Tinjauan
Historis dan Yuridis Pancasila
Ahmad Basarah ; Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro;
Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR
RI. Ketua Badan Sosialisaai MPR RI;
Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDI
Perjuangan
|
KOMPAS.COM, 15 Januari
2017
AKHIR-AKHIR
ini banyak yang membicarakan bahkan ada yang mulai mempersoalkan kembali
posisi Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara kita. Diskursus dan
situasi tersebut tentu akan menjadi tidak terkendali dan menciptakan dikotomi
di tengah-tengah masyarakat jika pemahaman masing-masing pihak hanya berdasar
pada sudut pandang pribadi, kelompok, maupun golongan, dan mengabaikan proses
pembentukan Pancasila sebagai dasar negara oleh para Pembentuk Negara.
Upaya
pendikotomian tersebut hendak memutus rangkaian proses kelahiran Pancasila
dan menciptakan opini seolah-olah Pancasila 1 Juni merupakan milik kelompok
Soekarnois, Piagam Jakarta milik kelompok Islam, dan 18 Agustus milik rakyat
Indonesia pada umumnya. Sehingga setiap ada wacana Pancasila 1 Juni dianggap
sebagai romantisme sejarah dan hanya milik kelompok tertentu.
Pendikotomian
dan stigma romantisme sejarah tersebut tentu tidak tepat bila diuji pada
fakta-fakta sejarah proses kelahiran Pancasila sebagai dasar negara. Penulis
telah meneliti fakta-fakta historis dan yuridis sejarah proses kelahiran
Pancasila dan telah mempertanggungjawabkan secara akademis melalui disertasi
doktoral di Universitas Diponegoro.
Dua
dari sembilan penguji desertasi tersebut adalah Ketua dan mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yakni Arief Hidayat dan Mahfud MD.
Merujuk
pada fakta-fakta sejarah yang telah penulis teliti maka pendikotomian
tersebut tidak mendapatkan kebenaran sejarah. Kenapa demikian?
Pertama,
Pancasila yang disampaikan Soekarno sebagai anggota resmi BPUPK (Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) melalui pidato tanpa teks pada 1 Juni
1945 merupakan jawaban terhadap pertanyaan Radjiman Wedyodiningrat selaku
ketua BPUPK tentang apa dasarnya bila Indonesia merdeka kelak. Soekarno adalah
pencetus pertama Pancasila Dasar Negara dan pembicara terakhir dari 40 orang
yang menyatakan pendapat (A.B. Kusuma, 2009 : 16).
Kedua,
setelah Soekarno selesai menyampaikan pidatonya, pidato Pancasila tersebut
diterima secara aklamasi oleh seluruh anggota BPUPK. Menurut kesaksian
Panitia Lima, hal tersebut terjadi dikarenakan Pidato Pancasila Soekarno
satu-satunya yang tegas mengusulkan filosofische grondslag untuk negara yang
akan dibentuk. Panitia Lima terbentuk atas anjuran Presiden Soeharto pada
tahun 1975 untuk meneliti sejarah kelahiran Pancasila. Panitia Lima tersebut
terdiri dari lima orang tokoh pendiri bangsa yakni Mohammad Hatta, Ahmad
Subardjo Djojoadisurjo, A.A. Maramis, Mr. Sunario, dan Mr. Abdul Gafar
Pringgodigdo. (Panitia Lima, 1980 : 25 dan 60).
Dengan
diterimanya Pancasila 1 Juni 1945 sebagai dasar falsafah negara secara
aklamasi oleh BPUPK, maka Pancasila 1 Juni 1945 telah menjadi keputusan BPUPK
yang bersifat mengikat, tidak lagi sebatas pendapat pribadi Soekarno. Bahkan
pidato steno-grafisch verslag tersebut, oleh Panitia Kecil yang dibentuk
BPUPK dijadikan sebagai bahan baku untuk menghasilkan rumusan final
Pancasila.
Pengakuan
Pancasila 1 Juni juga ditegaskan Notonegoro yang menyatakan bahwa pengakuan
Pancasila 1 Juni bukan terletak pada bentuk formal yang urut-urutan
sila-silanya berbeda dengan sila-sila Pancasila yang terdapat dalam Pembukan
UUD 1945, tetapi terletak dalam asas dan pengertiannya yang tetap sebagai
dasar falsafah negara (Notonegoro, 1988 : 8).
Sehingga
tepatlah kebijakan Pemerintahan Jokowi yang telah menetapan 1 Juni 1945
sebagai Hari Lahirnya Pancasila melalui Keppres nomor 24 Tahun 2016 tentang
Hari Lahirnya Pancasila. Keppres tersebut menempatkan kembali sejarah proses
kelahiran Pancasila berdasarkan fakta sejarah tanpa bermaksud mengganti
rumusan final sila-sila Pancasila.
Terbitnya
Keppres tersebut juga berarti negara telah menyatakan eksistensinya sekaligus
memberikan kepastian bagi seluruh rakyat Indonesia bahwa dokumen yang dapat
dipelajari dan dipahami sebagai tafsir otentik sila-sila Pancasila menurut
Pembentuk Negara terletak pada Pidato Soekarno 1 Juni 1945.
Ketiga,
Panitia Sembilan pada sidang tanggal 22 Juni 1945 menghasilkan rumusan yang
kita kenal sebagai Piagam Jakarta. Sejarah mencatat, Panitia Sembilan yang
diketuai Soekarno terbentuk atas inisiatif dan prakarsa Soekarno.
Inisiatif
dan prakarsa tersebut dilakukan Soekarno atas penghormatan dan keinginan
menjaga keseimbangan antara Kelompok Kebangsaan dan Kelompok Islam karena
komposisi Panitia Delapan yang dibentuk BPUPK tidak proporsional.
Kelompok
Islam hanya diwakili dua orang yakni Ki Bagoes Hadi Koesoemoe dan KH. Wachid Hasjim, sedangkan Kelompok
Kebangsaan diwakili enam orang yakni Soekarno selaku ketua, Mohammad Hatta,
Muh. Yamin, A.A. Maramis, R. Otto Iskandardinata, dan M.S Kartohadikoesoemoe.
Sehingga
Soekarno membentuk Panitia Sembilan yang komposisinya lebih proporsional
terdiri dari empat orang kelompok Kebangsaan yakni Mohammad Hatta, A.A.
Maramis, Muh. Yamin, A. Soebadrjo dan empat orang kelompok Islam yakni K.H.
Wachid Hasjim, H. Agus Salim, K.H. Kahar Muzakkir, dan R. Abikoesno
Tjokrosoejoso, serta Soekarno berdiri di tengah sebagai ketua Panitia
Sembilan.
Hal
itu sesuai dengan janji Soekarno pada saat Pidato 1 Juni 1945 ketika
menjelaskan faham atau sila demokrasi musyawarah mufakat. Soekarno mengatakan
di awal penjelasannya, "Kalau saudara-saudara membuka saya punya dada,
dan akan melihat saya punya hati. Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak
bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam
badan permusyawaratan. Dengan cara musyawarah mufakat, kita perbaiki segala
hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan dan
permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat." (Pidato Soekarno, 1
Juni 1945).
Keempat,
rumusan teks final Pancasila oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945 juga diketuai oleh Soekarno. Dan
sidang PPKI tanggal 18 Agustus sama sekali tidak pernah menetapkan Pancasila
sebagai Dasar Negara. Karena PPKI hanya menghasilkan dua keputusan yakni
mengesahkan UUD 1945 dan mengangkat Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk pertama kalinya.
Perubahan
sila Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya dalam Piagam Jakarta menjadi Ketuhan Yang Maha Esa oleh
PPKI pada 18 Agustus 1945, diakui oleh Mohammad Hatta di dalam bukunya
'Memoir Mohammad Hatta' menyatakan, "Pada pagi hari menjelang dibukanya
rapat PPKI, Hatta mendekati tokoh-tokoh Islam agar bersedia mengganti kalimat
"Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya" dalam rancangan Piagam Jakarta dengan kalimat
"Ketuhanan Yang Maha Esa". Alasannya, demi menjaga persatuan
bangsa.
Menurut
Azyumardi Azra dalam orasi ilmiahnya di acara Sarwono Memorial Lecture, LIPI
tanggal 20 Agustus 2015, mengatakan, "dari proses penerimaan Pancasila,
jelas terlihat para pemimpin Islam pada saat itu lebih mementingkan kerukunan
dan integrasi nasional daripada
kepentingan
Islam atau umat Islam belaka."
Kelima,
kedudukan Pancasila bukan terletak di dalam Pembukaan UUD 1945 karena
kedudukan hukum Pancasila terletak di atas dan menguasai UUD bukan sejajar
apalagi menjadi sub bagian dalam UUD. Mengingat sistematika UUD 1945 sesuai
Pasal II Aturan Tambahan UUD NRI 1945, menyatakan bahwa Pembukaan adalah
bagian dari UUD NRI 1945. Hal tersebut diadopsi juga oleh UU nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di samping itu, MK
telah mengeluarkan putusan judicial review nomor 100/PUU-XI/2013 tentang
pengujian UU nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik terkait Pancasila
bukan pilar yang sejajar dengan UUD.
Sedangkan,
yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 adalah rumusan sila-sila
Pancasila, sementara pengertian akan falsafah dasar yang terkandung dalam
sila-sila Pancasila tersebut, terletak pada isi pidato Soekarno tanggal 1
Juni 1945.
Pandangan
tersebut memiliki pijakan teoritis sesuai dengan teori Stufenbautheorie Hans Kelsen yang menjelaskan bahwa norma hukum
itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam susunan yang hierarkis, di
mana norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi lagi, demikian seterusnya pada akhirnya ini berhenti pada norma
yang paling tinggi yang disebut norma dasar (grundnorm).
Pancasila
sebagai grundnorm ditentukan oleh Pembentuk Negara untuk pertama kalinya
sebagai penjelmaan kehendak rakyat melalui Pembentuk Negara. Grundnorm
bersifat tetap dan tidak berubah-ubah.
Di
sisi lain, jika kita menempatkan kedudukan hukum Pancasila terletak di
Pembukaan UUD 1945, hal itu berarti Pancasila sebagai dasar negara telah
beberapa kali mengalami perubahan. Karena pada saat Negara Indonesia
menggunakan UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, rumusan sila-sila Pancasila telah
berubah dan berbeda dari yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan
rangkaian fakta sejarah tersebut tergambar dengan jelas bahwa Pancasila
bangsa Indonesia hanya ada satu, yaitu sejak kelahirannya tanggal 1 Juni
1945, berkembang menjadi Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 hingga teks
final tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI sebagai satu-kesatuan proses sejarah
lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara. Dalam ketiga proses rumusan
Pancasila tersebut tidak dapat dipungkiri causa prima-nya adalah Soekarno.
Di
sisi lain, Pancasila sebagai ideologi dinamis dapat berkembang sesuai dengan
konteks zaman serta terbuka untuk didiskusikan oleh setiap anak bangsa.
Namun, falsafah dasarnya tetap berpedoman sesuai dengan maksud Pembentuk
Negara.
Selanjutnya,
demi menjaga kebenaran sejarah, sudah saatnya seluruh rakyat Indonesia bewust
atas sejarah bangsa. Sehingga bangsa Indonesia dapat lebih mantap mengarungi
gelombang samudera kehidupan menuju cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar