BBM
Satu Harga dan Kompetisi Hilir Migas
Agus Pambagio ; Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan
Konsumen
|
DETIKNEWS,
09 November
2017
Pertamina sebagai BUMN yang
mendapatkan penugasan untuk menangani usaha hulu dan hilir migas sepertinya
saat ini menanggung beban yang sangat berat. Beban berat juga terjadi di
sektor hulu, seperti mengelola sektor hulu terkait dengan habisnya masa
kontrak dari beberapa Kontraktor Kontrak Kerjasama (K3S) serta pencarian
sumur migas baru yang membutuhkan investasi super jumbo, sehingga
pemerintahan di bawah Presiden Jokowi ingin mengurangi beban itu melalui
beberapa kebijakan baru yang dapat membuat Pertamina lebih kompetitif,
seperti membuka badan usaha swasta mengelola hilir migas, BBM satu harga, dan
sebagainya.
Efisiensi Pertamina yang selama
ini sering dipertanyakan publik dicoba ditata oleh pemerintah melalui
beberapa kebijakan, seperti Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014 Tentang
Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Selain
itu ada juga Peraturan Menteri ESDM No. 39 Tahun 2016 Tentang Percepatan
Pemberlakuan Satu Harga Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan
Bakar Minyak Khusus Penugasan Secara Nasional.
Terkait dengan kebijakan BBM
Satu Harga di seluruh Indonesia, Pertamina sebagai BUMN penugasan mulai
kesulitan, khususnya terkait dengan biaya distribusi/transportasi ke seluruh
Indonesia. Sebenarnya kebijakan untuk badan usaha swasta (BUS) untuk dapat
memasarkan BBM tertentu khusus penugasan sudah lama di implementasikan.
Tercatat ada dua BUS yang sudah mendapatkan izin Pemerintah sebelumnya, yaitu
PT Petronas Niaga Indonesia dan PT AKR Corporindo. Namun pada akhirnya
Petronas menyerah dan pulang kampung.
Gagalnya Petronas membuat
Pertamina tidak mempunyai pesaing yang tangguh hingga munculnya PT Vivo
Energy Indonesia (VEI). Pertanyaannya, siapa sebenarnya Vivo Energy (VE) itu?
Siapkah Pertamina dan BUS berkompetisi melaksanakan BBM Satu Harga serta BBM
tertentu dan penugasan khusus, sehingga konsumen memperoleh harga BBM yang
wajar? Mari kita bahas singkat.
Kebijakan Satu Harga dan Persaingan Kompetitif
Kebijakan Kementerian ESDM
membuka peluang pemain swasta untuk berbisnis BBM tertentu dan penugasan
khusus di hilir atau BBM Satu Harga merupakan upaya membuat Pertamina lebih
efisien karena akan muncul persaingan di hilir. Selama ini Pertamina memegang
kendali di sektor hilir BBM melalui SPBU-nya di seluruh Indonesia. Adapun BBM
tertentu/bersubsidi yang hingga hari ini dikendalikan oleh Pertamina hanya
bensin premium, sementara solar masih dikendalikan oleh pemerintah dengan
pola subsidi melalui APBN.
Besarnya kekuasaan Pertamina
menangani penugasan pemasaran BBM akan berkurang jika BUS yang ada bisa
memberikan pelayanan yang lebih baik. Setelah ada PT AKR Corporation, PT VEI
juga sudah mendapatkan izin dari Kementerian ESDM untuk menjadi penyalur BBM
tertentu, termasuk BBM Satu Harga. Produk VEI dengan Research Octane Number
(RON) 89 dijual seharga Rp 6.100 per liter atau lebih murah dibandingkan
harga bensin premium produksi Pertamina dengan RON 88 yang dibandrol Rp 6.450
per liter. Kondisi ini dicermati berbeda oleh publik tetapi umumnya dinilai
positif karena ada BBM dengan kualitas lebih baik tetapi harga lebih murah.
Siapa itu VEI ?
VEI adalah anak perusahaan VE
sebuah perusahaan hilir (downstream) minyak dan gas Kerajaan Belanda yang
didirikan pada 2011 dan mayoritas beroperasi di Afrika. VE dimiliki oleh
Vitol Group of Switzerland (60%) dan Helios Investment Partners of the United
Kingdom (40%). Proyek pertama yang dilakukan VEI adalah membangun SPBU di
Cilangkap, Jakarta Timur, dan VEI juga berkomitmen ke pemerintah untuk
membangun SPBU di Indonesia Timur. Izin yang diberikan Kementerian ESDM
sempat menimbulkan kegaduhan publik.
Menurut Pasal 1 ayat 3
Peraturan Pemerintah 191/2014, RON 89 termasuk jenis BBM umum, yang dapat
didistribusikan oleh Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Umum BBM. Selama
VEI sudah mengantongi izin secara sah dari Kementerian ESDM, maka VEI berhak
untuk mendistribusikan RON 89 secara legal di seluruh wilayah Indonesia,
tentunya dengan berbagai persyaratan yang sudah diatur oleh peraturan
perundang-undangan yang ada dan Kementerian ESDM harus mengawasinya dengan
sangat ketat.
Namun, agar ada perlakukan adil
dengan Pertamina, pemerintah juga harus mengawasi VEI dengan ketat supaya
persaingan di lapangan benar-benar terjadi secara sehat. Izin yang diberikan
tidak hanya menyalurkan BBM tertentu di kota-kota yang sudah baik
infrastrukturnya tetapi juga kota-kota di Indonesia Timur seperti yang
dilakukan oleh Pertamina, termasuk membangun Kilang. VEI juga harus
menjalankan kebijakan BBM Satu Harga di seluruh Indonesia, sebagaimana beban
yang sama ditanggung oleh Pertamina.
Berapa sesungguhnya harga
eceran RON 88? Pertamina memang tidak pernah membuka hitung hitungannya ke
publik dan ini merupakan misteri yang harus dibuka oleh regulator supaya
publik tidak dirugikan. Patut diduga banyak biaya siluman yang masih disembunyikan
oleh Pertamina.
Harian Kontan 28 Oktober 2017
menghitung harga RON 88 dengan menggunakan formula yang selama ini konon
digunakan oleh Pertamina. Dalam formula itu, komponen penentu harga eceran
RON 88 terdiri dari: (1) harga minyak dunia, kurs rupiah terhadap dollar AS,
jumlah barel per liter. (2) Margin Pertamina dan SPBU, serta biaya penugasan,
biaya penyediaan, biaya distribusi, biaya penyimpanan ditetapkan sebesar 20%.
(3) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% dari Harga Dasar (HD), dan (4)
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) sebesar 5%.
Dengan asumsi harga minyak
dunia sebesar US$ 50 per barel, kurs rupiah sebesar Rp 13.560 per dolar AS, 1
barel setara 159 litter, maka HD sebesar 4.264,15 per liter [(US$ 50/159
liter) X Rp 13.560 = Rp 4.264,15]. HD ditambah Margin dan Biaya 20%, PPN 10%,
PBBKB 5%, maka harga jual eceran RON 88 dihitung sebenarnya sebesar Rp
5.756,60 per liter (4.264,15 + 852,83 + 426,42 + 213,21 = 5.756,60). Kalau
kemudian pemerintah menetapkan harga jual RON 88 sebesar Rp 6.450 per liter,
berarti ada kemahalan harga yang ditanggung konsumen sebesar Rp 693,40/liter.
Kalau total konsumsi BBM
sebesar 1.740.00 barel per hari, total kemahalan yang ditanggung konsumen
dengan asumsi minyak dunia US$ 50 per barel, sebesar Rp 70,01 triliun per
tahun. Dengan besaran kemahalan harga RON 88, wajar kalau Menteri ESDM
semangat untuk meresmikan beroperasinya SPBU PT VEI di Cilangkap. Dengan
harga jual RON 89 seharga Rp 6.100 per liter tentunya PT VEI sudah memperoleh
margin, sehingga harga pokok penjualan masih lebih rendah. Mudah-mudahan
harga ini termasuk harga BBM Satu Harga di SPBU PT VEI.
Langkah Pemerintah
Untuk mengurangi kegaduhan yang
tidak perlu, sebaiknya pemerintah, Pertamina, VEI dan ahli melakukan
pembahasan rinci terkait perhitungan dasar harga BBM, lalu sampaikan ke
publik. Kalau semua perhitungan di atas benar dan campuran aditif yang
digunakan standar, seharusnya perbedaan harganya tidak sebesar Rp 350 per
liter (Rp 6.450 – Rp 6.100). Kalaupun tetap Rp 350 per liter bedanya, harus
ada justifikasi yang jelas dan disampaikan ke publik.
PT VEI juga harus mengumumkan
rencana kerja jangka pendek, menengah dan panjangnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sehingga kecurigaan bahwa PT VEI akan
menggunakan cara-cara tidak patut untuk membunuh Pertamina merupakan
kecurigaan yang tidak beralasan. Ketegasan pemerintah yang sekarang sudah
dijalankan oleh Kementerian ESDM harus ditingkatkan supaya persaingan
Pertamina dengan BUS setara dan konsumen diuntungkan. Salam! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar