Kontekstualitas
Debat dan Kepemimpinan Nasional
Danang
Sangga Buwana ; Komisioner KPI Pusat
|
JAWA
POS, 13 Juni 2014
DEBAT
capres-cawapres pada 9 Juni lalu yang disiarkan secara live di beberapa
stasiun televisi ternyata menyedot animo masyarakat secara luas. Hal itu
terbukti dari tingginya rating-share program debat tersebut jika dibandingkan
dengan program lain yang bernuansa hiburan.
Berdasar
data dari lembaga rating, Nielsen menyebut program debat capres di SCTV,
misalnya, mendapat rating-share (4,5/19,3), melebihi program lain pada jam
yang sama seperti Tukang Bubur Naik Haji di RCTI (3,2/13,9), YKS di TransTV
(2,3/10,0), serta Indonesia Lawak Klub di Trans7 (1,3/6,1). Tingginya jumlah
pemirsa program debat capres-cawapres itu, selain menggambarkan betapa bangsa
Indonesia mengharapkan pemimpin baru yang berintegritas, sekaligus menepis
anggapan tentang apatisme masyarakat terhadap proses lahirnya pemimpin bangsa
ini.
Demokrasi Substantif
Ditakar
dari aspek demokrasi, debat capres-cawapres bermakna mendalami kualitas
pasangan capres-cawapres yang diusung partai politik (parpol) agar pemilih
tidak lagi memilih kandidat semata-mata karena popularitas. Debat juga
menjadi gambaran visi-misi capres-cawapres di tengah dinamika kebangsaan.
Debat
menjadi sarana efektif penonjolan domain programatik ketimbang pencitraan
semata. Sebagai ikhtiar membangun demokrasi substantif, debat dilakukan untuk
mengetahui program, visi, dan misi kandidat. Sebelum menjadi pasangan
terpilih, capres-cawapres akan diapresiasi masyarakat sejauh mana perumusan
rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) yang mereka buat. Kondisi itu
memungkinkan masyarakat untuk melakukan komparasi kontekstualitas program
antarcalon yang sesuai dengan kondisi serta kebutuhan publik.
Debat
juga berfungsi menakar kualitas dan kapabilitas pasangan calon. Di dalam
debat, tentu akan diketahui sejauh mana argumentasi dan rasionalisasi para
calon dalam mempertahankan rencana program beserta strategi realisasinya. Di
situlah tampak ukuran kecakapan masing-masing kandidat. Publik lebih punya
kesempatan untuk menguji keseriusan capres melalui forum debat tersebut,
apakah kandidat itu layak dipilih atau tidak.
Di dalam
debat juga terjadi proses pendidikan politik bagi rakyat. Para pemegang
kebijakan sudah seharusnya menyadari bahwa rakyat semakin tidak percaya
dengan serangkaian mekanisme politik dalam memproses lahirnya para pemimpin.
Meningkatnya angka golongan putih (golput) menjadi semacam antitesis dari
perjalanan pemilihan langsung selama ini. Karena itu, masyarakat harus
diyakinkan kembali bahwa bangsa ini membutuhkan figur pemimpin yang
benar-benar berkualitas dan berintegritas. Usaha peningkatan partisipasi
dapat distimulasi dengan menyuguhkan forum debat kandidat capres-cawapres
yang disiarkan secara langsung oleh lembaga penyiaran tanpa adanya proses
edit.
Di atas
segalanya, debat menjadi sarana untuk menakar konsistensi antara janji dan
implementasi. Nanti tampak apakah para kandidat terpilih benar-benar
konsisten dengan janji yang telah disampaikan sebelum menjadi presiden.
Gaya Kepemimpinan
Penentuan
sosok capres tidak cukup dengan hanya memiliki kriteria umum. Yaitu, memenuhi
persyaratan formal yang ditentukan dalam undang-undang seperti yang sempat
diperdebatkan seperti masalah tingkat pendidikan dan umur. Juga, tidak melulu
hanya persyaratan prosedural-politis seperti pemenuhan 20 persen dukungan
DPR. Bangsa Indonesia membutuhkan seorang pemimpin efektif untuk menghadapi
tantangan ke depan, khususnya masalah perekonomian (effective economic policy) dan kesejahteraan (socio-cultural finesse) serta dapat
menjalankan roda pemerintahan (political
mastery) dengan baik.
Melalui
program debat capres-cawapres, sejatinya dapat diketahui cermin dan gaya
kepemimpinan mereka. Pasangan nomor 1 (Prabowo-Hatta) maupun nomor 2
(Jokowi-JK) mempunyai gaya kepemimpinan masing-masing. Setidaknya, gaya
kepemimpinan capres-cawapres yang akan memimpin negeri ini dapat
dikategorikan dalam enam Leadership
Style Theory (Daniel Goleman Dkk: 2004).
Pertama,
coercive style. Dengan gaya ini,
pemimpin diharuskan memiliki control diri (self control) dan inisiatif untuk mencapai tujuan dan
mengharapkan permintaannya dipenuhi dengan segera. Kepemimpinan ini cocok
dalam kondisi krisis dan untuk memulai (kick-start)
suatu perubahan.
Kedua, authority style. Pemimpin dengan tipe
seperti itu memiliki kepercayaan diri dan dapat memobilisasi serta
menginspirasi orang untuk mencapai visinya. Style ini cocok bagi kondisi yang
membutuhkan perubahan visi atau arahan yang jelas. Selama satu dasawarsa ini,
proses transisi menuju demokrasi telah dilalui secara terseok dan tersendat.
Belum ada kejelasan rencana bagaimana membangun sistem demokrasi yang lebih
mapan.
Di satu
sisi, semua pihak sadar dan memahami bahwa sudah waktunya bangsa ini landing
pada tahap konsolidasi demokrasi dengan pelembagaan sistem politik. Namun,
pemahaman dan kesadaran itu menjadi sebatas diskursus teoretis tanpa
kejelasan implementasi. Karena itu, style pemimpin otoritatif ini diharapkan
dapat mendorong proses demokratisasi bangsa ini menuju tahap yang lebih baik.
Ketiga, affirmative style. Tipe pemimpin ini
mampu menciptakan harmoni dan komunikasi yang baik serta membangun ikatan
emosional dengan prioritas utama: rakyat. Kondisi itu diperlukan untuk
membangun tim atau memperbaiki hubungan yang rusak dan memotivasi orang dalam
keadaan yang frustrasi.
Keempat,
democratic style. Pemimpin
demokratis akan mendorong terjadinya konsensus melalui partisipasi yang
aktif, kerja sama, serta team leadership dan komunikasi yang baik. Tipe ini
berguna untuk mendapatkan konsensus maupun input, khususnya terhadap berbagai
ragam orang atau kelompok. Tentu saja sangat sulit menyelaraskan ragam kepentingan
rakyat dalam satu wadah NKRI. Di sinilah karakter kepemimpinan demokratis
dibutuhkan agar Indonesia tetap satu dalam keragaman (Bhinneka Tunggal Ika).
Kelima, pace setting. Menetapkan standar yang
tinggi untuk mendapat hasil yang cepat dari tim yang berkompeten dan memiliki
motivasi yang tinggi. Tipe ini dibutuhkan oleh presiden dalam keahliannya
menciptakan team work yang baik
dalam kabinetnya. Dia niscaya membaca bahwa yang dibutuhkan di dalam tim
bukan hanya kualitas personal, melainkan juga kualitas komunal. Dengan
sinergi dan keseimbangan di dalam tim, akan tercipta pola kerja yang optimal.
Keenam, coaching. Tipe pemimpin ini mampu
mengembangkan masyarakat untuk membangun masa depan yang kukuh dan
sustainable. Pemimpin ibarat pelatih (coach)
dalam sebuah pertandingan sepak bola. Kekompakan dan kerja sama yang bagus
antarelemen dalam tim akan mampu menampilkan ritme permainan yang menarik dan
mudah memenangi pertandingan. Hal itulah yang saat ini juga dibutuhkan bangsa
ini.
Tidak
hanya satu tipe, perpaduan karakter kepemimpinan tersebut niscaya dimiliki
capres-cawapres kita untuk Indonesia yang lebih baik. Tentu kita semua
berharap perhelatan pilpres 9 Juli nanti menghasilkan sosok pemimpin
transformasional berciri enam tipe tersebut. Lantas, siapakah pemimpin yang
paling pantas? Biarkan rakyat yang menentukan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar