Sabtu, 14 Juni 2014

Bersama Kapal Karam SBY

Bersama Kapal Karam SBY

Taufik Ikram Jamil  ;   Sastrawan
JAWA POS,  13 Juni 2014

                                                                                         
                                                      
MEMBACA berita utama Jawa Pos Minggu (8/6) yang bertajuk Karamnya Kapal SBY menciutkan hati kawan saya, Abdul Wahab. Selain itu, dia mengaku terpaksa bersiap-siap lagi untuk menerima situasi ketidaknyamanan pergantian presiden kelak sebagaimana suksesi-suksesi sebelumnya di negara ini.

’’Bagaimana tak ciut? Ilustrasi sekoci yang retak-retak dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di belakang kemudi, ditambah berhamburannya sejumlah orang dari alat angkutan darurat tersebut, mengisyaratkan bagaimana tidak mudahnya SBY mengendalikan keadaan,’’ tulis Wahab melalui pesan pendek (short message service/SMS) yang tiba di telepon genggam saya.

Tambah ciut, sambung Wahab, dua calon yang bakal menggantikan SBY sebagai presiden, Prabowo Subianto dan Joko Widodo, berada dalam situasi serupa, walaupun dengan ekspresi berbeda –malah bertolak belakang. ’’Bukankah tidak berlebihan kalau aku kemudian menyimpulkan bahwa situasi yang bakal ditinggalkan SBY tidak akan otomatis membaik begitu penggantinya terpilih,’’ tulis Wahab.

Tampaknya, Wahab menilai situasi yang dihadapi SBY mempresentasikan situasi bangsa ini. Sementara itu, SBY adalah simbol figur dengan tanggung jawab di pundaknya karena merupakan presiden. Persoalan yang paling besar dan paling banyak menyedot perhatian adalah persoalan moral seperti korupsi dan kejahatan seksual pada anak-anak. Khusus korupsi, hal itu tidak saja dilakukan elite politik dan pelaku ekonomi, tetapi seperti sudah berakar di tengah masyarakat dengan berbagai pola, termasuk absurd.

Bayangkan misalnya, tidak ada seorang pun di antara warga negara yang menerima korupsi. Tetapi, seperti pengalaman dalam pemilihan legislatif yang baru berlalu, tidak sedikit pula mereka yang menerima suap untuk memilih calon legislator tertentu. Sudah bukan rahasia, sebagaimana begitu luas dilansir media massa, jual-beli suara bagaikan suatu keniscayaan. Singkatan NPWP tidak lagi menjadi hak dunia perpajakan karena telah dipanjangkan menjadi nomor piro wani piro.

Keadaan bangsa ini makin mengenaskan karena persoalannya juga melekat langsung dalam kehidupan SBY. Kader partai yang dipimpinnya, yakni Partai Demokrat (PD), disebut banyak melakukan korupsi di tengah semangat mereka yang begitu besar mengibarkan tagline antirasuah. Tidak tanggung-tanggung, yang terlibat dalam kasus itu justru pengurus inti PD seperti Anas Urbaningrum dan Nazaruddin. Belum lagi penyebutan nama anggota keluarga inti SBY dalam kasus Hambalang yang kini masih dalam proses sidang.

Di sisi lain, SBY telah muncul sebagai figur yang tidak lagi populis, sebagaimana diungkapkan secara menggebu-gebu oleh A.S. Laksana dalam tulisannya yang berjudul Akhir Rezim Pencitraan (Jawa Pos, 8/6). Nyatanya pula, suara yang diperoleh PD sebagai partai berkuasa pada pemilihan legislatif April lalu melorot hampir 50 persen jika dibandingkan dengan kegiatan serupa pada 2009. Berbagai tindakannya yang tidak arif, termasuk tidak memperjuangkan Dahlan Iskan sebagai pemimpin negara berdasar hasil konvensi PD yang dibuat, melengkapi coreng-moreng hitam di mukanya.

Di antara sekian banyaknya muara hal-hal tersebut, kawan saya Abdul Wahab mengaku, pergantian presiden kelak akan tetap dirasakan sebagai suatu ketidaknyamanan. Walaupun dengan volume berbeda, hal semacam itu juga dirasakan ketika Soeharto merenggut kekuasaan dari Soekarno, pengawalan era reformasi di tangan KH Abdurrahman Wahid, bahkan ketika SBY tampil ke panggung utama kekuasaan. B.J. Habibie dan Megawati Soekarnoputri tidak disebutkan karena mereka hanyalah presiden antarwaktu.

’’Tidak seperti di Amerika Serikat sana. Sebut saja bagaimana pergantian George W. Bush ke Bill Clinton, selanjutnya ke Barack Obama. Masing-masing tidak meninggalkan masalah intern dan ekstern ketika suksesi harus dilaksanakan. Jangan sebut kita dengan mereka memang berbeda. Sebab, kita semua pasti merindukan suasana suksesi semacam mereka. Bukan suasana suksesi kapal karam. Betul kan?’’ tulis Wahab. Silakan jawab…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar