Kamis, 03 Oktober 2013

Kepastian Hukum Wajib Pajak Perusahaan

Kepastian Hukum Wajib Pajak Perusahaan
Rudi Siregar  ;  Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Hukum dan Advokasi Kadin
MEDIA INDONESIA, 02 Oktober 2013


DAMPAK dari defisit perdagangan terhadap pelemahan nilai tukar mata uang rupiah akan mengakibatkan keluarnya arus modal yang cukup signifikan dari pasar uang di Indonesia. Hal ini menjadi headline di berbagai media nasional dalam satu bulan belakangan ini. Akan tetapi, tak lama setelah itu muncul kabar positif mengenai posisi/rangking Indonesia yang membaik pada World Competitive Index 2013-2014 yang dirilis World Economic Forum.

Peringkat Indonesia, sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, meningkat dari posisi 50 ke 38 dari 148 negara di dunia. Dijelaskan bahwa peningkatan peringkat itu terutama disebabkan meningkatnya nilai investasi pada pembangunan infrastruktur dan membaiknya kerja sama pemerintah dan swasta (public private partnership) dalam berbagai sektor, di samping indikator pertumbuhan GDP yang stabil di angka 5,2% pada sepuluh tahun terakhir.

Namun, satu hal yang belum menunjukkan indikasi per baik an adalah dalam pilar kepastian hukum, yakni peringkat Indonesia dalam indeks persepsi tentang masalah korupsi dan keamanan masih terbilang rendah (tiap-tiap peringkat 106 dan 104 dari 148 negara di dunia).

Masalah kepastian hukum amat penting untuk menjamin peranan dari pengusaha dan kalangan investor dalam meningkatkan kondisi perekonomian nasional. Pada kurun waktu satu tahun ke belakang, banyak ditemui kasus-kasus kontroversial yang berujung pada dilema kriminalisasi perusahaan. Lihat saja putusan pengadilan terkait dengan Chevron, Merpati Airlines, Indosat (IM2), dan Asian Agri.

Kesamaan dari keempat kasus tersebut adalah munculnya dugaan kerugian negara akibat praktik bisnis dari perusahaan yang bersangkutan. Namun, yang menarik dicermati hanyalah kasus PT. Asian Agri yang terkait dengan ranah hukum administrasi negara, dalam hal ini berkaitan dengan masalah hukum perpajakan.

Dalam kasus Asian Agri, putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) tampak kurang mempertimbangkan hal yang bersifat hukum materiil atas perselisihan masalah angka atau perhitungan perpajakan antara Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dengan Wajib Pajak (Asian Agri).

Dalam putusan Pengadilan Negeri dan putusan banding di Pengadilan Tinggi dinyatakan bahwa kasus itu masih bersifat prematur, mengingat surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) yang bersifat administratif belum ditetapkan Ditjen Pajak dan kepada wajib pajak tidak diberikan kesempatan untuk mempertahankan haknya atau membela diri. Menurut Ditjen Pajak, Asian Agri telah melakukan pelanggaran atau penyelewengan terhadap peraturan perpajakan sehingga salah satu asas hukum yang berlaku, yaitu ultimum remedium dikesampingkan.

Di samping itu, terkesan bahwa MA dan Ditjen Pajak melupakan satu asas yang terpenting dalam hukum pidana, yaitu presumption of innocence. Berdasarkan putusan MA tersebut, Ditjen Pajak selanjutnya menerbitkan SKPKB. Sampai saat informasi yang diperoleh diberitakan bahwa Asian Agri telah membayar 50% dari pokok pajak terhutang, sesuai nilai yang tertera di dalam SKPKB berikut dendanya sebesar 48% sebagai syarat untuk mengajukan banding ke pengadilan pajak.

SKPKB juga berpotensi menimbulkan perkara hukum baru karena tidak jelas landasan hukumnya. Asian Agri, sesuai mekanisme hukum pajak, dapat melakukan upaya hukum yang disediakan UU seperti upaya hukum mengajukan keberatan serta banding ke pengadilan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU No 16/2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UUKUP). Persoalan pajak akhirnya bergulir ke ranah hukum administrasi.

Tindakan Ditjen Pajak melakukan penagihan pajak seperti itu dinilai kurang tepat, karena Ditjen Pajak memperlakukan wajib pajak tidak berdasarkan mekanisme yang telah ditetapkannya sendiri. Tindakan pemerintah masih menyisakan persoalan hukum dan perlu disikapi dengan mengantisipasi kemungkinan timbulnya persoalan hukum lain. Kemungkinan Asian Agri melakukan perlawanan hukum melalui keberatan, banding, maupun peninjauan kembali merupakan hak wajib pajak sesuai aturan pajak yang berlaku. Artinya, proses panjang tuntasnya utang pajak yang sesungguhnya masih menunggu waktu lagi.

Administrasi dan pidana

Menarik dicermati bahwa dalam putusan MA terkait dengan kasus Asian Agri ini ditekankan adanya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas perbuatan terdakwa (sdr Suwir Laut) sebagai personifikasi dari korporasi yang diwakilinya. Namun, di sisi lain, pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut belum diterima seutuhnya karena menurut Prof Dr Barda Nawawi Arief, SH, Guru Besar 
Hukum Pidana Universitas Diponegoro, “Walaupun telah mengalami dua kali perubahan (catatan penulis: UUKUP), pola terhadap jenis sanksi pidananya tetap tidak berubah dan tetap tidak ada ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana untuk korporasi“. Selain itu, korporasi yang tersangkut dalam perkara hukum perpajakan tersebut tidak didakwakan.

Dapat disimpulkan bahwa kasus hukum di bidang perpajakan yang awalnya masuk ke ranah hukum pidana, akhirnya ditarik masuk ke hukum administrasi negara di bidang perpajakan lantaran hal tersebut justru menimbulkan kerancuan tersendiri, dan tidak mencerminkan adanya kepastian hukum. Dalam UU Pajak ditegaskan bahwa pungutan pajak dilakukan berlandaskan sistem pemungutan self-assessment yang memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya dengan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak terutang ke kantor pajak.
Apabila terdapat ketidaktepatan dalam jumlah pembayaran pajak, pihak Dirjen Pajak dapat melakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan Pasal 29 UUKUP.

Jika wajib pajak diduga merekayasa keuangan untuk mengecilkan nilai pajak, seharusnya tidak perlu dilakukan penyidikan, tetapi dilakukan pemeriksaan untuk menghitung utang pajak yang sebenarnya. Selanjutnya, Ditjen Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak sebagai dasar untuk menagih. Perhitungan kewajiban pajak Asian Agri tidak sulit karena sifat produknya merupakan komoditas dan mempunyai harga rujukan yang merupakan data terbuka. Selain itu, data perusahaan publik yang bersifat terbuka juga dapat dijadikan pembanding, sebut saja PT. SMART Tbk, PT Astra Agro Lestari, Tbk, PT London Sumatra Plantation Tbk, dan PT Sampoerna Agro Tbk.

Permasalahan dugaan manipulasi perpajakan Asian Agri adalah pada pengecilan harga jual dan pembesaran beban biaya dan tidak pada persoalan kuantitas produksi. Dengan demikian, secara gamblang dapat diperbandingkan dari EBITDA per hektare. Baru-baru ini Ditjen Pajak menyatakan bahwa instansinya belum memiliki proyeksi apakah target penerimaan pajak dalam APBN-P 2013 sebesar Rp995 triliun dapat tercapai. Harus diakui, bahwa kendala-kendala terkait edukasi publik, kuantitas, kualitas, dan integritas SDM perpajakan secara konsisten terus menjadi prioritas Ditjen Pajak. 

Akan tetapi, perlu dipertimbangkan juga pendekatan yang berorientasi kepada unsur fairness dalam menyikapi penuntasan kasus pajak yang di sisi lain memberikan kepastian hukum bagi penerimaan pajak negara.


Terlepas dari hasil akhir kasus Asian Agri, kasus ini akan menambahkan daftar atas masalah ketidakpastian hukum dan dugaan kriminalisasi terhadap wajib pajak perusahaan. Hal ini akan memberikan preseden buruk bagi pengusaha dan investor untuk mempertimbangkan komitmen jangka panjangnya dalam berinvestasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar