Kebohongan
dalam Pendidikan
Sidharta Susila ; Pendidik di Muntilan,
Magelang
|
KOMPAS,
07 November
2017
Memar di tubuh pendidikan
karena perilaku berbohong masih terasa. Semoga rasa nyerinya tak segera sirna
agar kita sungguh sadar bahwa pendidikan kita dalam keadaan krisis.
Perilaku bohong dalam
pendidikan menghancurkan kehidupan. Kita terguncang oleh proses pendidikan
fantastis di sejumlah perguruan tinggi yang praktis meniadakan proses.
Guncangan lain oleh aksi berbohong pelajar kita yang pernah dijuluki the next
Habibie. Lembaga penting negeri ini teperdaya. Ini memalukan dan
memprihatinkan.
Kebiasaan berbohong
Apakah perilaku berbohong dalam
pendidikan yang terbongkar ini hanya karena para pelakunya sedang apes saja?
Ataukah sesungguhnya ini fenomena gunung es realitas pendidikan kita?
Kebohongan itu palsu.
Sebait puisi Joko Pinurbo
(Jokpin) berjudul “Kenangan” (2016) bertutur: Suatu saat kau akan jadi
kenangan/ bagi tukang fotomu. Ia memotretmu/ dengan sangat cermat dan teliti
agar mendapatkan/ gambar terbaik tentang
bukan-dirimu./ Jokpin menyadarkan kita yang terlelap dalam perilaku
bahkan kebiasaan hidup dengan kepalsuan serta kebohongan.
Sejumlah teman kepala sekolah mengatakan
bahwa ketidakjujuran dalam pendidikan kita telah lama terjadi. Pada banyak
perlombaan antarsekolah, dengan melihat siapa yang menjadi jurinya, para
pendamping bisa menebak siapa juaranya. Apa pun jenis lombanya, apabila
diselenggarakan oleh lembaga dengan paket juri yang sama, pemenangnya dari
sekolah itu-itu juga. Lain halnya apabila perlombaan diselenggarakan oleh
pihak independen.
Beberapa tahun yang lalu,
banyak guru dan kepala sekolah ekstra repot jika menjalani akreditasi
sekolah. Mereka harus memberikan pelayanan istimewa bak raja bagi para asesor
demi kesuksesan akreditasi sekolah. Resep sukses akreditasi dipelajari dari
sesama rekan pengelola sekolah yang mendapat nilai akreditasi tidak memuaskan
karena kurang memberikan pelayanan istimewa kepada asesor.
Untuk itu semua harus
dikeluarkan biaya ekstra. Apesnya, biaya itu tidak bisa dimasukkan dalam
laporan keuangan sekolah. Nekat mencatatkan akan terjerat kasus korupsi.
Berbohong pun menjadi pilihan.
Beberapa tahun yang lalu kita
juga disibukkan oleh perilaku sejumlah oknum pejabat yang gemar mengeluarkan
peraturan daerah (perda) terkait dinamika pembelajaran di sekolah.
Perda-perda tersebut dikeluarkan untuk mendulang popularitas oknum pejabat
bersangkutan, entah karena ingin mencalonkan diri lagi atau karena posisinya
sedang rawan. Perda dikeluarkan bukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan,
akhlak, atau iman siswa, melainkan lebih demi kepentingan diri sendiri dengan
memuaskan hasrat primordial publik. Perda-perda semacam itu mengeksplorasi
aspek primordial seperti agama, misalnya.
Fakta-fakta tersebut
menunjukkan bahwa perilaku berbohong sudah terbiasa dalam pendidikan kita.
Masygulnya acap kali dilakukan secara sistematis dan senyap. Artinya,
anak-anak kita sudah terbiasa dididik dalam atmosfer kebohongan. Kebohongan
serasa lumrah. Banyak pelaku pendidikan justru diasingkan dan apes nasibnya
karena tidak ikut berbohong. Jujur dianggap kekonyolan dan ketololan.
Kuasa kebohongan
Meski menghancurkan, kebohongan
dalam penyelenggaraan pendidikan banyak dianggap sebagai pilihan niscaya
untuk menyelamatkan dan menjaga eksistensi sekolah. Apalagi persaingan
antarsekolah semakin sengit. Berbagai kelicikan dan ketidakjujuran, bahkan
hasutan dan intimidasi, dilakukan demi keberlangsungan suatu lembaga
pendidikan. Seperti bait puisi Jokpin, media cetak dan elektronik pun sering
gencar melakukan publikasi palsu tentang suatu lembaga pendidikan.
Situasi semakin rumit ketika
oknum pejabat ikut bermain. Pendidikan pun dipolitisasi. Sayangnya, politisasi
pendidikan itu mengeksplorasi aspek primordialisme. Rajutan pluralisme dalam
pendidikan pun terkoyak. Ketidakadilan menjamur dalam dunia pendidikan.
Dinamika semacam ini sering kali hanya melahirkan prestasi semu dan lulusan
abal-abal.
Dinamika pendidikan kita
ditingkahi oleh kepalsuan. Banyak generasi kita tumbuh dalam pemahaman dan
kesadaran yang palsu, baik tentang hakikat dirinya sendiri maupun tentang
kehidupan ini. Kita bisa paham mengapa radikalisme tumbuh sumbur dalam dunia
pendidikan kita. Anak didik kita yang telah bersikap radikal itu terjerembab
dalam jurang kepalsuan akibat pembohongan yang sistematis.
Kuasa kebohongan dalam dinamika
pendidikan, lebih-lebih apabila diorkestrasi oleh oknum pejabat, mulai dari
pusat sampai tingkat sekolah, pada akhirnya melahirkan sikap saling curiga.
Kecemasan merasuki pelaku pendidikan kita. Pendidikan kita tak lugas karena
bergulir dalam keremangan. Dulu kita kenal adanya permainan nilai yang
mengakibatkan pengabaian proses pendidikan.
Tidak mengherankan kalau
akhirnya pendidikan kita diguncang perilaku berbohong yang melahirkan lulusan
abal-abal. Ini adalah perjumpaan antara oknum pendidik yang lumpuh hati
nuraninya dengan pembelajar yang tidak dididik berproses. Kecenderungan
hedonis dan pragmatis kian menyuburkan dinamika pendidikan abal-abal itu.
Pendidikan kita hanya maju
apabila diselenggarakan dengan jujur, transparan, berkeadilan, dan
mengandalkan proses. Kalau kita gagal memperjuangkan pendidikan dengan cara
semacam ini, maka cita-cita para pendiri bangsa yang ingin mengantarkan
bangsa ini ke kehidupan yang makmur, sejahtera, dan beradab hanya menjadi
mimpi di siang bolong. Kita akan terus menjadi bangsa dungu yang gemar
berbohong dan hidup dalam kepalsuan. Ketidakadilan dan kebohongan hanya menaburkan
ragi divide et impera pada bangsa ini. Jangan heran jika kita makin dungu dan
gampang diadu domba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar