Deglobalisasi,
Trump, dan Asia First
Suzie S Sudarman ; Ketua Pusat Kajian Wilayah Amerika Universitas
Indonesia
|
KOMPAS,
10 November
2017
Kunjungan Presiden Amerika
Serikat Donald Trump ke Asia akan berbeda dari langkah pendahulunya, Barack
Obama, yang terus mengupayakan pertemuan antara prinsip dan pragmatisme
(principles and pragmatism).
Presiden Trump adalah seorang
presiden terpilih yang sangat berbeda karena ia tidak dekat dengan Partai
Republik atau keyakinan-keyakinan Partai Republik yang tradisional, seperti
dukungan pada aliansi, perdagangan bebas, dan kebijakan “Satu China”. Dia
adalah seorang presiden yang unik, tanpa pengalaman politik, dan punya
kecenderungan untuk fleksibel dan menegosiasikan deal.
Strategi Indo-Pasifik
Yang patut disimak dari
kunjungan Trump ke lima negara Asia adalah pengungkapan strategi Indo-Pasifik
atau untuk lebih tepatnya sebuah Indo-Pasifik yang terbuka dan bebas. Hal
inilah yang butuh kecermatan pandangan negara-negara Asia.
Rasa waswas merupakan hal yang
lazim dirasakan oleh negara-negara di dunia bilamana ada perubahan
administrasi di Washington DC. Apalagi di negara-negara Asia yang kini
bercirikan hadirnya tiga perekonomian yang besar, tujuh dari delapan pasar
bebas, dan dari kawasan ini diharapkan akan muncul lebih dari separuh output
perekonomian di masa-masa mendatang (Parameswaran, 2017). Tentunya Presiden
Trump mempertimbangkan kenyataan ini dan menempatkan peran AS dalam konteks
perekonomian dan keamanan Asia.
Yang tampaknya ingin dipastikan
adalah upaya pelestarian serta bentuk komitmen AS di masa pasca-Perang Dingin
terhadap dinamika di kebangkitan Asia. Hal ini tampak di masa Presiden Obama
yang telah mengupayakan sebuah koreksi dalam bentuk kebijakan menyeimbangkan
(rebalance) untuk memadukan bangkitnya Asia dengan kebijakan luar negeri AS.
Kini menjadi pertanyaan besar,
apakah kebijakan Asia First akan tersisih oleh langkah baru Presiden Trump,
yakni menempatkan kepentingan AS di atas yang lain, America First.
Deglobalisasi
Memang berpalingnya AS pada
kepentingan bangsanya atau nativism adalah bagian dari deglobalisasi yang
mewarnai dunia, yang tampaknya menjiwai kebijakan Presiden Trump. Ada
kecenderungan politik transaksi sempit (narrow transactionalism) yang menjadi
ciri langkah America First Presiden Trump pada masa pemerintahannya. Banyak
kalangan mengkhawatirkan kunjungan Presiden Trump menandakan berakhirnya
kebijakan luar negeri Asia First.
Langkah-langkah Presiden Trump
diamati karena mengandung unsur positif dan negatif. Ia telah berupaya untuk
tetap berhubungan dengan mitra-mitra negara Asia dan mengumumkan sejak dini
akan berkunjung ke Asia. Kemudian muncul kekhawatiran bahwa Presiden Trump
mengundurkan diri dari komitmen ke berbagai perjanjian perdagangan bebas.
Yang dinantikan adalah upaya penamaan kembali (rebranding) dari kebijakan
menyeimbangkan (rebalance).
Jika dalam kunjungannya ke Asia
Presiden Trump akan mengartikulasikan secara garis besar visi administrasinya
di kawasan ini, negara-negara Asia akan menjadi lebih merasa yakin akan niat
Pemerintah AS.
Arus deglobalisasi menyulitkan
rekonsiliasi antara tatanan berdasarkan aturan (rules-based order), yang
lebih berdasarkan konsep interdependensi tentang bagaimana seharusnya
bangsa-bangsa Asia berinteraksi di antara mereka sendiri dan dengan dunia,
dan kecenderungan America First yang lebih mendasarkan diri pada visi
independen (independent).
Sistem San Francisco
Hegemoni AS di kawasan Asia
Pasifik sejak Perang Dunia II bersifat multidimensi dan dikenal dengan
istilah The San Francisco System. Ada fitur-fitur institusional yang harus di
jelaskan: sebuah jaringan padat aliansi-aliansi keamanan formal antara AS dan
negeri-negeri kunci di kawasan Pasifik, jaringan hub-and-spoke dari
ikatan-ikatan bilateral mulai dari Washington.
Beda dengan Pakta Keamanan
Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat (ANZUS), Sistem San Francisco tidak
menciptakan struktur keamanan multilateral, bersifat asimetris dalam dimensi
ekonomi dan keamanan, memberikan perlindungan militer dan akses pasar kepada
negeri-negeri tersebut, dan tidak mewajibkan pertahanan kolektif.
Sejak 1993, multilateralism
mulai mengubah perjanjian-perjanjian bilateral berdasarkan
hub-and-spoke,misalnya Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) masuk juga
dalam dimensi keamanan, bank-bank pembangunan multilateral menjadi lebih
aktif. Dalam kasus ASEANPlus Three, masalah-masalah perbatasan dan politik
domestik yang kompleks menimbulkan pertanyaan apakah ASEANPlus Three akhirnya
bisa mengakhiri elemen keamanan dari Sistem San Fransisco.
AS sendiri berevolusi dari
peranan reaktif, pasif, dan akhir-akhir ini menjadi pemain yang mengupayakan
penentuan agenda dalam kerangka-kerangka yang berkenaan dengan soal keamanan
kawasan. Dukungan AS terhadap proses multilateral meningkat, tetapi visi
strategisnya tetap bersifat reaktif.
Soal penggentaran serius
(deterrence) tetap ditangani secara bilateral yang telah mapan. Namun,
soal-soal perbatasan yang belum tertata menjadi tanggung jawab
aliansi-aliansi bilateral dan hal ini membuat kawasan Asia Timur menjadi
dikenal sebagai puncak segala krisis (the arc of crisis).
Soal meningkatnya kebutuhan
China akan sumber daya dan energi menciptakan tantangan ekologi dan prospek
ketidakstabilan dalam hubungan-hubungan Trans-Pasifikyang membutuhkan
kemampuan untuk menegosiasikan hal-hal strategis baru.
Redefinisi dan penamaan kembali
Presiden Obama telah
meredefinisikan pandangan AS tentang dunia dan menyambungkan kembali AS
dengan konteks baru di abad ke-21. Yakni membangun sebuah tatanan global
bersifat multilateral dengan AS tetap berada di pucuk pimpinan dalam soal
yang menyangkut kekuasaan keras (hard power), tetapi berbagi lebih banyak
tanggung jawab dan membebani yang lain apabila mungkin dan dibutuhkan.
Tahun 2011 adalah tahun
transisi atau apa yang diistilahkan dengan the pivot. Presiden Obama percaya
bahwa masa depan AS ada di Asia. Hal ini nyata dalam bentuk perjanjian
perdagangan bebas The Korea-USFTA (Korus), negosiasi Kemitraan Trans-Pasifik
(TPP).
Pada November 2011, dalam
Pertemuan Puncak Asia Timur (EAS) pertama yang dihadiri oleh AS dinyatakan
soal kepentingan nasional AS dalam hal freedom
of navigation and peaceful resolution of the South China Sea disputes in
accord with international law.
Yang dinanti dari kunjungan
Presiden Trump adalah pidatonya tentang Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka
(free and open Indo-Pacific). Penamaan kembali atau rebranding kebijakan ke
negara-negara bisa terkendala oleh pertentangan antara konsepsi AS sebagai
penjaga tatanan internasional yang terinterkoneksi dengan pemahaman Trump
dalam pidatonya di PBB tentang negara-negara berdaulat yang kuat, strong
sovereign state.
Perekonomian predator
Di bidang perekonomian ada
perdebatan tentang bentuk kesejahteraan yang dirasakan bersama melalui upaya
perdagangan dan investasi dan standar seperti apa yang akan diberlakukan.
Tampaknya peran AS akan mengupayakan peningkatan standar ini agar bisa
mengatur perekonomian memangsa (predatory economic) seperti yang dilakukan
oleh aktor-aktor lain, seperti China.
Masih menjadi tanda tanya besar
apakah pesan strategis AS kepada kawasan ini bisa disesuaikan dengan
pendekatan transaksional yang sempit yang diberlakukan Presiden Trump di
dalam negeri. Penarikan komitmen kepada TPP serta ancaman pada perjanjian
perdagangan bebas lainnya, seperti Korus, dan kerasnya suara Pemerintah AS
akan defisit perdagangannya telah membentuk persepsi bahwa administrasi Trump
memandang perekonomian sebagai cara untuk mengelola tantangan-tantangan dunia
agar AS tidak dirugikan, bukan untuk penciptaan kesejahteraan dunia.
Juga hal lain yang berkaitan
dengan demokrasi dan hak-hak asasi manusia akan sangat berkaitan dengan
tatanan Indo-Pasifik yang berdasarkan hukum. Rasa waswas muncul juga karena
kecenderungan Presiden Trump untuk secara selektif memilih negara mana yang
dikategorikan sebagai rezim yang ugal-ugalan (rouge regimes). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar