Jumat, 10 November 2017

Memutihkan Penguasaan Ilegal Tanah Hutan

Memutihkan Penguasaan Ilegal Tanah Hutan
Transtoto Handadhari  ;   Rimbawan UGM;
Ketua Umum Perkumpulan GNI-Berbangsa
                                                    KOMPAS, 08 November 2017



                                                           
Penguasaan tanah hutan oleh masyarakat hasil pendudukan, garapan, atau perambahan telah menjadi seperti duri dalam daging.

Peliknya masalah pendudukan ilegal tanah hutan membuatnya tak pernah selesai ditangani dengan tuntas. Bahkan tak jarang makan korban jiwa di samping yang berbuntut bencana lingkungan, termasuk kebakaran dan asap. Luas lahan hutan yang diduduki masyarakat mencapai 17,4 juta hektar di hampir semua fungsi hutan, termasuk di dalam beberapa areal kerja hutan produksi, dan terus meluas.

Bermula dari penyelesaian tanah milik hukum adat, meski telah ada putusan kemenangan dari Mahkamah Konstitusi atas tuntutan uji materi terhadap Undang-Undang Kehutanan (UUPK) No 41/1999, upaya mendorong pembahasan dan pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat di DPR masih gagal hingga berakhirnya masa jabatan DPR periode 2009-2014. LSM terkait terus melakukan advokasi kepada eksekutif dan legislatif.

Dan dengan dorongan Komisi Pemberantasan Korupsi, tanpa terduga terbit peraturan bersama menteri (perbermen) 17 Oktober 2014 yang juga merupakan percepatan penjabaran atas Keputusan MK No 34/PUU-IX/2011 serta pendudukan lahan hutan ilegal oleh masyarakat. Perbermen yang terbit hanya tiga hari sebelum Joko Widodo dilantik sebagai Presiden RI ini mengatur penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan.

Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Negara No 79/2014, No PB.3/Menhut-II/2014, No 17/PRT/M/2014, dan No 8/SKB/X/2014 ini awalnya mendapat reaksi keras, ditentang karena dikhawatirkan akan memberi jalan mudah merusak hutan, dan akan diikuti euforia perambahan besar-besaran.

Meskipun Kementerian Kehutanan telah memiliki kebijakan penghargaan terhadap lahan enklave dalam pelaksanaan tata batas pengukuhan kawasan hutan melalui Peraturan Menhut No P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, pelaksanaannya tampak tak mulus. Pasal 17 Ayat (4) c dan d sering terkendala oleh syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 24 Ayat (6). Masalah lapar lahan dengan rata-rata kepemilikan lahan masyarakat yang hanya 0,24 hektar per kepala keluarga serta bisnis tanah kehutanan melatarbelakangi berbagai kasus penguasaan lahan hutan yang kini tengah diurai oleh pemerintah dengan alasan penyeimbangan kepemilikan lahan.

Kebijakan prorakyat atau bencana lingkungan

Pilihan kebijakan prorakyat dengan pemutihan kawasan hutan menjadi lahan budidaya dan permukiman masyarakat jelas memiliki risiko sangat besar. Reforma agraria pun pada dasarnya sangat baik dan memberikan harapan kesejahteraan rakyat yang lebih merata. Persoalan akan timbul apabila pemerintah hanya berpegang pada fakta adanya existing masyarakat di kawasan hutan tanpa melakukan pembatasan atas fungsi hutan, bahkan hanya berdasarkan atas perintah UUPK No 41/1999 tentang batasan minimal kawasan hutan 30 persen di setiap wilayah daratan, apalagi jika tanpa kajian ilmiah.

Perpres No 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) memperkuat pandangan bahwa pemutihan pemanfaatan hutan secara ilegal menjadi kebijakan pemerintah Jokowi juga. Perpres ini tampaknya merupakan penguatan peraturan bersama tiga menteri dan Kepala BPN 17 Oktober 2014 yang terbit di ujung era pemerintahan SBY, yang sebelumnya dianggap ancaman terhadap keutuhan kawasan hutan.

Perpres itu mengatur pola umum PPTKH setelah kawasan hutan ditunjuk dikeluarkan dari kawasan hutan, dilakukan tukar-menukar, diberikan akses pengelolaan melalui program perhutanan sosial atau program resettlement. Meski ada nada menyesalkan dari para rimbawan atas terbitnya perpres yang dianggap akan melegalkan perambahan hutan tersebut, ada komitmen yang secara tegas ditetapkan untuk melindungi seluruh hutan konservasi dari penguasaan pihak lain.

Pola resettlement dijadikan sebagai solusi yang tak boleh ditawar, meski seharusnya juga berlaku bagi kawasan hutan lindung permanen setelah ditetapkan, serta didahului dengan perhitungan kembali nilai bencana lingkungannya dan pertimbangan yang benar. Kasus penguasaan lahan di kawasan hutan lindung (HL) dan hutan produksi (HP) menggunakan “senjata” angka 30 persen yang ada di UUPK No 41/1999. Artinya, luas HL dan HP cenderung pasti akan berkurang. Pasal 7 menyebut semua tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan dikeluarkan dari status kawasan hutan. Ini sangat naif apabila dilaksanakan tanpa perhitungan ilmiah mengingat angka 30 persen tersebut merupakan angka “misterius”.

Angka luas hutan 30 persen muncul lagi sebagai pertimbangan pada Pasal 11 dan Pasal 13. Bagi penguasaan lahan di atas 20 tahun atau lebih, solusinya perubahan status, dilepaskan dari kawasan hutan. Penguasaan lahan kurang dari 20 tahun dimasukkan ke dalam program perhutanan sosial, dengan catatan apabila termasuk dalam rencana program Tanah sebagai Obyek Reformasi Agraria (TORA) yang petanya tak kunjung terbit.

Penguasaan hutan Perum Perhutani di Jawa juga terkena kebijakan yang mirip program berbeda. Peraturan Menteri LHK No 39/2017 tentang Perhutanan Sosial yang didasari niat baik kini banyak ditentang, dianggap menabrak UUPK No 41/1999 dan PP No 6/2007. Persewaan lahan 2 hektar per KK berjangka 35 tahun yang dapat diwariskan akan sulit dikontrol dan berpotensi merusak hutan Jawa yang tinggal 16 persen dari tanah Jawa.

Konflik horizontal pun diduga akan pecah karena ada sekitar 6.000 lembaga masyarakat desa hutan bentukan Perhutani yang dengan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dianggap sukses melakukan kolaborasi pengelolaan hutan dan pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan lahan hutan Jawa. Akan terjadi, persaingan dan perebutan lahan sangat mungkin terjadi tanpa kendali.

Namun, dukungan terhadap Permen LHK No 39/2017 juga bermunculan. Umumnya dari LSM dan unsur internal Kementerian LHK karena permen itu dianggap bakal menyelesaikan masalah kemiskinan. Permen diklaim juga sudah dibarengi upaya pelestarian hutan dan pembudidayaan tanah kosong kendati dalam praktik banyak kasus pelanggaran yang melibatkan oknum Perhutani.

Kini, pemerintah harus bersikap bijak. Pilihan menjadi tidak sulit apabila keberpihakan pemerintah kepada rakyat atau kepada kepentingan pengendalian bencana lingkungan itu didukung oleh pertimbangan ilmiah, bukan pertimbangan politik ataupun sekadar karena alasan penyeimbangan kepemilikan lahan dan masalah kemiskinan. Yang terlupa dari semua itu adalah cara awal penataan ruang daratan yang harus diperbaiki. SK Mentan No 837/Kpts/um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung menggunakan cara primitif overlay variabel tanah, kelerengan, dan iklim seperti diamanatkan tentu harus disempurnakan dulu dengan teknologi yang telah berkembang sangat canggih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar