Memaknai Potensi
Urbanisasi
Thomas Koten ; Direktur Social Development Center
|
SUARA
KARYA, 23 Agustus 2012
Teori-teori mengenai urbanisasi dalam
pengertian umum dan sederhana sebagai perpindahan penduduk atau migrasi
penduduk dari desa ke kota, sejalan dengan peribahasa ada gula ada semut.
Tatkala kehidupan dan kemajuan kota kian menggiurkan, ibarat semakin manis
gulanya, pada saat yang bersamaan, akan semakin banyak dipenuhi semut, dalam
hal ini kaum urban. Apalagi, di saat kehidupan masyarakat desa kian sulit
mencari pilihan usaha atau lapangan kerja untuk meningkatkan kehidupan yang
lebih baik.
Artinya, sepanjang ada kesenjangan tingkat
pendapatan dan peluang pekerjaan yang signifikan antara desa dan kota,
sepanjang itu pulalah urbanisasi akan terus terjadi. Selanjutnya, tatkala
kehadiran dan kemajuan kota-kota di Indonesia, khususnya Jakarta kian
menggiurkan, dan peluang kehidupan di desa kian sulit, arus urbanisasi akan
sulit terbendung dan jumlah kaum urban akan semakin banyak.
Dalam hal ini, ungkapan klasik, "Jakarta lebih kejam dari ibu tiri",
tidak berlaku bagi mereka yang hendak ke Jakarta. Di benak para calon urbanis
Jakarta, terasa Ibu Kota tetap menjanjikan penghidupan yang lebih baik alias
lebih menawarkan sejuta impian yang menggiurkan dibandingkan dengan daerah
lainnya.
Dalam realitasnya juga, Jakarta dan kota-kota
besar lainnya di Indonesia, menawarkan berbagai ragam potensi untuk
mengakumulasi aset sosial, ekonomi dan fisik. Kota juga mempresentasikan
kehidupan yang lebih baik, lebih terorganisir, dan terjadual, di mana pilihan
kerja dan pengembangan diri lebih terbuka luas dan bervariasi yang memungkinkan
aktualisasi diri secara maksimal. Kota juga menyediakan lebih banyak ide dan
solusi.
Dengan semakin berbondong-bondongnya migrasi
orang-orang desa menuju kota, tentu akan membuat kota-kota semakin ditimpuki
banyak persoalan, makin kumuh dan problematis. Memang, semakin besar jumlah
penduduk, dengan kehadiran para pendatang yang beraneka ragam di kota, terutama
yang kurangmemiliki keahlian dan pendidikan yang memadai, dengan menambah
kompleksitas penduduknya, akan semakin rumit masalahnya, dan semakin banyak
konflik yang dihadapi.
Apalagi, ditambah dengan suatu keyakinan selama
ini bahwa proses kekumuhan dan konsentrasi hidup di kota-kota besar, khususnya
Jakarta disebabkan oleh membanjirnya urbanisasi. Pemerintah lalu merasa
terpanggil untuk menatanya demi mendudukkan proporsi kemanusiaan, selain
keinginan memperlihatkan citra asri di mata internasional. Kenyataannya juga
menunjukkan kota-kota di Tanah Air, khususnya Jakarta cenderung kian tidak
manusiawi, tidak nyaman, tidak menyenangkan untuk kehidupan yang berbudaya.
Fenomena demoralisasi dan dehumanisasi kota di Indonesia, antara lain karena
perhatian para pengelola dan pembangunannya lebih tercurah pada aspek fisik,
tata ruang, dan pergulatan kepentingan ekonomi.
Tetapi, langkah-langkah yang secara formal
berciri humanis itu sering berbenturan secara fisik karena memang berbeda
kepentingan. Benturan itu semakin mengeras jika di balik langkah-langkah
penataan sebenarnya ada rekayasa swasta yang rajin mengincar kepentingannya,
yakni kepentingan ekonominya.
Seorang pakar perencana kota dari Inggris
pernah mengatakan, kota merupakan ladang pertempuran ekonomi (economic battle ground). Siapa yang
memiliki kekuatan finansial, dialah yang amat menentukan wajah dan nasib kota.
Dalam fenomena konflik alias perbenturan itu,
biasanya kepentingan masyarakat urbanis papan bawah selalu tersudutkan. Jakarta
yang dipadati mal, megamal, supermal, department store, pusat perbelanjaan (shopping centre), apartemen, perhotelan
yang tumbuh bak jamur di musim hujan, dan semakin tersingkirnya pasar-pasar
tradisional, dan perumahan warga, adalah indikasi dari kian tersudutnya urbanis
papan bawah.
Pertanyaan yang menggelitik, kenapa harus
menyingkirkan dan menyudutkan kaum urbanis, terutama kaum urbanis kelas bawah?
Jawabannya klise yang muncul di balik sikap itu. Yakni, tentu karena penilaian
bahwa kekumuhan yang diciptakan para urbanis serta ditambah dengan membuncahnya
kriminalitas atau fenomena sosial negatif lainnya sungguh mengganggu Jakarta
akibat kehadiran kaum urbanis kelas bawah itu. Para pemilik Jakarta kadang juga
menerjemahkan bahwa penyudutan para urbanis demi mencegah dan membendung arus
kehadiran kaum urbanis itu sendiri.
Namun, apakah alasan itu masuk akal dan
bermuatan logika yang valid? Yang
jelas, alasan itu kurang kuat, karena meski sering terjadi kebakaran di
gang-gang kumuh, atau penggusuran dan pengejaran terhadap mereka, tetapi tak
membuat para urbanis dan calon urbanis jera, meski menghadapi ancaman jiwanya.
Pertanyaan menyusul, mengapa sikap para urbanis
begitu mengeras, cuek dan tidak
peduli? Jawabannya, tentu karena banyak faktor yang memengaruhinya. Alasan
utamanya, tentu alasan ekonomi. Kesulitan hidup di desa, alias minim dan
terbatasnya lahan usaha atau lapangan kerja di desa mengakibatkan urbanisasi
semakin dirasakan sebagai pilihan terakhir. Dhus,
cara dan kebijakan sekeras apa pun yang diterapkan oleh para pemilik Jakarta
untuk menyingkirkan kaum urbanis demi terbendungnya arus urbanisasi, tetap
terasa sia-sia dan tidak mempan.
Lagi pula, bukankah kemajuan yang diraih
Jakarta, khususnya pembangunan fisiknya banyak disebabkan oleh kehadiran dan
jasa kaum urbanis? Oleh karena kerja keras kaum urbanis, telah berhasil
dibangun gedung-gedung perkantoran atau gedung-gedung pencakar langit lainnya,
seperti mal, supermal, apartemen, dan sebagainya.
Sulit dibayangkan jika
kaum kelas menengah dan para terdidik di perkotaan diberikan tugas untuk
membangun gedung-gedung pencakar langit, bekerja keras di terik matahari,
mengangkut material bermuatan berat, memanjat tiangtinggi, dan bergelantungan
di gedung-gedung bertingkat. Jadi, sulit dibayangkan jika kota-kota, khususnya
Jakarta tanpa kehadiran kaum urbanis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar