dituju dengan pertanyaan itu?
Sementara
kepada Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, baik Prabowo maupun Hatta
berusaha mencecar Jokowi dengan pertanyaan soal pemilihan umum berbiaya
tinggi dan tuntutan pemekaran wilayah. Tentunya dengan harapan, Jokowi akan
mengalami kesulitan dalam menjawabnya sehingga dapat dimanfaatkan semaksimal
mungkin untuk memojokkan Jokowi.
Debat
capres dan cawapres itu masih akan berlangsung, ada baiknya setiap capres dan
cawapres sadar serta sekaligus menyadarkan pendukungnya bahwa saling serang
dalam debat itu hanyalah strategi untuk memenangkan suara pemilih. Sama
sekali tidak dilandasi rasa permusuhan, apalagi rasa benci.
Hal itu
penting untuk terus diingatkan karena sejarah negeri ini menunjukkan, orang
tidak siap untuk kalah. Jika lawannya yang menang, ia akan memusuhinya, atau
jika di dalam organisasi, ia akan mendirikan organisasi tandingan. Belum
lagi, pendukungnya akan melakukan perusakan untuk melampiaskan kemarahan
mereka.
Itu
tentunya tidak dapat dibiarkan terus berlangsung. Kita harus mendidik bangsa
kita untuk siap kalah dan menghormati yang menang. Dalam kaitan itulah, kita
harus menghargai Prabowo pada acara deklarasi pemilu berintegritas dan damai,
3 Juni lalu.
Dalam pidatonya,
Prabowo menegaskan, ia siap menang dan kalah dalam pemilihan presiden. ”Saya dan Pak Hatta dan Koalisi Merah
Putih, kami berjanji akan menerima apa pun keputusan rakyat Indonesia,”
ujarnya. Ia menambahkan, ”Apa pun, kami
yakin Saudara Jokowi dan Jusuf Kalla adalah patriot yang cinta Tanah Air.”
Jokowi
pun menunjukkan sikap yang sama. Persatuan bangsa ini jauh lebih penting
daripada ambisi pribadi.
Mencontoh Presiden AS
Dalam
kaitan itulah, kita mengikuti perang bintang dengan rasa prihatin. Yang dimaksud
dengan perang bintang adalah manuver yang dilakukan para pensiunan jenderal
TNI Angkatan Darat. Para pensiunan jenderal itu terpecah dalam dua kubu. AM
Hendropriyono, Luhut Panjaitan, Fachrul Razi, Agum Gumelar, dan Subagyo HS
mendukung Jokowi-JK, sedangkan Djoko Santoso, George Toisutta, Syamsir
Siregar, Sudrajat, Yunus Yosfiah, dan J Suryo Prabowo mendukung
Prabowo-Hatta. Wiranto juga mendukung Jokowi-JK, tetapi ia harus dikecualikan
mengingat ia memang telah memutuskan untuk berkiprah di dunia politik.
Memang
sebagai pensiunan militer, mereka adalah warga sipil sehingga tidak lagi
terikat oleh instruksi Panglima TNI untuk bersikap netral. Namun,
keberpihakan mereka bukan tidak mungkin dapat menimbulkan benih-benih
perpecahan di TNI mengingat sebelumnya mereka adalah orang-orang yang
memiliki nama besar di TNI.
Kita
sangat berharap kalah atau menang tidak membuat Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK
bermusuhan. Kita dapat mencontoh Amerika Serikat. Di AS, walaupun persaingan
dalam pemilihan presiden di AS sedemikian sengit, itu tidak membuat presiden
terpilih bermusuhan dengan presiden yang digantikannya. Presiden Barack Obama
dari Partai Demokrat dan pesaingnya dari Partai Republik, mantan Presiden
George W Bush, tetap berhubungan baik. Tidak hanya bertukar pikiran dengan
Bush, Obama juga mengajak Bush masuk dalam pesawat kepresidenan Air Force One
dari Washington DC ke Johannesburg, Afrika Selatan, menghadiri pemakaman
Nelson Mandela, 15 Desember 2013.
Bush
juga demikian. Pada April 2005, Presiden George W Bush mengajak ayahnya,
Presiden George HW Bush, dan mantan Presiden Bill Clinton dalam Air Force One
guna menghadiri pemakaman Paul Johannes Paulus II di Roma.
Pada
November 1963, mantan Presiden AS Harry Truman dan mantan Presiden Dwight
Eisenhower, yang satu dasawarsa lalu bersaing sengit, duduk dalam satu Limousine
seusai menghadiri pemakaman Presiden John F Kennedy di Arlington Cementary.
Banyak
yang berpendapat, AS bisa seperti itu karena demokrasi di sana telah berumur
lebih dari 200 tahun. Namun, memasuki usia RI ke-69 tahun, Prabowo atau
Jokowi dapat memulainya…. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar