Seandainya
Saya SBY
F Kus Sapto W ; Praktisi
Pemasaran, Dosen Tamu
pada Program
Magister Manajemen Fakultas Ekonomi UNS Surakarta
|
SUARA
MERDEKA, 23 Oktober 2012
SEANDAINYA saya SBY, desakan untuk segera
turun tangan mengurai benang kusut dugaan intervensi terhadap laporan audit
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agaknya akan menguat kembali. Dua orang dekat
saya diduga terlibat dalam suap pada Pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan,
dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang Sentul Kabupaten Bogor Jabar.
Menpora Saudara Andi Alifian Mallarangeng
dan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Saudara Anas Urbaningrum disebut-sebut
dalam laporan audit sebagai penerima fee proyek koruptif itu (Koran Tempo,
21/10/12). Kali ini saya tidak terburu-buru berpidato seperti ketika sejumlah
polisi mengepung gedung KPK minggu pertama Oktober (05/10).
Terlebih instruksi saya dalam pidato itu
pun terlihat belum cukup efektif mendorong Polri menyerahkan penanganan kasus
suap simulator mengemudi (simulator SIM) kepada KPK. Saya hanya berharap
Polri dan KPK bisa segera keluar dari kerumitan serah terima kasus, baik yang
mendasarkan pada KUHAP maupun Pasal 50 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Saya juga tahu bahwa penghilangan beberapa
nama dalam laporan audit BPK dan perselisihan Polri-KPK sarat oleh kepentingan.
Bisa dipastikan konflik lain masih ada sebab saya berharap lebih banyak lagi.
Semata-mata bukan demi konflik itu melainkan untuk pembelajaran mencari
solusi. Makin sering terjadi konflik dan makin sering rekonsiliasi maka
bangsa ini makin cerdas mengelola konflik.
Jadi, kejadian demi kejadian itu termasuk
bagian road map yang sedang saya bangun. Selain terhadap permasalahan
KPK-Polri, saya pun mengeluarkan banyak imbauan. Misalnya kepada kader Partai
Demokrat yang merasa korupsi untuk mengundurkan diri. Sayang, imbauan saya
pada medio Juni lalu tidak direspons positif.
Dalam rapat kabinet 19 Juli lalu, lagi-lagi
saya mengeluarkan imbauan. Kali itu tertuju kepada menteri untuk mundur jika
lebih sibuk nyambi sebagai pengurus parpol (tentu dengan sepengetahuan saya
bahwa hampir semua menteri adalah elite parpol).
Namun seperti sudah diduga, imbauan itu pun
ditanggapi negatif. Sebagian elite justru memelintir sebagai sindiran balik
dalam kapasitas saya sebagai ketua dewan pembina partai. Banyak pihak
menengarai komunikasi politik berpola imbauan tersebut tidak efektif.
Padahal perilaku kepemimpinan efektif,
menurut Gary A Yukl dalam Leadership in Organizations (2010) paling tidak
tercirikan dalam tiga hal. Pertama; tindakan nyata terhadap penyelesaian
tugas-tugas untuk mencapai tujuan (objectives). Kedua; concern tinggi
terhadap relationships. Ketiga; perhatian tinggi terhadap perubahan dan
inovasi.
Pada ciri perilaku pertama, tujuan;
kepemimpinan saya adalah pemberdayaan pejabat terkait untuk lebih aktif dan
betul-betul in charge. Hal itu bermuara pada secara sistemik bisa terbangun
kemandirian struktural yang dinamis, koordinatif, dan solutif terhadap semua
konflik.
Dari konflik yang mengemuka, terlihat nyata
bahwa para subordinat saya sudah terlihat bekerja. Setidak-tidaknya, terlihat
dari kegaduhan mereka, dan hal itu indikasi positif. Pada ciri perilaku yang
kedua, relasional, saya dinilai tersandera dalam sebuah koalisi yang penuh
tawar-menawar kepentingan. Situasi itu dirasa mendistorsi keefektifan
kepemimpinan. Tapi suatu saat hal itu akan menjadi pembuktian terbalik.
Pada ciri perilaku yang ketiga tentang
perhatian tinggi terhadap perubahan dan inovasi, agaknya publik masih belum
sepaham. Saat ini saya sedang dalam posisi memberikan contoh kepemimpinan
yang santun dan tidak dominan.
Tidak
Tegas
Dasar-dasar kepemimpinan santun yang coba
saya bangun merupakan inovasi dan terobosan. Proses ini memang berdampak pada
karakter yang seolah-olah tidak tegas dan terkesan lepas tangan.
Saat ini proses pemberdayaan fungsi-fungsi
eksekutif pada menteri-menteri dan pejabat terkait sedang berlangsung.
Kelak ketika proses ini selesai, publik
baru menyadari bahwa model kepemimpinan saya inilah yang justru inovatif dan
diterima pada era peradaban maju. Secara organisasional kabinet saya bisa
jadi masih rigid terhadap wacana ini.
Seturut Robbins dalam Organizational
Behaviour (2005) saya memang sedang memilih dan menjalankan di antara enam
taktik. Keenam taktik itu adalah pendidikan dan komunikasi, partisipasi,
fasilitas dan dukungan, negosiasi, manipulasi dan kooptasi, serta koersi atau
ketegasan dengan paksaan.
Di antara keenamnya, saya menghindari
manipulasi, kooptasi, dan koersi karena belajar dari mentor saya pada era
Orba, tiga taktik yang saya hindari itu memang terbukti efektif. Bahkan
dengan koersi yang mematikan dalam arti sebenarnya, sangat ampuh menumbuhkan
kepatuhan tanpa syarat.
Namun sekaligus terbukti hal itu menyisakan
sampah permasalahan peradaban yang mahal dari generasi ke generasi. Demi
tujuan luhur mulia itu, saya rela dianggap tidak tegas, lepas tangan, penari
poco-poco, bahkan sebutan sebagai bukan the
real president.
Kelak ketika sistem ini sudah berjalan akan
terbukti bahwa model kepemimpinan saya justru paling efisien sebab bisa
sangat efektif, bahkan ketika saya belum mengimbau. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar