Spirit Baru
Berkurban
Munawir Aziz ; Alumnus Center for Religious and Cross-Cultural
Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana UGM
|
SUARA
MERDEKA, 25 Oktober 2012
MOMENTUM Idul Adha kali ini menjadi penting
untuk melakukan refleksi kemanusiaan dan keindonesiaan yang sedang berada di
persimpangan. Krisis kepercayaan antara elite politik dan konstituennya,
antara rakyat dan pemimpin negara, serta badai di ranah hukum berupa kasus
korupsi yang silih berganti menyesaki ruang pemberitaan media dan kepentingan
politik.
Idul Adha selalu berkait dengan ibadah haji
sebab keduanya berada di titik persinggungan antara yang temporal dan ritual.
Idul Adha menjadi hari raya dengan titik historis kisah Nabi Ibrahim as untuk
kemaslahatan manusia, sedangkan ibadah haji merupakan ritual yang berkaitan
dengan dimensi kenabian.
Spirit profetik dalam Idul Adha dan ibadah
haji inilah yang menjadikan momentum ini di beberapa negara, merupakan
momentum penting umat manusia. Maka, idul Adha juga dianggap sebagai Idul
Haj; hari raya para haji. Di sisi lain, Idul Kurban juga berkait erat dengan
semangat berkurban yang menjadi spirit untuk melakukan kedermawanan sosial
dan menjaga keseimbangan ekologis.
Berkurban merupakan seni merelakan sebagian
dari harta kita untuk disedekahkan kepada orang lain, terutama pihak yang
membutuhkan. Maka historiografi haji, Idul Adha, dan ritual berkurban berada
pada satu dimensi kemaslahatan untuk manusia. Pada konteks Indonesia, semangat
ini dapat ditransformasikan menjadi semangat dan maslahat keindonesiaan.
Haji
Sosial
Di tengah kondisi negara yang sedang berada
di persimpangan identitas, tegangan politik dan krisis kepemimpinan dari
elite politik, upaya menghadirkan spirit haji sosial dan semangat berkurban
menjadi penting. Berhaji tak hanya diserukan dengan prasyarat sehat jasmani
rohani tapi juga kemampuan finansial.
Di sinilah terjadi keharmonisan antara
spiritualitas dan dimensi sosial ekologis.
Ibadah haji merupakan perintah Allah yang
paling kompleks, tak hanya ritual lahiriah tetapi juga berkait dengan
berbagai dimensi, ruang, dan ritus kehidupan lain. Haji menjadi pentahbisan
kesucian hati umat manusia, setelah singgah di rumah Tuhan (Baitullah). Pesan
transendental ini terekam dalam ayat Alquran,’’
Dan berserulah kepada manusia
untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu." (QS. 22:
27).
Dalam jagad sejarah keislaman, haji menjadi
momentum sakral yang menorehkan banyak peristiwa penting. Di akhir hayat,
Nabi Muhammad melaksanakan haji wada’ (perpisahan) untuk menegaskan Islam
sebagai warisan dan simbol kedamaian umat manusia.
Pada momen itu, Muhammad telah
menyempurnakan tugas kenabian dengan meneguhkan keimanan kaum muslim dalam
fondasi agama yang menancap kuat. Haji wada’ menjadi peristiwa monumental
dalam catatan sejarah agama Islam.
Bagaimana seharusnya memaknai ibadah haji
dalam konteks keindonesiaan yang sedang dilanda krisis kepemimpinan dan
ketimpangan ekonomi? Dalam jagat kepedihan, makna ibadah haji di tengah
penderitaan akan rapuh. Dalam konteks ini, apa yang disampaikan Ali Syariati
(1997) sangat relevan, "Haji merupakan evolusi manusia menuju
Allah".
Kesadaran
Berbagi
Ibadah haji mengandung pesan kemanusiaan
yang begitu esensial, lompatan strata keimanan harus dibarengi dengan
pemberdayaan dan pencerahan kepada lingkungan sosial. Lorong evolusi menuju
Sang Khalik, ditempuh setelah mencipta kesejahteraan di ruang sekitar.
Ketika lingkungan sekitar sejahtera, ibadah
haji yang dilakukan menempati puncak ruang transendensi keimanan. Inilah yang
sebenarnya menjadi fokus pelaksanaan ibadah haji. Momentum berhaji menjadi
penanda kesadaran untuk berbagi kepada orang lain. Ibadah haji selayaknya
sinergi dengan pemberdayaan ekonomi lingkungan.
Adapun konsepsi kurban diturunkan dari
pesan kenabian dalam kisah Ibrahim dan putranya, Ismail. Hewan kurban
merupakan simbol ketaatan Ibrahim, dan pada konteks inilah, kepasrahan dan
ketaatan merupakan kata kunci berkurban. Dalam kondisi sekarang, spirit
berkurban dapat diterjemahkan sebagai kesalehan sosial membantu warga lain.
Ritual berkurban tak hanya dimaknai secara
sempit dalam konteks agama, namun juga diperluas menjadi ibadah sosial untuk
mengentaskan kemiskinan, mendermakan harta, dan memberikan ruang kerja bagi
warga di sekitar.
Selain itu, berkurban juga menjaga diri
dari sifat tamak dan serakah. Spirit berkurban bagi elite politik dan
pemimpin negeri ini dapat mencegah dari praktik korupsi, serta meningkatkan
produktivitas kerja sosial dan mengokohkan kepemimpinan. Spirit berkurban
inilah yang seharusnya menjadi semangat dalam ruang sosial warga Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar