Sumpah Pemuda
di Sekolah Kita
Henny Supolo Sitepu ; Ketua Yayasan Cahaya Guru
|
KOMPAS,
27 Oktober 2012
Delapan puluh empat tahun silam Sumpah Pemuda diikrarkan. Sumpah untuk
setia pada satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia.
Namun, menguatnya gejala sosial
anti-keberagaman memunculkan pertanyaan: bagaimana mengajarkan semangat itu
di sekolah, tempat kaum muda menempa ilmu. Apalagi, justru kenyataan
memprihatinkan yang muncul di sekolah terkait penghayatan Sumpah Pemuda.
Ahli pendidikan Connely dan Clandinin
(1988) menekankan pentingnya pemahaman dalam proses pembelajaran siswa. Oleh
karena itu, pemahaman dan penjiwaan guru atas Sumpah Pemuda akan sangat
memengaruhi pilihan kegiatan di kelas.
Dalam diskusi para guru di Yayasan Cahaya
Guru soal Sumpah Pemuda, beberapa kata kunci muncul sebagai hakikat Sumpah
Pemuda, misalnya ”keberagaman”, ”kesatuan”, dan ”kebangsaan”. Namun, saat
ditanya sejauh mana kelas mereka mencerminkan ketiga kata kunci itu, muncul
kebimbangan. Bagaimana memaknai keberagaman? Bagaimana membangun kesatuan di
atas perbedaan agama, etnis, kelas sosial, dan jender?
Dalam pendidikan, ada tiga jenis kurikulum
yang diajarkan guru. Kurikulum eksplisit yang tertulis, kurikulum implisit
atau tersembunyi (hidden curriculum)
”diajarkan” tetapi tidak tertulis, dan null curriculum yang sengaja
dihilangkan dari proses pembelajaran (Eisner, 1979).
Maka, pemilihan dan penggunaan buku teks
tidak sepenting yang diyakini guru mengenai bahan ajarnya. Minat dan kepedulian
guru jauh lebih menentukan pendekatan materi ajar. Dalam tujuan kurikulum
nasional yang kini dipakai, disebutkan potensi sosial, budaya, dan alam
sebagai dasar pembelajaran yang kontekstual.
Jika potensi yang pasti beragam menjadi
dasar kegiatan, semangat Sumpah Pemuda tentu mudah ditangkap. Masalahnya,
seberapa jauh tujuan kurikulum dipahami sebagai bagian penting proses
pembelajaran?
Kurikulum tersembunyi berpengaruh kuat
melalui contoh sehari-hari yang tertangkap indera siswa. Oleh karena itu,
penting untuk menemukan kembali kegiatan sekolah yang mencerminkan pemahaman
”bersatu dalam perbedaan” atau perspektif keberagaman itu.
Sekolah-sekolah homogen dalam status
sosial-ekonomi, etnis, atau agama perlu dengan kesadaran penuh menciptakan
berbagai kesempatan itu. Beberapa sekolah mewujudkannya melalui kegiatan
kesenian dan olahraga. Sekolah lain memiliki program tinggal bersama (live
in) berbagai kelompok masyarakat.
Sejumlah LSM mengupayakan ajang berbagi
bersama guru seperti dilakukan oleh Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam
Indonesia, Rahima dan Association for Critical Thinking, Paras Foundation,
Persekutuan Sahabat Gloria, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, ataupun
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Cahaya Guru melalui
Komunitas Guru, Kebangsaan dan Keberagaman.
Ada banyak keberagaman di sekolah.
Perbedaan latar belakang sosial, ekonomi, agama, budaya, intelektual, mental,
dan fisik hanya sebagian di antaranya. Akan tetapi, apakah siswa sudah
mendapatkan perspektif keberagaman sebagai bagian dari kebangsaan mereka?
Sudahkah sekolah menyuburkan keberagaman sebagai kekayaan bangsa?
Sebenarnya sekolah negeri bisa diandalkan
sebagai tempat pendidikan heterogenitas yang tak terbatas. Namun,
kenyataannya saat ini justru sekolah negeri cenderung meninggalkan semangat
Sumpah Pemuda.
Di beberapa sekolah negeri muncul keharusan
menggunakan jilbab dan baju koko pada hari Jumat. Doa saat upacara pun dalam
bahasa Arab. Akibatnya, makin sedikit siswa non-Muslim masuk ke sekolah
negeri.
Pemerintah justru tidak mengajarkan
keberagaman karena tidak mengakomodasi siswa atau guru dengan berbagai latar
berbeda untuk berperan di sekolah. Mata kita akan segera menangkap makin
berkurangnya warna-warni pemangku kepentingan melalui pemilihan seragam,
upacara bendera, kesempatan berdoa, kesempatan menjadi ketua kelas, dan
berbagai kesempatan lain. Sekolah negeri tidak lagi merengkuh seluruh anak
bangsa untuk belajar di lingkungan ini.
Kompetensi ”pengembangan budaya” ternyata
hanya selintas dalam Dimensi Kepribadian Kepala Sekolah yang ditetapkan oleh
Badan Standar Nasional Pendidikan serta diatur dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 13/2007 tentang Standar Kepala
Sekolah. Tidak ada tuntutan untuk memiliki perspektif keberagaman dalam
menjalankan tugas sehari-hari.
Maka, harapan bahwa kegiatan di sekolah
mencerminkan kebinekaan kita dan semangat bersatu dalam satu tanah air, satu
bangsa, dan satu bahasa hanya terletak di tangan guru. Inikah sekolah Indonesia
kita? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar