Jumat, 10 November 2017

Di Balik Kunjungan Presiden Korea Selatan ke Indonesia

Di Balik Kunjungan Presiden Korea Selatan
ke Indonesia
Justin Jeongho Kim ;  Penerbit Times Indonesia;
Anggota Dewan Penasihat Unifikasi Republik Korea
                                                    KOMPAS, 08 November 2017



                                                           
Berita tentang Indonesia tidak begitu populer bagi kebanyakan rakyat Korea Selatan. Biasanya nama Indonesia baru menyita perhatian banyak orang Korsel jika itu berkaitan dengan bencana alam, seperti gunung meletus atau tsunami.

Namun, hal itu tak menafikan kedekatan yang telah terjalin antara kedua negara. Saat ini, Indonesia termasuk mitra dagang utama Korsel, menduduki urutan kesepuluh. Selain itu, lebih dari 40.000 orang Korsel tinggal di Indonesia, jumlah yang kira-kira sama dengan jumlah penduduk Indonesia yang saat ini bermukim dan mencari penghidupan di Korsel. Hingga kini telah banyak terjadi pertukaran di bidang sumber daya manusia dan sumber daya alam di antara kedua negara.

Presiden terpilih, Moon Jae-in, diagendakan berkunjung ke Indonesia, 8-10 November 2017. Selama ini, setiap Presiden  Korsel melakukan kunjungan ke Indonesia saat mereka memegang jabatannya. Namun, apa yang membuat kunjungan Presiden Moon kali ini begitu istimewa? Alasannya, karena jabatan presiden yang tengah diemban Moon dipandang sangat penting di mata rakyat Korsel.

Dalam kunjungannya ke AS pada September 2017, Moon dianugerahi Global Citizen Award. Saat menerima penghargaan ini, sang presiden menyebut dirinya hanya sebagai bagian kecil dari The Candlelight Revolution dan memandang seluruh rakyat Korea berhak menerima penghargaan tersebut, bukan dirinya.

The Candlelight Revolution adalah demonstrasi besar-besaran melibatkan tak kurang dari 17 juta orang yang turun ke jalan selama enam bulan sejak Oktober 2016 hingga April 2017, menuntut pemecatan Presiden Park Geun-hye, anak perempuan mendiang diktator Park Chung-hee. Saat demonstrasi terjadi, setiap langkah untuk melindungi posisi kepresidenan presiden yang tengah berkuasa saat itu dibalas oleh kekuatan rakyat yang sudah bulat menghendaki pergantian kekuasaan. Akhirnya, sang presiden berhenti dari kekuasaan dan pemakzulannya diperkuat Mahkamah Konstitusi.

Dalam sejarah, biasanya pergantian kekuasaan berlangsung jauh dari nuansa damai. Seperti di Indonesia, rakyat Korea juga punya sejarah untuk bangkit melawan kekuasaan diktator dan biasanya diwarnai kekerasan. Namun, kali ini, rakyat Korsel memilih jalan damai untuk menumbangkan rezim yang tengah berkuasa. Telah tercatat dalam sejarah untuk pertama kali seorang presiden diberhentikan tanpa ada pertumpahan darah.

Wajar jika kejadian itu disebut Glorious Revolution versi Korea-meminjam istilah dari pergerakan di Inggris pada 1688. Jika saat itu Glorious Revolution digerakkan kaum elite untuk mengganti raja, The Candlelight Revolution digerakkan rakyat. The Candlelight Revolution adalah realisasi dari  demokrasi yang sesungguhnya, yang secara harfiah berarti power of people (kekuatan rakyat).

Kebijakan luar negeri

Tren partisipasi di bidang politik di dunia saat ini rendah. Contohnya di AS. Jumlah pemilih pada pilpres terakhir hanya 56,9 persen, terendah sejak tahun 2000. Rendahnya partisipasi pemilih kiranya berasal dari pandangan sebagian besar orang dengan hak pilih yang merasa bahwa mereka bukan merupakan pemain utama di bidang politik.

Hal sebaliknya terjadi pada pilpres di Korsel 2017. Jumlah pemilih mencapai angka tertinggi dalam sejarah. Hal itu karena setiap orang yang memiliki hak pilih di Korsel menyadari betul dirinya bisa menjadi kekuatan yang mendorong sebuah perubahan menyeluruh di negaranya. Maka, Presiden Moon terpilih dengan bermodalkan dukungan tinggi dari rakyat  Korea.

Salah satu harapan rakyat Korea bagi presiden yang baru adalah untuk menerapkan kebijakan luar negeri yang seimbang dan harmonis. Hal ini berkaitan dengan ketegangan yang terjadi di Semenanjung Korea dengan adanya keputusan Korea Utara (Korut) yang secara keras kepala berkehendak melanjutkan program pengembangan nuklirnya. Korsel selama ini telah mengalami masa-masa sulit saat harus berhadapan dengan dua negara adidaya, China dan AS.

Selama lebih dari setengah abad Korea terpecah menjadi dua, Korut yang didukung China untuk mengawasi AS, sedangkan Korsel didukung AS untuk meredam kekuasaan China. Oleh karena itu, kebijakan luar negeri Korsel selalu dipengaruhi AS. Sebenarnya tak selayaknya bagi China mempertahankan keseimbangan kekuasaan di kawasan itu dengan meluncurkan sanksi ekonomi bagi Korsel. Ini bisa merugikan karena kekuatan ekonomi Korsel sangat tergantung ekonomi “negeri tirai bambu” ini.

Sebuah pelajaran pahit telah diambil Korsel dari keadaan yang tak mudah seperti ini. Bahwa negaranya tak selaiknya terisolasi baik secara diplomatik maupun ekonomi dan sebaliknya mencari sebuah terobosan untuk keluar dari kemelut krisis yang ada. Karena Korsel adalah bagian dari negara-negara di Asia Timur, mencari jalan keluar dengan mengandalkan bantuan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara menjadi pilihan masuk akal. Karena itu, dalam tradisi kunjungan Presiden Korsel, setelah melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya ke AS, pilihan mengunjungi Indonesia dalam kunjungan kenegaraan keduanya mengandung makna simbolis.

Dengan tingkat elektabilitas Moon mencapai lebih dari 70 persen, kebijakan politik luar negeri Moon juga mencerminkan kehendak sebagian besar rakyat Korsel. Saat ini, Moon berencana mengumumkan The New Southern Policy, sebuah kebijakan yang bertujuan mempererat hubungan Korsel dan negara-negara Asia Tenggara.

Indonesia saat ini memegang peran sentral dalam kebijakan baru Presiden Moon. Di dalamnya tebersit sebuah harapan dari rakyat Korsel agar hal itu dapat  membuka jalan baru untuk hubungan yang lebih baik antara kedua negara dan semoga rakyat Indonesia menyambut dengan baik inisiatif tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar