Jumat, 10 November 2017

BBM Satu Harga dan Kompetisi Hilir Migas

BBM Satu Harga dan Kompetisi Hilir Migas
Agus Pambagio ;  Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
                                                DETIKNEWS, 09 November 2017



                                                           
Pertamina sebagai BUMN yang mendapatkan penugasan untuk menangani usaha hulu dan hilir migas sepertinya saat ini menanggung beban yang sangat berat. Beban berat juga terjadi di sektor hulu, seperti mengelola sektor hulu terkait dengan habisnya masa kontrak dari beberapa Kontraktor Kontrak Kerjasama (K3S) serta pencarian sumur migas baru yang membutuhkan investasi super jumbo, sehingga pemerintahan di bawah Presiden Jokowi ingin mengurangi beban itu melalui beberapa kebijakan baru yang dapat membuat Pertamina lebih kompetitif, seperti membuka badan usaha swasta mengelola hilir migas, BBM satu harga, dan sebagainya.

Efisiensi Pertamina yang selama ini sering dipertanyakan publik dicoba ditata oleh pemerintah melalui beberapa kebijakan, seperti Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014 Tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Selain itu ada juga Peraturan Menteri ESDM No. 39 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pemberlakuan Satu Harga Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan Secara Nasional.

Terkait dengan kebijakan BBM Satu Harga di seluruh Indonesia, Pertamina sebagai BUMN penugasan mulai kesulitan, khususnya terkait dengan biaya distribusi/transportasi ke seluruh Indonesia. Sebenarnya kebijakan untuk badan usaha swasta (BUS) untuk dapat memasarkan BBM tertentu khusus penugasan sudah lama di implementasikan. Tercatat ada dua BUS yang sudah mendapatkan izin Pemerintah sebelumnya, yaitu PT Petronas Niaga Indonesia dan PT AKR Corporindo. Namun pada akhirnya Petronas menyerah dan pulang kampung.

Gagalnya Petronas membuat Pertamina tidak mempunyai pesaing yang tangguh hingga munculnya PT Vivo Energy Indonesia (VEI). Pertanyaannya, siapa sebenarnya Vivo Energy (VE) itu? Siapkah Pertamina dan BUS berkompetisi melaksanakan BBM Satu Harga serta BBM tertentu dan penugasan khusus, sehingga konsumen memperoleh harga BBM yang wajar? Mari kita bahas singkat.

Kebijakan Satu Harga dan Persaingan Kompetitif

Kebijakan Kementerian ESDM membuka peluang pemain swasta untuk berbisnis BBM tertentu dan penugasan khusus di hilir atau BBM Satu Harga merupakan upaya membuat Pertamina lebih efisien karena akan muncul persaingan di hilir. Selama ini Pertamina memegang kendali di sektor hilir BBM melalui SPBU-nya di seluruh Indonesia. Adapun BBM tertentu/bersubsidi yang hingga hari ini dikendalikan oleh Pertamina hanya bensin premium, sementara solar masih dikendalikan oleh pemerintah dengan pola subsidi melalui APBN.

Besarnya kekuasaan Pertamina menangani penugasan pemasaran BBM akan berkurang jika BUS yang ada bisa memberikan pelayanan yang lebih baik. Setelah ada PT AKR Corporation, PT VEI juga sudah mendapatkan izin dari Kementerian ESDM untuk menjadi penyalur BBM tertentu, termasuk BBM Satu Harga. Produk VEI dengan Research Octane Number (RON) 89 dijual seharga Rp 6.100 per liter atau lebih murah dibandingkan harga bensin premium produksi Pertamina dengan RON 88 yang dibandrol Rp 6.450 per liter. Kondisi ini dicermati berbeda oleh publik tetapi umumnya dinilai positif karena ada BBM dengan kualitas lebih baik tetapi harga lebih murah. Siapa itu VEI ?

VEI adalah anak perusahaan VE sebuah perusahaan hilir (downstream) minyak dan gas Kerajaan Belanda yang didirikan pada 2011 dan mayoritas beroperasi di Afrika. VE dimiliki oleh Vitol Group of Switzerland (60%) dan Helios Investment Partners of the United Kingdom (40%). Proyek pertama yang dilakukan VEI adalah membangun SPBU di Cilangkap, Jakarta Timur, dan VEI juga berkomitmen ke pemerintah untuk membangun SPBU di Indonesia Timur. Izin yang diberikan Kementerian ESDM sempat menimbulkan kegaduhan publik.

Menurut Pasal 1 ayat 3 Peraturan Pemerintah 191/2014, RON 89 termasuk jenis BBM umum, yang dapat didistribusikan oleh Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Umum BBM. Selama VEI sudah mengantongi izin secara sah dari Kementerian ESDM, maka VEI berhak untuk mendistribusikan RON 89 secara legal di seluruh wilayah Indonesia, tentunya dengan berbagai persyaratan yang sudah diatur oleh peraturan perundang-undangan yang ada dan Kementerian ESDM harus mengawasinya dengan sangat ketat.

Namun, agar ada perlakukan adil dengan Pertamina, pemerintah juga harus mengawasi VEI dengan ketat supaya persaingan di lapangan benar-benar terjadi secara sehat. Izin yang diberikan tidak hanya menyalurkan BBM tertentu di kota-kota yang sudah baik infrastrukturnya tetapi juga kota-kota di Indonesia Timur seperti yang dilakukan oleh Pertamina, termasuk membangun Kilang. VEI juga harus menjalankan kebijakan BBM Satu Harga di seluruh Indonesia, sebagaimana beban yang sama ditanggung oleh Pertamina.

Berapa sesungguhnya harga eceran RON 88? Pertamina memang tidak pernah membuka hitung hitungannya ke publik dan ini merupakan misteri yang harus dibuka oleh regulator supaya publik tidak dirugikan. Patut diduga banyak biaya siluman yang masih disembunyikan oleh Pertamina.

Harian Kontan 28 Oktober 2017 menghitung harga RON 88 dengan menggunakan formula yang selama ini konon digunakan oleh Pertamina. Dalam formula itu, komponen penentu harga eceran RON 88 terdiri dari: (1) harga minyak dunia, kurs rupiah terhadap dollar AS, jumlah barel per liter. (2) Margin Pertamina dan SPBU, serta biaya penugasan, biaya penyediaan, biaya distribusi, biaya penyimpanan ditetapkan sebesar 20%. (3) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% dari Harga Dasar (HD), dan (4) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) sebesar 5%.

Dengan asumsi harga minyak dunia sebesar US$ 50 per barel, kurs rupiah sebesar Rp 13.560 per dolar AS, 1 barel setara 159 litter, maka HD sebesar 4.264,15 per liter [(US$ 50/159 liter) X Rp 13.560 = Rp 4.264,15]. HD ditambah Margin dan Biaya 20%, PPN 10%, PBBKB 5%, maka harga jual eceran RON 88 dihitung sebenarnya sebesar Rp 5.756,60 per liter (4.264,15 + 852,83 + 426,42 + 213,21 = 5.756,60). Kalau kemudian pemerintah menetapkan harga jual RON 88 sebesar Rp 6.450 per liter, berarti ada kemahalan harga yang ditanggung konsumen sebesar Rp 693,40/liter.

Kalau total konsumsi BBM sebesar 1.740.00 barel per hari, total kemahalan yang ditanggung konsumen dengan asumsi minyak dunia US$ 50 per barel, sebesar Rp 70,01 triliun per tahun. Dengan besaran kemahalan harga RON 88, wajar kalau Menteri ESDM semangat untuk meresmikan beroperasinya SPBU PT VEI di Cilangkap. Dengan harga jual RON 89 seharga Rp 6.100 per liter tentunya PT VEI sudah memperoleh margin, sehingga harga pokok penjualan masih lebih rendah. Mudah-mudahan harga ini termasuk harga BBM Satu Harga di SPBU PT VEI.

Langkah Pemerintah

Untuk mengurangi kegaduhan yang tidak perlu, sebaiknya pemerintah, Pertamina, VEI dan ahli melakukan pembahasan rinci terkait perhitungan dasar harga BBM, lalu sampaikan ke publik. Kalau semua perhitungan di atas benar dan campuran aditif yang digunakan standar, seharusnya perbedaan harganya tidak sebesar Rp 350 per liter (Rp 6.450 – Rp 6.100). Kalaupun tetap Rp 350 per liter bedanya, harus ada justifikasi yang jelas dan disampaikan ke publik.

PT VEI juga harus mengumumkan rencana kerja jangka pendek, menengah dan panjangnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga kecurigaan bahwa PT VEI akan menggunakan cara-cara tidak patut untuk membunuh Pertamina merupakan kecurigaan yang tidak beralasan. Ketegasan pemerintah yang sekarang sudah dijalankan oleh Kementerian ESDM harus ditingkatkan supaya persaingan Pertamina dengan BUS setara dan konsumen diuntungkan. Salam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar