Bersama
Kapal Karam SBY
Taufik
Ikram Jamil ; Sastrawan
|
JAWA
POS, 13 Juni 2014
MEMBACA
berita utama Jawa Pos Minggu (8/6) yang bertajuk Karamnya Kapal SBY
menciutkan hati kawan saya, Abdul Wahab. Selain itu, dia mengaku terpaksa
bersiap-siap lagi untuk menerima situasi ketidaknyamanan pergantian presiden
kelak sebagaimana suksesi-suksesi sebelumnya di negara ini.
’’Bagaimana tak ciut? Ilustrasi sekoci yang
retak-retak dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di belakang kemudi,
ditambah berhamburannya sejumlah orang dari alat angkutan darurat tersebut,
mengisyaratkan bagaimana tidak mudahnya SBY mengendalikan keadaan,’’ tulis
Wahab melalui pesan pendek (short
message service/SMS) yang tiba di telepon genggam saya.
Tambah
ciut, sambung Wahab, dua calon yang bakal menggantikan SBY sebagai presiden,
Prabowo Subianto dan Joko Widodo, berada dalam situasi serupa, walaupun
dengan ekspresi berbeda –malah bertolak belakang. ’’Bukankah tidak berlebihan kalau aku kemudian menyimpulkan bahwa
situasi yang bakal ditinggalkan SBY tidak akan otomatis membaik begitu
penggantinya terpilih,’’ tulis Wahab.
Tampaknya,
Wahab menilai situasi yang dihadapi SBY mempresentasikan situasi bangsa ini.
Sementara itu, SBY adalah simbol figur dengan tanggung jawab di pundaknya
karena merupakan presiden. Persoalan yang paling besar dan paling banyak
menyedot perhatian adalah persoalan moral seperti korupsi dan kejahatan
seksual pada anak-anak. Khusus korupsi, hal itu tidak saja dilakukan elite
politik dan pelaku ekonomi, tetapi seperti sudah berakar di tengah masyarakat
dengan berbagai pola, termasuk absurd.
Bayangkan
misalnya, tidak ada seorang pun di antara warga negara yang menerima korupsi.
Tetapi, seperti pengalaman dalam pemilihan legislatif yang baru berlalu,
tidak sedikit pula mereka yang menerima suap untuk memilih calon legislator
tertentu. Sudah bukan rahasia, sebagaimana begitu luas dilansir media massa,
jual-beli suara bagaikan suatu keniscayaan. Singkatan NPWP tidak lagi menjadi
hak dunia perpajakan karena telah dipanjangkan menjadi nomor piro wani piro.
Keadaan
bangsa ini makin mengenaskan karena persoalannya juga melekat langsung dalam
kehidupan SBY. Kader partai yang dipimpinnya, yakni Partai Demokrat (PD),
disebut banyak melakukan korupsi di tengah semangat mereka yang begitu besar
mengibarkan tagline antirasuah. Tidak tanggung-tanggung, yang terlibat dalam
kasus itu justru pengurus inti PD seperti Anas Urbaningrum dan Nazaruddin.
Belum lagi penyebutan nama anggota keluarga inti SBY dalam kasus Hambalang
yang kini masih dalam proses sidang.
Di sisi
lain, SBY telah muncul sebagai figur yang tidak lagi populis, sebagaimana
diungkapkan secara menggebu-gebu oleh A.S. Laksana dalam tulisannya yang berjudul
Akhir Rezim Pencitraan (Jawa Pos, 8/6). Nyatanya pula, suara
yang diperoleh PD sebagai partai berkuasa pada pemilihan legislatif April
lalu melorot hampir 50 persen jika dibandingkan dengan kegiatan serupa pada
2009. Berbagai tindakannya yang tidak arif, termasuk tidak memperjuangkan
Dahlan Iskan sebagai pemimpin negara berdasar hasil konvensi PD yang dibuat,
melengkapi coreng-moreng hitam di mukanya.
Di
antara sekian banyaknya muara hal-hal tersebut, kawan saya Abdul Wahab
mengaku, pergantian presiden kelak akan tetap dirasakan sebagai suatu
ketidaknyamanan. Walaupun dengan volume berbeda, hal semacam itu juga
dirasakan ketika Soeharto merenggut kekuasaan dari Soekarno, pengawalan era
reformasi di tangan KH Abdurrahman Wahid, bahkan ketika SBY tampil ke
panggung utama kekuasaan. B.J. Habibie dan Megawati Soekarnoputri tidak
disebutkan karena mereka hanyalah presiden antarwaktu.
’’Tidak seperti di Amerika Serikat sana. Sebut
saja bagaimana pergantian George W. Bush ke Bill Clinton, selanjutnya ke Barack
Obama. Masing-masing tidak meninggalkan masalah intern dan ekstern ketika
suksesi harus dilaksanakan. Jangan sebut kita dengan mereka memang berbeda.
Sebab, kita semua pasti merindukan suasana suksesi semacam mereka. Bukan
suasana suksesi kapal karam. Betul kan?’’ tulis Wahab. Silakan jawab… ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar