Republik
Mesir III
Hasibullah
Satrawi ; Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir;
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam; Direktur Aliansi Indonesia
Damai, Jakarta
|
KOMPAS,
13 Juni 2014
CALON presiden Mesir, Abdel
Fattah El-Sisi, menang telak dalam pemilihan presiden yang digelar akhir Mei
lalu. Komisi Pemilu Mesir dalam pengumuman resmi hasil pemilihan, Selasa
(3/6), mengatakan, Sisi mendapatkan hampir 97 persen suara. Pesaing Sisi,
Hamdeen Sabahi, mendapatkan kurang dari 4 persen (sekitar 800.000) dari total
25 juta suara yang berpartisipasi, 47 persen pemilih dari total 53 juta
rakyat Mesir yang mempunyai hak suara.
Walaupun bersaing dan berangkat
dari latar belakang berbeda (Sisi dari militer, Sabahi aktivis beraliran
kiri), mereka nyaris ”serupa”, khususnya dalam menghadapi pelbagai macam
tantangan pelik yang dihadapi Mesir saat ini. Paling tidak, keduanya
sama-sama anti Ikhwan Muslimin yang belakangan acap menjadi musuh bersama di
Mesir.
Mungkin karena ada ”musuh
bersama”, Pilpres Mesir kali ini relatif ”adem-ayem”, mulai dari masa
kampanye hingga pengumuman hasilnya. Bahkan, dalam sebuah wawancara, Sabahi
menyatakan tidak keberatan apabila ditunjuk menempati posisi tertentu pada
pemerintahan baru.
Mesir baru
Analis terkemuka Mesir, Abdul
Mun’im Said, dalam artikelnya ”Ri’asatu Abdul Fattah as-Sisi” (Kepemimpinan
Abdel Fattah Sisi) di harian terkemuka Timur Tengah, Ash-Sharq Al-Awsat,
menegaskan bahwa melalui Sisi, Pilpres Mesir bisa melahirkan Mesir baru yang
disebutnya sebagai Republik Mesir III (aljumhuriyah
at-tsalitsah).
Republik Mesir I dibentuk
melalui Revolusi Juli 1952 dan mengantarkan tokoh-tokoh utamanya menjadi
presiden, seperti Muhammad Najib dan Gamal Abdel Naser hingga Anwar Sadat dan
Hosni Mubarak. Sementara Republik Mesir II terbentuk melalui Revolusi 25
Januari 2011 dan mengantarkan Muhammad Mursi sebagai presiden (5/2).
Kelemahan paling mendasar
Republik Mesir I adalah kekuasaan otoriter. Kelompok Islamis, seperti Ikhwan
Muslimin ataupun kelompok oposisi lain dan nasionalis sekuler, kerap
diberedel pada masa Republik Mesir I saat dianggap membahayakan rezim
penguasa (termasuk kalangan nasionalis dan sekuler).
Otoriterisme kekuasaan tak
ubahnya candu yang menuntut pelaku terus melakukannya bahkan dengan dosis
yang lebih tinggi dan akhirnya berupaya menguasai dan mengontrol apa pun
untuk mempertahankan kekuasaannya. Itulah kurang lebih yang terjadi pada masa
pemerintahan Mubarak, rezim terakhir Republik Mesir I.
Ketika otoriterisme tak dapat
ditoleransi lagi, meletuslah Revolusi 25 Januari 2011. Lahir Republik Mesir
II yang mengantarkan Mursi menjadi presiden. Pada masa-masa awal, masyarakat
Mesir sangat berharap kepada Mursi sebagai presiden pertama yang mereka pilih
langsung untuk menyelesaikan aneka persoalan, khususnya kemiskinan.
Masalahnya, masyarakat Mesir
menggunakan kebebasan bak ”orang mabuk”. Segala macam yang dianggap tidak
baik atau belum baik langsung dihadapi dengan aksi turun ke jalan, yang terus
berlangsung sampai sekarang.
Sebaliknya, Ikhwan Muslimin
sebagai penguasa Republik Mesir II pun acap ”dimabuk” kekuasaan, khususnya
pada pemerintahan Mursi. Kekuasaan digunakan sampai pada tahap menimbulkan
otoriterisme keagamaan, seperti pembentukan Tim Konstituante 2012 dan
pengeluaran dekrit presiden oleh Mursi.
Inilah kelemahan paling mendasar
dari Republik Mesir II. Meminjam istilah yang digunakan oleh pakar gerakan
keagamaan di Mesir, Hala Musthafa, kondisi Ikhwan Muslimin yang tidak pernah
berkuasa telah membuatnya gagap dalam mengelola kekuasaan (Ma’zaq al-Masyru`
as-Siyasiy lil Islamiyyin; ahram.org.eg, 20/07/2013). Mesir pun semakin jauh
terjerumus ke dalam jebakan kerumunan massal dalam pelbagai aksi unjuk rasa.
Jenderal Sisi sebagai Menteri
Pertahanan dan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Mesir kemudian
melengserkan Mursi pada 3 Juli 2013.
Sejak hari itu, Sisi terlibat
langsung dalam perkembangan Mesir dengan berpedoman pada Peta Jalan Damai
(kharitha at-thariq) yang diumumkan saat melengserkan Mursi.
Tantangan
Ada tiga hal yang menjadi
tantangan serius bagi Sisi, khususnya terkait pemerintahan demokratis yang
menjunjung tinggi kebebasan, kesejahteraan, dan menghormati kemajemukan.
Pertama, menggunakan dan mengelola kebebasan secara positif dan konstruktif.
Tantangan ini tentu tidak mudah
bagi pemerintahan Mesir Republik III mengingat masyarakat Mesir baru saja
mendapatkan kebebasannya. Apabila tidak dikelola dan digunakan secara
positif, kebebasan berubah menjadi rentetan aksi anarki lagi. Apabila terlalu
dikekang, bukan tidak mungkin Sisi akan dianggap diktator baru yang bisa
memancing revolusi lagi.
Kedua, keamanan. Sebagaimana
masyarakat luas pada umumnya, aparat keamanan pun tampak tidak biasa dan acap
canggung dalam menangani pelbagai aksi turun ke jalan.
Begitu juga dengan instansi
pemerintahan lain, seperti kementerian dalam negeri dan militer. Berbagai
benturan memicu instabilitas dan menjerumuskan negeri itu ke dalam kubangan
krisis, khususnya krisis ekonomi.
Ketiga, moderasi Ikhwan Muslimin.
Saat ini Pemerintah Mesir telah memvonis
organisasi ini sebagai kelompok
teroris. Banyak tokoh dan aktivisnya ditahan dan dijatuhi hukuman mati.
Untuk sementara waktu, kebijakan
ini mungkin bisa dipertahankan dengan dalih menciptakan stabilitas keamanan.
Namun, itu tidak dalam jangka panjang karena Ikhwan Muslimin adalah realitas
masyarakat Mesir dan telah berdiri jauh sebelum Mesir merdeka.
Oleh karena itu, pemerintahan
Mesir ke depan perlu memoderasi organisasi keagamaan seperti Ikhwan Muslimin.
Apalagi, Mesir sukses memoderasi kelompok radikal seperti Jamaah Islamiyah
Mesir. Langkah moderasi akan membantu demokrasi tumbuh sehat dan menunjukkan
bahwa Republik Mesir III berbeda dari Republik Mesir I dan II. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar