Jumat, 24 Agustus 2012

Hakim Menilik Pengadilan Tipikor


Hakim Menilik Pengadilan Tipikor
Achmad Fauzi ;  Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalimantan Selatan;
Penulis buku ‘Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro’
JAWA POS, 24 Agustus 2012


SEJAK kelahirannya, pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) telah menciptakan aura keangkeran bagi para koruptor. Betapa tidak, banyak asa dan masa depan para penjahat berdasi untuk hidup bebas harus berakhir di balik cemarnya penjara. Pengadilan tipikor sedikit banyak telah memberikan terapi kejut dengan harapan indeks peringkat korupsi di Indonesia bisa ditekan.

Namun, selalu ada sisi gelap. Sebagai pilar penentu ikhtiar bersama pemberantasan korupsi, tak jarang kedigdayaan pengadilan tipikor digoyang isu suap. Beberapa hakim tipikor harus tertunduk lesu diadili koleganya sendiri karena terjerembap dalam kubangan suap.

Kasus suap mutakhir menimpa dua hakim ad hoc tipikor, yakni Kartini Juliana Magdalena Marpaung yang bertugas di PN Semarang dan Heru Kisbandono yang kini bertugas di PN Pontianak. Keduanya ditangkap petugas KPK karena diduga menerima uang terkait dengan perkara yang ditangani dengan nilai suap Rp 150 juta di pelataran parkir PN Semarang, Jumat (17/8). Heru, meski bertugas di wilayah yurisdiksi Pontianak, tetap ngobyek merangkap sebagai makelar kasus dalam perkara itu.

Peristiwa tersebut menjadi tamparan keras bagi dunia peradilan karena terjadi dalam tiga momentum penting. Pertama, praktik suap itu dilakukan seusai upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI. Momentum Hari Kemerdekaan semestinya menyadarkan hakim sebagai penjaga pilar keagungan hukum. Dapat dikatakan: hukum kita belum sepenuhnya merdeka karena sebagian hakim masih terjajah oleh kuasa uang.

Kedua, sehari sebelum kejadian (16/8), Presiden SBY dalam pidato RAPBN 2013 dan nota keuangan telah mewujudkan komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan hakim pada taraf yang lebih baik sesuai dengan beban tugas dan tanggung jawabnya. Komitmen itu seharusnya ditafsirkan sebagai upaya memerdekakan hakim dari jerat suap. Dalam arti kata, ketika hak-haknya diberikan secara memadai, para hakim dituntut bekerja profesional dan tidak teperdaya serakah duniawi.

Ketiga, kesucian bulan puasa ternyata tak mampu merembesi jiwa mereka untuk takut melakukan jual beli hukum. Itu berarti, seperti yang telah saya paparkan dalam Puasa bagi Para Hakim (Jawa Pos, 21/7), nilai-nilai puasa yang memiliki daya metamorfosis membangun pribadi unggul tak mampu diinternalisasikan dengan baik, sehingga hakim bermental ular selalu ada.

Titik Evaluasi

Banyak aspek yang harus dievaluasi untuk menjaga aura keangkeran pengadilan tipikor. Pertama, memperketat pola rekrutmen calon hakim tipikor. Materi ujian yang berkutat pada soal-soal kemampuan dasar, tes bakat skolastik, penguasaan hukum formal dan materiil, serta jebakan konsistensi dalam bentuk psikotes selayaknya dikembangkan. Tekanannya pada supreme morality. Misalnya, memperketat penelusuran rekam jejak di masyarakat. Bila mengutamakan kemampuan intelektual dan mengecilkan kecakapan moral, sama halnya dengan mencari orang pintar tapi rawan minteri (mengibuli).

Kedua, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan secara berkelanjutan. Jabatan hakim merupakan dedikasi di bidang hukum yang diraih bukan dengan motivasi mencari pekerjaan instan. Tokoh reformis Tiongkok, Wang An Sih, yang hidup sekitar abad ke-11 mengemukakan, ada dua unsur yang selalu muncul dalam pembicaraan masalah korupsi, yaitu hukum yang tak berdaya dan manusia yang bejat. Tidak mungkin menciptakan aparat hukum yang bersih hanya semata-mata mendasarkan rule of law sebagai kekuatan pengontrol. Dia berkesimpulan, dalam memberantas korupsi, dibutuhkan hakim bermoral tinggi dan hukum yang rasional serta efisien (Mujahid: 2000).

Ketiga, mengevaluasi kemungkinan terjadinya jual beli hukum terkait dengan maraknya vonis bebas di pengadilan tindak pidana korupsi daerah. Vonis bebas memang bukan sesuatu yang haram dijatuhkan, kecuali kepada seseorang yang secara sah dan meyakinkan bertindak pidana. Yang menjadi persoalan adalah jika vonis bebas terjadi secara masif dan kerap dijatuhkan oleh pengadil yang sama. Karena itu, proses kontrol dibatasi dengan mempelajari aspek perilaku, selanjutnya dikembangkan kemungkinan-kemungkinan nonyudisial seperti praktik jual beli perkara.

Jangan Matikan Harapan

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D. dalam sebuah seminar menyatakan bahwa aturan moral di masyarakat lebih efektif dalam mencegah terjadinya suap dan pemerasan. Suap bagi hakim merupakan godaan berat dalam proses supremasi hukum dan keadilan. Kendati hakim kuat menahan godaan suap, tak jarang anak dan keluarganya menjadi sasaran suap.

Para penyuap kadang paham membaca situasi. Mereka datang tatkala hakim atau keluarganya sedang membutuhkan sokongan finansial. Karena itu, untuk membendung godaan suap, hakim harus membentengi diri dengan kesadaran moral serta keimanan yang kukuh dari keluarganya.

Dalam kasus suap Heru Kisbandono, peran moral keluarga sudah berjalan. Istrinya telah mengingatkan untuk tidak menerima uang haram tersebut. Namun, Heru tetap berkeras dengan dalih KPK tak mungkin bertugas saat libur.

Dari berbagai vonis mencurigakan dan kasus tangkap tangan, tidak bisa disalahkan jika masyarakat kemudian memandang skeptis pengadilan tipikor. Sebab, kenyataannya, masih ada perilaku korup yang memengaruhi hakim dalam menakar vonis. Yang menjadi persoalan adalah ketika generalisasi skeptisisme publik justru mematikan harapan untuk membangun peradilan bersih dan bermartabat, yang mengganggu cita-cita bebas korupsi.

Saya yakin, masih banyak hakim di Indonesia yang memiliki idealisme tinggi dan setia kepada ''Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa''. Mereka bekerja di bawah sumpah, sadar bahwa di sebelah kanan-kirinya ada malaikat pencatat amal. Hatinya terjaga, mempersamakan semua orang di muka hukum, dan menolak keras segala bentuk pengkhianatan amanah. Jangan sampai hakim-hakim yang baik itu putus asa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar