Bola
Rumah Tangga
Arswendo
Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 14 Juni 2014
Sihir
dunia yang bernama Piala Dunia Sepak Bola telah dimulai. Acara lain pada jam
yang sama akan tersingkir. Kita mungkin akan mangkir rapat atau pertemuan
saat ada pertandingan. Kita akan mengantuk sesudahnya. Tak pernah ada pesta
yang mengundang perhatian warga seluruh dunia seperti pada bola. Sihir itu
hanya berakhir ketika memang telah selesai.
Tak ada
pertandingan yang tak diperhitungkan. Negara yang menang sekali ini – atau
kalah, atau seri – memengaruhi angka kesebelasan negara lain. Lalu, ngaruh
juga pada grup lain. Tali-temali terjadi sehingga rasanya tak ada
pertandingan yang sia-sia. Demikianlah adanya sehingga sejak kemarin kita
semua masuk dalam pusaran sihir bersama. Bahkan bukan tidak mungkin, topik
yang paling menarik pun ikut bergeser. Sedemikian tinggi daya tariknya
sehingga acara di gedung bioskop, atau pembukaan pameran, atau pentas, mau
tak mau jadi ikut memperhitungkan. Kalau tidak, benar-benar akan
ditinggalkan.
Sebenarnya
tidak adil juga. Piala Dunia Sepak Bola lebih didominasi kaum lelaki. Mereka
menjadi penguasa televisi, juga mengatur jam tidur atau berjaga untuk seluruh
anggota keluarga, dan bahkan kapan meminta teh, kopi, atau bir, dengan
kacang, atau menit-menit kapan ke kamar mandi ketika jeda. Dan yang lebih
memengaruhi lagi adalah jika kesebelasan yang dijagoi kalah atau menang.
Atmosfer yang muncul jauuuuuh berbeda.
Dalam
kuasa media – elektronik, cetak, radio, sosial – inilah sebenarnya bisa
dimulai pendekatan yang menyeluruh. Artinya bukan hanya hasil skor, bukan
hanya analisis pertandingan, perkiraan partai yang akan datang saja yang
dibahas. Melainkan, justru ini yang menarik, memberi informasi kepada yang
tak tahu soal bola. Memberi tahu hal-hal mendasar. Apa itu sepak bola. Kenapa
dua kali 45 menit. Apa itu off side, kenapa kiper atau penjaga gawang boleh
memegang bola dengan tangan, kenapa ada tendangan bebas, dan tendangan
penalti. Di sini, ibu-ibu atau anggota keluarga yang tak peduli bisa tahu,
dasar-dasarnya. Tidak harus hafal nama pemain hanya dari kaus kaki – bukan
nomor punggung, atau ikut dalam strategi kenapa si dia dipasang, melainkan
bisa ikut menikmati, sehingga kegembiraan bisa dirasakan seluruh keluarga.
Di
Amerika Serikat, ketika sepak bola mulai diperkenalkan dan menjadi “demam”,
upaya-upaya ini dilakukan. Menurut penelitian, banyak hal yang bisa dipetik
dari kebersamaan ketika menonton. Paling tidak, tidak ada permusuhan dan
antibola. Hal yang sama di salah satu negeri di Eropa ketika diadakan
pertandingan catur tingkat dunia. Karena permainan catur bukan permainan yang
popular, juga terutama bagi ibu-ibu, hal-hal mendasar diinformasikan.
Di negeri
ini, semua dianggap tahu tentang bola. Yang tidak tahu dianggap kurang gaul,
ketinggalan zaman. Dunia sepak bola bagi pencintanya adalah mutlak. Tak bisa
ditawar, tak mungkin ditolak. Tak perlu apresiasi, karena bola dianggap
bagian dari kebenaran yang dihalalkan, diprioritaskan, apa lagi empat tahun
sekali, sehingga berteriak keras malam hari, memakai kaos atau atribut
kesebelasan negeri lain, berkumpul bersama , tak perlu dipertanyakan bagus
atau tidak, pas atau berlebihan.
Bola
untuk dipahami rumah tangga bisa menjadi salah satu bagian dari apresiasi
media pada pembaca, pendengar, penonton, yang selama ini terabaikan. Ada
baiknya begitu. Sebab yang namanya sepak bola dunia ini tak bisa diganggu
gugat. Bahkan, makhluk halus pun bisa heran dengan kelakuan manusia saat
pertandingan. Dan semua hanya bermuara: harap dimaklumi, jangan dihalangi.
Bola terlanjur menyihir, tanpa akhir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar