Sabtu, 25 Agustus 2012

Problem MP3EI Atasi Ketimpangan Daerah


Problem MP3EI Atasi Ketimpangan Daerah
Djasarmen Purba ;  Anggota Dewan Perwakilan Daerah
Daerah Pemilihan Kepulauan Riau
SINAR HARAPAN, 24 Agustus 2012


Ketimpangan daerah merupakan masalah klasik di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Tahun lalu pemerintah merilis Masterplan Program Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sejauh mana instrumen tersebut mampu menciptakan pemerataan pembangunan?

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat pada 2006, investasi dalam negeri (PMDN) di Pulau Jawa mencapai 63,1 persen dari total investasi, lalu naik menjadi 85,7 persen pada 2009, selanjutnya pada 2010 naik jadi 80 persen. Tahun lalu meski turun menjadi 70 persen, namun Pulau Jawa masih tetap dominan.

Pola yang sama juga terjadi pada investasi asing (PMA). Pada 2006, PMA di Pulau Jawa mencapai 73,7 persen dari total PMA yang masuk ke Indonesia. Namun, pada 2009 Pulau Jawa sudah menampung 86,6 persen investasi asing, tahun-tahun selanjutnya terus bergerak dalam pola yang sama.

Hal yang sama juga terjadi pada perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sebanyak 15 daerah yang memiliki IPM paling kecil hampir seluruhnya berada di luar Pulau Jawa, kecuali Provinsi Banten.

Pada 2009, 15 provinsi yang mempunyai IPM terendah secara berurutan adalah Maluku, Sulsel, Lampung, Sulteng, Banten, Gorontalo, Sultra, Kalsel, Sulbar, Kalbar, Malut, Papua Barat, NTT, NTB, dan Papua (BPS, 2010). Ketimpangan antardaerah ini dalam keyakinan pemerintah dapat diatasi seiring dengan transformasi ekonomi menjadi negara maju pada 2025 melalui MP3EI.

Pada 2025 PDB Indonesia akan mencapai antara US$ 4,0-4,5 triliun, dengan pertumbuhan sekitar 6,4-7,5 persen pada 2011-2014 dan sekitar 8,0-9,0 persen pada periode 2015-2025. Sementara itu, pendapatan per kapita berada antara US$ 14.250-15.500, yang akan diiringi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen pada periode 2011-2014 menjadi 3,0 persen pada 2025.

Untuk mewujudkan pengurangan ketimpangan tersebut, MP3EI dilaksanakan melalui pembangunan konektivitas antardaerah, yakni konektivitas fisik, kelembagaan, dan sosial budaya dengan mengembangkan enam koridor ekonomi, serta memperkuat kemampuan SDM dan iptek nasional.

Sejumlah Kelemahan

Meski di atas kertas MP3EI tampak begitu luar biasa menumbuhkan optimisme akan masa depan jangka panjang, namun bila ditilik lebih jauh, terdapat sejumlah kelemahan terutama menyangkut ukuran keberhasilan yang masih belum jelas. Terlebih aspek spasial, pembiayaan, dan paradigma ”pembangunan inklusif” MP3EI tidak terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) nasional dan daerah.

Di sisi lain penentuan Koridor Ekonomi (KE) menyimpan sejumlah persoalan. Pertama, ibu kota provinsi ditentukan jadi pusat ekonomi karena umumnya adalah pusat ekonomi, penduduk, dan pemerintahan. Padahal di banyak provinsi, daerah penghasil tambang dan perkebunan yang merupakan penggerak utama perekonomian daerah justru berada di luar ibu kota provinsi.

Kedua, penentuan KE berdasarkan matriks Origin-Destination atau berdasarkan titik destinasi (hub) arus lalu lintas barang (baik jalur darat, laut, maupun udara). Padahal, masalah mendasar sistem logistik Indonesia sampai saat ini adalah ketergantungan pada hub yang mayoritas berada di Jawa, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, (kecuali Bali, Makassar, Medan).

Terakhir, keterbatasan sumber pembiayaan. Keterbatasan anggaran pemerintah telah mendorong MP3EI dilaksanakan dalam semangat Indonesia Incorporated.
Artinya, pembangunan proyek-proyek dalam MP3EI sangat bergantung pada peran swasta domestik dan asing melalui model kerja sama pemerintah dan swasta (Public-Private Partnership) atau swasta murni (pemerintah hanya menyediakan perangkat aturan dan regulasi yang memberi insentif—berupa kebijakan (sistem maupun tarif) pajak, bea masuk, aturan ketenagakerjaan, perizinan, pertanahan, dan lainnya—bagi swasta untuk membangun kegiatan produksi dan infrastruktur secara paripurna).
Semangat Indonesia Incorporated akan mendorong langkah-langkah strategis untuk merevisi dan mengubah regulasi yang pada akhirnya cenderung berpihak kepada korporasi dan mengabaikan kepentingan rakyat banyak, terutama terkait aturan ketenagakerjaan dan pertanahan.

Dengan catatan tersebut, jika tidak dilakukan secara hati-hati maka kegiatan ekonomi yang didorong MP3EI hanya bergemuruh di pusat-pusat kota. Lebih menyedihkan lagi apabila MP3EI malah hanya menjadi instrumen yang menyedot sumber daya ekonomi pada ”lini kedua” masing-masing daerah. Dengan demikian, ketimpangan antardaerah mungkin bisa berkurang, namun disparitas intra-daerah justru makin menganga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar