Korupsi
Dinasti Politik
Djayadi Hanan ; Direktur Eksekutif SMRC;
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina
|
KOMPAS, 16 Januari
2017
Setiap
menjelang pemilihan kepala daerah, isu dinasti politik selalu muncul dan
ramai dibincangkan. Dinasti politik dilarang oleh undang-undang. Namun,
Mahkamah Konstitusi menganulirnya melalui proses uji materi (judicial review)
yang diajukan salah satu calon peserta pilkada pada 2015.
Dinasti
politik umumnya bermakna negatif karena biasanya terkait dengan korupsi.
Korupsi yang dilakukan dinasti politik mengesankan korupsi yang terstruktur,
sistematis, dan masif (TSM). Tingkat kerusakan dan bahaya yang ditimbulkannya
menjadi berlipat dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan orang per orang.
Dugaan
korupsi yang dilakukan Bupati Klaten yang terkena operasi tangkap tangan
(OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini dapat menjadi contoh
gamblang. Salah satu kemungkinan yang muncul adalah korupsi lebih mudah
dilakukan karena kepemimpinan politik di Klaten selama hampir dua dekade
terakhir dikuasai dua keluarga. Suami istri bergantian menjadi bupati
danwakil bupati. Apabila tidak melalui OTT, mungkin dugaan korupsi tersebut
belum atau tidak akan terungkap.
Di
sejumlah negara, dinasti politik tidak selalu berarti korupsi. Singapura
adalah contohnya. Salah satu pemegang kekuasaan di negeri tersebut adalah
dinasti politik. Lee Kuan Yew membangun Singapura, menjadi pemimpinnya untuk
waktu yang cukup lama, lalu penguasa berikutnya adalah anggota keluarganya.
Namun,
dinasti politik di Singapura tak dapat dikaitkan langsung dengan korupsi.
Singapura dikenal sebagai negara yang penegakan hukumnya sangat baik,
terutama dalam hal pencegahan dan pemberantasan korupsi. Menurut Transparansi
Internasional, Singapura memperoleh peringkat delapan terbaik dalam Indeks
Persepsi Korupsi 2016.
Dinasti, demokrasi, dan
korupsi
Dinasti
politik tidak cocok dan cenderung bertentangan dengan demokrasi. Prinsip
dinasti adalah pemusatan kekuasaan. Ini bertentangan diametral dengan demokrasi
yang justru berpijak pada desentralisasi kekuasaan, baik secara vertikal
maupun horizontal. Kekuasaan yang terpusat cenderung dekat dengan kekuasaan
absolut. Kekuasaan absolut cenderung korup secara absolut pula. Inilah alasan
fundamental mengapa dinasti politik dicurigai berjalin berkelindan dengan
korupsi.
Dinasti
politik bukanlah fenomena unik Indonesia. Peneliti politik sudah lama akrab
dengan isu ini. Rahman (2013) dalam disertasinya di London School of
Economics and Political Science menemukan bahwa dari 100 negara yang ia
teliti, 42 persen memiliki dinasti politik di tingkat nasional. Dalam politik
lokal di Indonesia, sampai dengan 2012, ada sedikitnya 23 dinasti politik
yang aktif (Kenawas, 2013). Kebanyakan dinasti politik ini masih aktif sampai
sekarang dan jumlahnya cenderung makin bertambah.
Dinasti
politik sering kali disamakan dengan keluarga politik (political family).
Meskipun memiliki kaitan erat, keluarga politik dan dinasti politik bukanlah
dua hal yang otomatis sama. Dinasti politik tidak harus berasal dari keluarga
politik. Sebaliknya, keluarga politik tidak mesti membangun dinasti politik.
Secara
umum, ada tiga mekanisme terbentuknya dinasti politik. Pertama, transmisi
atau suksesi—baik langsung maupun tidak langsung—kekuasaan politik atas dasar
hubungan keluarga (Thompson, 2012). Ini berbeda dengan keluarga politik yang
bermakna adanya tradisi dalam sebuah keluarga untuk memegang jabatan-jabatan
atau berkarier di bidang politik.
Kedua,
dinasti politik terbentuk karena ada persistensi elite (Querubin, 2011). Satu
atau sejumlah kecil keluarga mendominasi distribusi kekuasaan di suatu
tempat/negara.
Ketiga,
dinasti politik juga dapat terbentuk melalui suksesi langsung, misalnya
jabatan politik beralih dari ayah kepada anak, atau dari suami kepada istri,
dalam pergantian kepemimpinan di suatu tempat (Rahman, 2013). Dinasti politik
terbentuk apabila ada minimal dua anggota keluarga yang memegang jabatan
politik yang sama, di tingkat nasional ataupun daerah secara berturut-turut.
Dengan
tiga mekanisme tersebut, dapat dipahami bahwa proses dan keputusan- keputusan
politik di suatu daerah akan berputar-putar di kalangan sejumlah kecil orang.
Lembaga-lembaga yang menopang kekuasaan politik, seperti birokrasi, pun akan
lebih mudah dikuasai. Persekongkolan sukarela ataupun terpaksa akan lebih
mudah dijalankan. Apabila ini dibarengi dengan kondisi masyarakat yang
pragmatis dan permisif, maka akan lebih lengkaplah potensi korupsi yang
berawal dari penyalahgunaan kekuasaan oleh dinasti politik.
Memang,
secara normatif, dinasti politik belum tentu melakukan korupsi. Dengan kata
lain, dinasti politik bisa berdampak negatif sekaligus positif.
Merebut
dan mempertahankan kekuasaan, bagi dinasti politik, didasari pada dua
motivasi utama. Pertama, membangun reputasi dan nama baik (reputation
building). Anggota dinasti politik berkuasa dengan didorong keinginan untuk
membangun dan mempertahankan reputasi keluarga. Tujuannya agar kekuasaan yang
dipegang memperoleh legitimasi dan dukungan rakyat yang lebih besar.
Dampaknya,
dinasti yang dimaksud akan terus dipilih kembali apabila dalam negara
demokrasi. Atau, dalam negara non-demokrasi, kekuasaan dinasti dianggap
memang diperlukan untuk kebaikan masyarakat sehingga kekuasaan dinasti itu
langgeng dalam waktu yang lama.
Membangun
reputasi dilakukan dinasti politik dengan cara menghindarkan diri mereka dari
perilaku yang akan merusak nama baik. Korupsi dalam konteks ini dapat
dianggap perilaku yang harus dihindari. Saat yang sama, reputasi dapat dibangun
dengan tindakan-tindakan politik yang dianggap berpihak kepada kepentingan
masyarakat banyak (public interest). Dengan motivasi ini, maka dinasti
politik malah dapat dianggap menguntungkan masyarakat.
Motivasi
kedua dinasti politik adalah menumpuk kekayaan (stockpiling wealth).
Kekuasaan adalah jalan cepat untuk menumpuk kekayaan. Ini hanya bisa ditempuh
apabila kekuasaan mengontrol distribusi kekayaan melalui mekanisme keuangan
publik dengan kritik dan oposisi seminimal mungkin. Ini dimungkinkan melalui
dinasti politik karena sifat kekuasaannya yang terpusat.
Kekayaan
yang diperoleh ini selanjutnya digunakan untuk membiayai proses dan mekanisme
agar suksesi kekuasaan berada di lingkaran dinasti politik. Muncul semacam
lingkaran setan korupsi (corruption vicious circle) di sini. Motivasi
menumpuk kekayaan memunculkan dinasti politik, lalu dinasti politik makin
dimungkinkan menumpuk kekayaan, selanjutnya kekayaan tersebut menjadi
instrumen untuk melanggengkan dinasti, dan begitu seterusnya.
Memutus dinasti, mencegah
korupsi
Meski
secara normatif dan teoretis, terutama melalui mekanisme reputation-
building, dinasti politik dapat saja berdampak positif bagi masyarakat, data
empiris yang tersedia umumnya menunjukkan kaitan yang erat antara dinasti
politik dan korupsi. Analisis Rahman (2013) terhadap data di 100 negara
menyimpulkan, dinasti politik memiliki korelasi dengan tingkat korupsi lebih
tinggi. Artinya, negara/daerah yang kekuasaannya dipegang dinasti politik
cenderung memiliki tingkat korupsi yang lebih parah.
Politisi
anggota dinasti politik juga memiliki kecenderungan mendukung dan
menghabiskan anggaran untuk proyek- proyek infrastruktur kota, kesehatan, dan
sanitasi (Braganca, dkk., 2015). Namun, proyek-proyek tersebut justru tidak
membantu perbaikan pertumbuhan ekonomi dan layanan publik. Kemungkinan, ini
terjadi karena proyek-proyek tersebutlah yang lebih mudah dikorupsi dan
terkesan membantu kepentingan publik.
Karena
dijalankan seadanya, maka tidak mampu memperbaiki ekonomi dan layanan publik.
Dengan kata lain, dinasti politik juga memperparah pemerintahan yang buruk
(bad governance).
Secara
umum, korupsi juga dikaitkan dengan tiga keadaan yang mendukung. Pertama,
tingkat dan kondisi pembangunan ekonomi yang belum tinggi, apalagi apabila disertai
ketimpangan serius. Kedua, struktur budaya, terutama masyarakat yang permisif
dan cenderung pragmatis terhadap korupsi. Ketiga, masih rendahnya kualitas
demokrasi, terutama dari segi penegakan hukum, ketimpangan politik dan
ekonomi, serta rendahnya kemampuan negara merespons aspirasi publik.
Apabila
dinasti politik muncul dalam negara/daerah yang memiliki tiga kondisi
tersebut, dapat diduga ia akan memperparah kondisi korupsi. Dalam suasana
masyarakat yang permisif dan menghargai orang yang mau bagi-bagi uang,
dinasti yang memiliki motivasi menumpuk kekayaan justru akan memperoleh
reputasi baik. Apabila secara normatif motivasi reputation building
bertentangan dengan motivasi menumpuk kekayaan, kenyataannya justru dua
motivasi itu dapat saling mendukung. Makin sulitlah kita memberantas korupsi.
Pertanyaan
menarik, Indonesia dan kebanyakan daerah di Indonesia berada di kondisi mana?
Saya khawatir, Indonesia dan banyak daerah kita, berada dalam kondisi yang
terakhir tersebut. Dinasti politik justru dianggap memilikireputasi baik
sepanjang ia dapat membagi-bagi sedikit kekayaan kepada masyarakat, misalnya
lewat pemilu, tanpa peduli, bagaimana buruknya mereka menumpuk kekayaan.
Sudah
jelas kiranya, dinasti politik sebaiknya diputus. Ia akan membantu pencegahan
korupsi. Nanti, kalau penegakan hukum kita sudah baik, bolehlah kita tidak
terlalu mempermasalahkannya. Memutus dinasti melalui larangan undang-undang
sudah tidak bisa. Tinggal masyarakat pemilih yang bisa melakukannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar