|
Wilfrida Soik menyedot
perhatian. Perempuan muda ini duduk di kursi pengadilan sebagai terdakwa
pembunuhan ibu majikannya, Yeap Seok Pen, 60. Jika ditetapkan bersalah, buruh
migran asal Belu, Nusa Tenggara Timur, ini akan mengakhiri hidupnya di tiang
gantungan.
Sebenarnya, sebelum hukuman ditetapkan, Wilfrida telah meringkuk di lokap (penjara) Pangkalan Cepa, Kelantan, sejak akhir Desember 2010.
Akhirnya pengadilan sela memutuskan bahwa putusan terhadap Wilfrida ditangguhkan. Tentu, peran pengacara kawakan Malaysia, Muhammad Shafee Abdullah, cukup besar dalam usaha membebaskan terdakwa dari hukuman mati. Apalagi, hakim memuluskan tiga permohonan pembela. Pertama, pemeriksaan tulang untuk memastikan usia Wilfrida sebenarnya. Kedua, pemeriksaan mental oleh psikiater yang ditunjuk pengacara. Sebelumnya, Wilfrida diperiksa oleh Rumah Sakit Ipoh Perak dan diyatakan bahwa terdakwa mengalami tekanan psikologis. Ketiga, pembela bisa mendapatkan rekaman persidangan sebelumnya.
Nah, kalau ujian pertama bisa membuktikan Wilfrida masih di bawah umur, tentu undang-undang Malaysia akan menyelamatkan nyawanya. Sebab, anak yang berusia 18 tahun tidak bisa dijatuhi hukuman mati. Apa pun, keputusan yang ditetapkan pada 17 November mendatang tidak bisa menghilangkan pengalaman pahit Wilfrida. Di usia yang belum matang dia terpaksa hidup dengan lingkungan yang sama sekali "asing".
Kehadiran Prabowo Subianto dalam persidangan telah menarik insan pers lokal. Esok harinya, beberapa media massa memaparkan gambar calon presiden ini bersama kedua orang tua Wilfrida. Koran terbesar negeri jiran, Utusan, mengutip pernyataannya. Ketua Dewan Pembina Gerindra ini menyatakan tidak mencari publikasi murahan, melainkan ingin mewujudkan tanggung jawab sebagai pemimpin. Prabowo menambahkan bahwa dirinya juga pernah menolong 300 pekerja wanita Indonesia di Jordania. Dalam portal berita Malaysia Insider, dia menegaskan bahwa kepedulian kepada Wilfrida adalah wujud keprihatinan terhadap anak dari keluarga miskin.
Sebenarnya, ini bukan hal baru. Sri Sultan Hamengkubowono pernah melakukan hal serupa. Pak Sultan pernah mengunjungi Nirmala Bonat, korban penyiksaan majikannya, Yim Pek Ha. Namun, Sultan tidak menggelontorkan duit untuk menyewa pengacara seperti yang dilakukan Prabowo. Sejatinya, dukungan moral seperti ini tidak perlu dibesar-besarkan. Siapa pun tokoh yang empati kepada warga Indonesia yang dirundung soal hukum di luar negeri layak diapresiasi.
Tentu saja nama Prabowo melambung karena berhasil menyewa pengacara ternama. Tak hanya itu. Dia juga menemui petinggi negara tetangga, Ahmad Zahid Hamidi, menteri dalam negeri. Padahal, Jumhur Hidayat dan Muhaimin Iskandar juga melakukan langkah-langkah serupa, karena secara langsung buruh migran berada di bawah tanggung jawab keduanya. Pembelaan mestinya tidak berhenti di sini. Ada banyak kasus lain yang menimpa pekerja kita di sana untuk segera ditangani.
Sebenarnya, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur mendampingi terdakwa sejak dijebloskan ke penjara. Tentu saja dukungan pegiat buruh migran, seperti Wahyu Susilo dan Anis Hidayah, yang tidak pernah mengenal lelah untuk menyuarakan keadilan bagi Wilfrida, baik di media massa maupun media sosial Twitter, termasuk petisi melalui situs, menjadikan kasus ini senantiasa terpantau oleh khalayak. Dengan dukungan besar ini tentu pada waktu yang sama ada banyak hal yang perlu diperhatikan pemerintah, pegiat LSM, dan khalayak luas.
Pertama, ada ratusan ribu pekerja rumah tangga di Malaysia yang berasal dari Indonesia. Jelas, pemantauan terhadap mereka yang berada dalam ruang tertutup menyukarkan orang lain untuk memastikan keberadaannya. Ini berbeda dengan buruh migran perempuan yang bekerja di pabrik di seantero Malaysia. Mereka yang bekerja di ruang terbuka jauh lebih mudah untuk terpapar dan jauh lebih leluasa bersosialiasi dengan kawan-kawan sekerjanya. Atas pertimbangan ini, pemerintah dan LSM harus memastikan pekerja tata laksana rumah tangga untuk memanfaatkan libur sehari untuk melakukan aktivitas bersama. Keberhasilan NGO Filipina yang mengoordinasi pembantu rumah tangga untuk melakukan kebaktian setiap Minggu tentu bisa dijadikan contoh agar pekerja kita juga menemukan "rumah"-nya di negeri rantau.
Kedua, kesediaan Shafee Abdullah, warga jiran, untuk membela Wilfrida menunjukkan bahwa pembelaan itu adalah wujud profesionalitas yang bersangkutan dan sekaligus persoalan buruh migran adalah isu kemanusiaan. Jika terbukti bahwa terdakwa masih berada di bawah umur, jelas praktik pemerdagangan (trafficking) manusia begitu nyata di depan mata.
Padahal, pemerintah Malaysia sedang berusaha mengatasi isu ini, mengingat sorotan dunia internasional terhadap praktik kejahatan yang menjadikan orang lemah sebagai korban. Tak ayal, di banyak titik, seperti bandara, stasiun, dan fasilitas publik terdapat spanduk yang berbunyi hentikan trafficking dan nomor telepon yang bisa dihubungi bila ada praktik seperti ini. Jalan masih teramat panjang. ●
Sebenarnya, sebelum hukuman ditetapkan, Wilfrida telah meringkuk di lokap (penjara) Pangkalan Cepa, Kelantan, sejak akhir Desember 2010.
Akhirnya pengadilan sela memutuskan bahwa putusan terhadap Wilfrida ditangguhkan. Tentu, peran pengacara kawakan Malaysia, Muhammad Shafee Abdullah, cukup besar dalam usaha membebaskan terdakwa dari hukuman mati. Apalagi, hakim memuluskan tiga permohonan pembela. Pertama, pemeriksaan tulang untuk memastikan usia Wilfrida sebenarnya. Kedua, pemeriksaan mental oleh psikiater yang ditunjuk pengacara. Sebelumnya, Wilfrida diperiksa oleh Rumah Sakit Ipoh Perak dan diyatakan bahwa terdakwa mengalami tekanan psikologis. Ketiga, pembela bisa mendapatkan rekaman persidangan sebelumnya.
Nah, kalau ujian pertama bisa membuktikan Wilfrida masih di bawah umur, tentu undang-undang Malaysia akan menyelamatkan nyawanya. Sebab, anak yang berusia 18 tahun tidak bisa dijatuhi hukuman mati. Apa pun, keputusan yang ditetapkan pada 17 November mendatang tidak bisa menghilangkan pengalaman pahit Wilfrida. Di usia yang belum matang dia terpaksa hidup dengan lingkungan yang sama sekali "asing".
Kehadiran Prabowo Subianto dalam persidangan telah menarik insan pers lokal. Esok harinya, beberapa media massa memaparkan gambar calon presiden ini bersama kedua orang tua Wilfrida. Koran terbesar negeri jiran, Utusan, mengutip pernyataannya. Ketua Dewan Pembina Gerindra ini menyatakan tidak mencari publikasi murahan, melainkan ingin mewujudkan tanggung jawab sebagai pemimpin. Prabowo menambahkan bahwa dirinya juga pernah menolong 300 pekerja wanita Indonesia di Jordania. Dalam portal berita Malaysia Insider, dia menegaskan bahwa kepedulian kepada Wilfrida adalah wujud keprihatinan terhadap anak dari keluarga miskin.
Sebenarnya, ini bukan hal baru. Sri Sultan Hamengkubowono pernah melakukan hal serupa. Pak Sultan pernah mengunjungi Nirmala Bonat, korban penyiksaan majikannya, Yim Pek Ha. Namun, Sultan tidak menggelontorkan duit untuk menyewa pengacara seperti yang dilakukan Prabowo. Sejatinya, dukungan moral seperti ini tidak perlu dibesar-besarkan. Siapa pun tokoh yang empati kepada warga Indonesia yang dirundung soal hukum di luar negeri layak diapresiasi.
Tentu saja nama Prabowo melambung karena berhasil menyewa pengacara ternama. Tak hanya itu. Dia juga menemui petinggi negara tetangga, Ahmad Zahid Hamidi, menteri dalam negeri. Padahal, Jumhur Hidayat dan Muhaimin Iskandar juga melakukan langkah-langkah serupa, karena secara langsung buruh migran berada di bawah tanggung jawab keduanya. Pembelaan mestinya tidak berhenti di sini. Ada banyak kasus lain yang menimpa pekerja kita di sana untuk segera ditangani.
Sebenarnya, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur mendampingi terdakwa sejak dijebloskan ke penjara. Tentu saja dukungan pegiat buruh migran, seperti Wahyu Susilo dan Anis Hidayah, yang tidak pernah mengenal lelah untuk menyuarakan keadilan bagi Wilfrida, baik di media massa maupun media sosial Twitter, termasuk petisi melalui situs, menjadikan kasus ini senantiasa terpantau oleh khalayak. Dengan dukungan besar ini tentu pada waktu yang sama ada banyak hal yang perlu diperhatikan pemerintah, pegiat LSM, dan khalayak luas.
Pertama, ada ratusan ribu pekerja rumah tangga di Malaysia yang berasal dari Indonesia. Jelas, pemantauan terhadap mereka yang berada dalam ruang tertutup menyukarkan orang lain untuk memastikan keberadaannya. Ini berbeda dengan buruh migran perempuan yang bekerja di pabrik di seantero Malaysia. Mereka yang bekerja di ruang terbuka jauh lebih mudah untuk terpapar dan jauh lebih leluasa bersosialiasi dengan kawan-kawan sekerjanya. Atas pertimbangan ini, pemerintah dan LSM harus memastikan pekerja tata laksana rumah tangga untuk memanfaatkan libur sehari untuk melakukan aktivitas bersama. Keberhasilan NGO Filipina yang mengoordinasi pembantu rumah tangga untuk melakukan kebaktian setiap Minggu tentu bisa dijadikan contoh agar pekerja kita juga menemukan "rumah"-nya di negeri rantau.
Kedua, kesediaan Shafee Abdullah, warga jiran, untuk membela Wilfrida menunjukkan bahwa pembelaan itu adalah wujud profesionalitas yang bersangkutan dan sekaligus persoalan buruh migran adalah isu kemanusiaan. Jika terbukti bahwa terdakwa masih berada di bawah umur, jelas praktik pemerdagangan (trafficking) manusia begitu nyata di depan mata.
Padahal, pemerintah Malaysia sedang berusaha mengatasi isu ini, mengingat sorotan dunia internasional terhadap praktik kejahatan yang menjadikan orang lemah sebagai korban. Tak ayal, di banyak titik, seperti bandara, stasiun, dan fasilitas publik terdapat spanduk yang berbunyi hentikan trafficking dan nomor telepon yang bisa dihubungi bila ada praktik seperti ini. Jalan masih teramat panjang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar