|
DAMPAK
dari defisit perdagangan terhadap pelemahan nilai tukar mata uang rupiah akan
mengakibatkan keluarnya arus modal yang cukup signifikan dari pasar uang di
Indonesia. Hal ini menjadi headline
di berbagai media nasional dalam satu bulan belakangan ini. Akan tetapi, tak
lama setelah itu muncul kabar positif mengenai posisi/rangking Indonesia yang
membaik pada World Competitive Index
2013-2014 yang dirilis World Economic
Forum.
Peringkat Indonesia, sebagai
kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, meningkat dari posisi 50 ke 38 dari
148 negara di dunia. Dijelaskan bahwa peningkatan peringkat itu terutama
disebabkan meningkatnya nilai investasi pada pembangunan infrastruktur dan
membaiknya kerja sama pemerintah dan swasta (public private partnership) dalam berbagai sektor, di samping
indikator pertumbuhan GDP yang stabil di angka 5,2% pada sepuluh tahun
terakhir.
Namun, satu hal yang belum
menunjukkan indikasi per baik an adalah dalam pilar kepastian hukum, yakni peringkat
Indonesia dalam indeks persepsi tentang masalah korupsi dan keamanan masih
terbilang rendah (tiap-tiap peringkat 106 dan 104 dari 148 negara di dunia).
Masalah kepastian hukum amat
penting untuk menjamin peranan dari pengusaha dan kalangan investor dalam
meningkatkan kondisi perekonomian nasional. Pada kurun waktu satu tahun ke
belakang, banyak ditemui kasus-kasus kontroversial yang berujung pada dilema
kriminalisasi perusahaan. Lihat saja putusan pengadilan terkait dengan Chevron,
Merpati Airlines, Indosat (IM2), dan Asian Agri.
Kesamaan dari keempat kasus
tersebut adalah munculnya dugaan kerugian negara akibat praktik bisnis dari
perusahaan yang bersangkutan. Namun, yang menarik dicermati hanyalah kasus PT.
Asian Agri yang terkait dengan ranah hukum administrasi negara, dalam hal ini
berkaitan dengan masalah hukum perpajakan.
Dalam kasus Asian Agri, putusan
kasasi Mahkamah Agung (MA) tampak kurang mempertimbangkan hal yang bersifat
hukum materiil atas perselisihan masalah angka atau perhitungan perpajakan
antara Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dengan Wajib Pajak (Asian Agri).
Dalam putusan Pengadilan Negeri
dan putusan banding di Pengadilan Tinggi dinyatakan bahwa kasus itu masih
bersifat prematur, mengingat surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) yang
bersifat administratif belum ditetapkan Ditjen Pajak dan kepada wajib pajak
tidak diberikan kesempatan untuk mempertahankan haknya atau membela diri.
Menurut Ditjen Pajak, Asian Agri telah melakukan pelanggaran atau penyelewengan
terhadap peraturan perpajakan sehingga salah satu asas hukum yang berlaku,
yaitu ultimum remedium dikesampingkan.
Di samping itu, terkesan bahwa MA
dan Ditjen Pajak melupakan satu asas yang terpenting dalam hukum pidana, yaitu presumption of innocence. Berdasarkan
putusan MA tersebut, Ditjen Pajak selanjutnya menerbitkan SKPKB. Sampai saat
informasi yang diperoleh diberitakan bahwa Asian Agri telah membayar 50% dari
pokok pajak terhutang, sesuai nilai yang tertera di dalam SKPKB berikut
dendanya sebesar 48% sebagai syarat untuk mengajukan banding ke pengadilan pajak.
SKPKB
juga berpotensi menimbulkan perkara hukum baru karena tidak jelas landasan
hukumnya. Asian Agri, sesuai mekanisme hukum pajak, dapat melakukan upaya hukum
yang disediakan UU seperti upaya hukum mengajukan keberatan serta banding ke
pengadilan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU No 16/2000 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UUKUP). Persoalan pajak akhirnya
bergulir ke ranah hukum administrasi.
Tindakan Ditjen Pajak melakukan
penagihan pajak seperti itu dinilai kurang tepat, karena Ditjen Pajak
memperlakukan wajib pajak tidak berdasarkan mekanisme yang telah ditetapkannya
sendiri. Tindakan pemerintah masih menyisakan persoalan hukum dan perlu
disikapi dengan mengantisipasi kemungkinan timbulnya persoalan hukum lain. Kemungkinan
Asian Agri melakukan perlawanan hukum melalui keberatan, banding, maupun
peninjauan kembali merupakan hak wajib pajak sesuai aturan pajak yang berlaku.
Artinya, proses panjang tuntasnya utang pajak yang sesungguhnya masih menunggu
waktu lagi.
Administrasi dan pidana
Menarik dicermati bahwa dalam
putusan MA terkait dengan kasus Asian Agri ini ditekankan adanya
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas perbuatan terdakwa (sdr Suwir
Laut) sebagai personifikasi dari korporasi yang diwakilinya. Namun, di sisi
lain, pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut belum diterima seutuhnya
karena menurut Prof Dr Barda Nawawi Arief, SH, Guru Besar
Hukum Pidana
Universitas Diponegoro, “Walaupun telah mengalami dua kali perubahan (catatan
penulis: UUKUP), pola terhadap jenis sanksi pidananya tetap tidak berubah dan
tetap tidak ada ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana untuk korporasi“. Selain
itu, korporasi yang tersangkut dalam perkara hukum perpajakan tersebut tidak
didakwakan.
Dapat disimpulkan bahwa kasus hukum
di bidang perpajakan yang awalnya masuk ke ranah hukum pidana, akhirnya ditarik
masuk ke hukum administrasi negara di bidang perpajakan lantaran hal tersebut
justru menimbulkan kerancuan tersendiri, dan tidak mencerminkan adanya
kepastian hukum. Dalam UU Pajak ditegaskan bahwa pungutan pajak dilakukan
berlandaskan sistem pemungutan self-assessment
yang memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk memenuhi
kewajibannya dengan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan
sendiri besarnya pajak terutang ke kantor pajak.
Apabila terdapat ketidaktepatan dalam jumlah pembayaran pajak, pihak Dirjen
Pajak dapat melakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan Pasal 29 UUKUP.
Jika wajib pajak diduga
merekayasa keuangan untuk mengecilkan nilai pajak, seharusnya tidak perlu
dilakukan penyidikan, tetapi dilakukan pemeriksaan untuk menghitung utang pajak
yang sebenarnya. Selanjutnya, Ditjen Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak
sebagai dasar untuk menagih. Perhitungan kewajiban pajak Asian Agri tidak sulit
karena sifat produknya merupakan komoditas dan mempunyai harga rujukan yang
merupakan data terbuka. Selain itu, data perusahaan publik yang bersifat
terbuka juga dapat dijadikan pembanding, sebut saja PT. SMART Tbk, PT Astra
Agro Lestari, Tbk, PT London Sumatra Plantation Tbk, dan PT Sampoerna Agro Tbk.
Permasalahan dugaan manipulasi
perpajakan Asian Agri adalah pada pengecilan harga jual dan pembesaran beban
biaya dan tidak pada persoalan kuantitas produksi. Dengan demikian, secara
gamblang dapat diperbandingkan dari EBITDA per hektare. Baru-baru ini Ditjen
Pajak menyatakan bahwa instansinya belum memiliki proyeksi apakah target
penerimaan pajak dalam APBN-P 2013 sebesar Rp995 triliun dapat tercapai. Harus
diakui, bahwa kendala-kendala terkait edukasi publik, kuantitas, kualitas, dan
integritas SDM perpajakan secara konsisten terus menjadi prioritas Ditjen
Pajak.
Akan tetapi, perlu dipertimbangkan juga pendekatan yang berorientasi
kepada unsur fairness dalam menyikapi
penuntasan kasus pajak yang di sisi lain memberikan kepastian hukum bagi
penerimaan pajak negara.
Terlepas dari hasil akhir kasus
Asian Agri, kasus ini akan menambahkan daftar atas masalah ketidakpastian hukum
dan dugaan kriminalisasi terhadap wajib pajak perusahaan. Hal ini akan
memberikan preseden buruk bagi pengusaha dan investor untuk mempertimbangkan
komitmen jangka panjangnya dalam berinvestasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar