Problem MP3EI
Atasi Ketimpangan Daerah
Djasarmen Purba ; Anggota Dewan
Perwakilan Daerah
Daerah
Pemilihan Kepulauan Riau
|
SINAR
HARAPAN, 24 Agustus 2012
Ketimpangan daerah merupakan masalah
klasik di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Tahun lalu pemerintah
merilis Masterplan Program Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sejauh mana instrumen tersebut mampu menciptakan pemerataan
pembangunan?
Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) mencatat pada 2006, investasi dalam negeri (PMDN) di Pulau Jawa mencapai
63,1 persen dari total investasi, lalu naik menjadi 85,7 persen pada 2009,
selanjutnya pada 2010 naik jadi 80 persen. Tahun lalu meski turun menjadi 70
persen, namun Pulau Jawa masih tetap dominan.
Pola yang sama juga terjadi pada
investasi asing (PMA). Pada 2006, PMA di Pulau Jawa mencapai 73,7 persen dari
total PMA yang masuk ke Indonesia. Namun, pada 2009 Pulau Jawa sudah menampung
86,6 persen investasi asing, tahun-tahun selanjutnya terus bergerak dalam pola
yang sama.
Hal yang sama juga terjadi pada
perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sebanyak 15 daerah yang memiliki
IPM paling kecil hampir seluruhnya berada di luar Pulau Jawa, kecuali Provinsi Banten.
Pada 2009, 15 provinsi yang
mempunyai IPM terendah secara berurutan adalah Maluku, Sulsel, Lampung,
Sulteng, Banten, Gorontalo, Sultra, Kalsel, Sulbar, Kalbar, Malut, Papua Barat,
NTT, NTB, dan Papua (BPS, 2010). Ketimpangan antardaerah ini dalam
keyakinan pemerintah dapat diatasi seiring dengan transformasi ekonomi menjadi
negara maju pada 2025 melalui MP3EI.
Pada 2025 PDB Indonesia akan
mencapai antara US$ 4,0-4,5 triliun, dengan pertumbuhan sekitar 6,4-7,5 persen
pada 2011-2014 dan sekitar 8,0-9,0 persen pada periode 2015-2025. Sementara itu, pendapatan per
kapita berada antara US$ 14.250-15.500, yang akan diiringi oleh penurunan
inflasi dari sebesar 6,5 persen pada periode 2011-2014 menjadi 3,0 persen pada
2025.
Untuk mewujudkan pengurangan
ketimpangan tersebut, MP3EI dilaksanakan melalui pembangunan konektivitas
antardaerah, yakni konektivitas fisik, kelembagaan, dan sosial budaya dengan
mengembangkan enam koridor ekonomi, serta memperkuat kemampuan SDM dan iptek
nasional.
Sejumlah Kelemahan
Meski di atas kertas MP3EI tampak
begitu luar biasa menumbuhkan optimisme akan masa depan jangka panjang, namun
bila ditilik lebih jauh, terdapat sejumlah kelemahan terutama menyangkut ukuran
keberhasilan yang masih belum jelas. Terlebih aspek spasial, pembiayaan, dan
paradigma ”pembangunan inklusif” MP3EI tidak terintegrasi dengan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) nasional dan daerah.
Di sisi lain penentuan Koridor
Ekonomi (KE) menyimpan sejumlah persoalan. Pertama, ibu kota provinsi
ditentukan jadi pusat ekonomi karena umumnya adalah pusat ekonomi, penduduk,
dan pemerintahan. Padahal di banyak provinsi, daerah penghasil tambang dan
perkebunan yang merupakan penggerak utama perekonomian daerah justru berada di
luar ibu kota provinsi.
Kedua, penentuan KE berdasarkan
matriks Origin-Destination atau
berdasarkan titik destinasi (hub) arus lalu lintas barang (baik jalur darat,
laut, maupun udara). Padahal, masalah mendasar sistem logistik Indonesia sampai
saat ini adalah ketergantungan pada hub yang mayoritas berada di Jawa, seperti
Jakarta, Surabaya, Semarang, (kecuali Bali, Makassar, Medan).
Terakhir, keterbatasan sumber
pembiayaan. Keterbatasan anggaran pemerintah telah mendorong MP3EI dilaksanakan
dalam semangat Indonesia Incorporated.
Artinya, pembangunan
proyek-proyek dalam MP3EI sangat bergantung pada peran swasta domestik dan
asing melalui model kerja sama pemerintah dan swasta (Public-Private Partnership) atau swasta murni (pemerintah hanya
menyediakan perangkat aturan dan regulasi yang memberi insentif—berupa
kebijakan (sistem maupun tarif) pajak, bea masuk, aturan ketenagakerjaan,
perizinan, pertanahan, dan lainnya—bagi swasta untuk membangun kegiatan
produksi dan infrastruktur secara paripurna).
Semangat Indonesia Incorporated
akan mendorong langkah-langkah strategis untuk merevisi dan mengubah regulasi
yang pada akhirnya cenderung berpihak kepada korporasi dan mengabaikan
kepentingan rakyat banyak, terutama terkait aturan ketenagakerjaan dan
pertanahan.
Dengan catatan tersebut, jika tidak dilakukan secara hati-hati maka kegiatan ekonomi yang
didorong MP3EI hanya bergemuruh di pusat-pusat kota. Lebih menyedihkan lagi
apabila MP3EI malah hanya menjadi instrumen yang menyedot sumber daya ekonomi
pada ”lini kedua” masing-masing daerah. Dengan demikian, ketimpangan
antardaerah mungkin bisa berkurang, namun disparitas intra-daerah justru makin
menganga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar