Subsidi,
Kedaulatan Pangan, dan
Kesejahteraan
Petani
Soetadi ; Wakil Bupati Batang
|
KORAN SINDO, 20 Januari
2017
Program
Nawacita yang sudah beberapa waktu dijalankan pemerintahan Jokowi memberi
angin segar bagi cita-cita mewujudkan kedaulatan pangan. Indonesia diharapkan
bisa mengatur dan memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara berdaulat.
Seperti dijelaskan dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun
2015-2019, kedaulatan pangan bisa diterjemahkan dalam tiga kemampuan bangsa.
Pertama, mencukupi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri.
Kedua,
mengatur kebijakan pangan secara mandiri. Ketiga, melindungi dan
menyejahterakan petani sebagai pelaku utama dalam usaha pertanian pangan.
Artinya, kedaulatan pangan mula-mula harus diwujudkan dari kondisi swasembada
pangan yang secara bertahap diikuti dengan peningkatan nilai tambah usaha
pertanian secara luas untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Salah
satu kebijakan strategis yang digulirkan pemerintah selama puluhan tahun ini
adalah subsidi pertanian. Anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk
menyubsidi pertanian pun dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan.
Pada 2009 besaran total subsidi pertanian (baik pangan, pupuk, maupun benih)
mencapai Rp32,9 triliun, dan pada 2013 sudah menembus angka Rp40,9 triliun.
Pada
2015 bahkan untuk pertama kalinya nilai subsidi pertanian mengalahkan subsidi
bahan bakar minyak (BBM) yakni Rp55 triliun, sedangkan subsidi BBM hanya Rp17
triliun. Besarnya subsidi yang dialokasikan pemerintah, baik dalam bentuk
pupuk, obat-obatan, benih, maupun yang lain, adalah dalam rangka meningkatkan
produksi pertanian, utamanya tanaman pangan sehingga Indonesia diharapkan
mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri (swasembada).
Selain
itu, peningkatan produksi pertanian pada akhirnya juga untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat petani. Jika produksi pertanian melimpah, dampaknya
tidak hanya pada pencapaian swasembada dan kedaulatan pangan. Lebih dari itu,
kualitas kesejahteraan sebagian besar petani juga semestinya dengan
sendirinya membaik. Sayang, logika matematis semacam itu tak selalu indah
pada praktiknya.
Kondisi
di lapangan seringkali tak sama dengan teorinya sebab melimpahnya produksi
ternyata tak selalu sebanding dengan keuntungan yang diperoleh petani dari
harga jual pascapanen. Produksi beras, jagung, atau kedelai boleh meningkat.
Tetapi, karena harga jual saat panen yang rendah, petani tak bisa banyak
mengharapkan keuntungan.
Harga
jual produksi petani yang rendah ini permasalahan klasik yang pelik karena
melibatkan mata rantai yang sampai saat ini sulit diatasi. Sejak 2003
pemerintah telah mengupayakan solusinya melalui program Dana Penguatan Modal
Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM LUEP). LUEP ditujukan agar hasil
produksi gabah/beras petani bisa dibeli sesuai harga pembelian pemerintah
(HPP).
Program
sejenis juga digulirkan melalui pengadaan pangan oleh Dolog. Dua program itu
dirancang agar harga jual pascapanen bisa lebih menguntungkan petani.
Artinya, pemerintah sebetulnya telah sejak lama menginsafi rentannya harga
jual pascapanen. Tetapi, lagi-lagi, solusi yang diupayakan pemerintah juga
tidak efektif.
Pada
praktiknya, petani tetap saja hanya bisa menikmati harga jual yang murah.
Pertama, penggilingan padi membeli harga pasar yang rendah dari petani dan
menjualnya ke Dolog dengan harga pemerintah. Kedua, yang memiliki kemampuan
untuk menyuplai beras ke Dolog adalah pengusaha penggilingan padi atau
tengkulak, sementara petani tidak bisa.
Jika
kondisinya demikian, kecil kemungkinan para petani produsen pangan akan
meningkat kesejahteraannya. Kebijakan subsidi pertanian yang difokuskan pada
proses produksi (prapanen) dengan demikian tak cukup efektif untuk mengangkat
kesejahteraan petani. Masalahnya menjadi sangat kompleks karenasiklusproduksi
pangan yang tak menguntungkan petani ini telah berlangsung lama.
Efek
domino yang diakibatkan pun mengkhawatirkan. Pertama, perlahan, tapi pasti
banyak masyarakat desa yang tak lagi berminat mengelola tanahnya untuk
bertani karena dianggap kurang menguntungkan. Kedua, generasi muda juga kian
kehilangan motivasi untuk meneruskan usaha pertanian orang tuanya karena
keuntungan yang diperoleh tak sebanding dengan biaya kebutuhan hidup,
terutama pendidikan dan kesehatan.
Dalam
hal kecenderungan tingginya alih fungsi lahan, dampak paling mengkhawatirkan
dari kondisi tersebut adalah ketika petani berpikir instan dengan
mengalihfungsikan lahan pertaniannya untuk kepentingan nonpertanian seperti
industri dan permukiman. Semakin banyak lahan yang beralih fungsi adalah
ancaman serius bagi pencapaian kedaulatan pangan.
Akibat
itu, aktivitas impor komoditas pangan akan semakin mendapatkan pembenaran.
Solusi atas permasalahan pelik itu sejatinya hanya satu, yakni ada kepastian
harga jual produksi pertanian yang menguntungkan petani produsen. Untuk
merealisasikan itu, pemerintah perlu mengevaluasi kembali pengalokasian
subsidi praproduksi yang terbukti tidak memberikan dampak signifikan bagi
kesejahteraan petani.
Alokasi
subsidi yang besar itu akan lebih efektif jika dialihkan ke pascapanen.
Artinya, subsidi itu tidak untuk dihilangkan, tetapi hanya dialihkan dari
hulu ke hilir. Bila perlu, pemerintah secara bertahap bisa meningkatkan nilai
subsidi yang akan digunakan untuk menampung hasil pertanian tanaman pangan.
Sudah
waktunya negara hadir secara langsung dalam mengelola pascapanen sehingga
hasil produksi petani bisa dibeli oleh pemerintah dengan HPP yang
menguntungkan petani. Sekali lagi, pemerintah tidak harus membuat kebijakan
baru tentang subsidi, tetapi hanya menggeser dari yang semula untuk
peningkatan produksi (hulu) menjadi subsidi untuk hasil produksi petani
(hilir).
Kebijakan
pengalihan subsidi dari hulu ke hilir ini justru menjadi solusi efektif atas
berbagai mata rantai permasalahan yang tak menguntungkan petani selama ini.
Pertama, subsidi pupuk selama puluhan tahun ini tak pernah bisa steril dari
praktik penimbunan sehingga isu kelangkaan pupuk bersubsidi di pasaran masih
saja berlangsung.
Kedua,
jerat rantai panjang distribusi yang lebih sering menguntungkan tengkulak
juga bisa diputus, oleh sebab, gabah hasil panen petani bisa langsung dibeli
pemerintah dengan harga yang layak. Dengan harga jual yang menguntungkan,
petani juga memiliki daya beli yang baik untuk memenuhi kebutuhan produksi
berikutnya, baik benih, pupuk, saprodi, maupun obatobatan nonsubsidi lain.
Kalaupun
harga saprodi nonsubsidi suatu waktu melonjak, dampaknya justru bisa positif
karena secara perlahan petani bisa terlepas dari ketergantungan penggunaan
obat-obatan kimiawi dan beralih ke pupuk organik. Toh, dalam beberapa waktu
terakhir, pertanian organik juga mulai menjadi model yang digandrungi
sebagian petani.
Preferensi
penggunaan pupuk organik juga akan mendorong petani untuk mengembangkan
peternakan guna menyuplai bahan pupuk organik. Bayangkan, betapa kebijakan
subsidi yang tepat sasaran memiliki potensi dampak yang besar dan luas. Jika
itu berlaku, ke depan Indonesia akan menuai harapan-harapan positif pada masa
depan.
Untuk
menyebut beberapa di antaranya yakni produksi pertanian melimpah, terjaganya
harga keutuhan pangan, kesejahteraan petani meningkat, hasil produksi semakin
sehat, peternakan berkembang sehat, peternakan berkembang pesat, ketahanan
dan kedaulatan pangan terjamin, dan pemerintah tidak lagi harus repot-repot
impor beras dan komoditas pangan penting lainnya.
Ketika
kesejahteraan petani terjamin, generasi muda di perdesaan juga diharapkan mau
berkecimpung dalam pertanian dengan membuka diri terhadap berbagai terobosan
yang menguntungkan secara ekonomi. Kondisi itu dimungkinkan mengingat ke
depan desa-desa di Indonesia juga akan panen para sarjana pertanian atau
kelompok muda terdidik lain.
Masyarakat
petani juga akan menjaga dengan sungguhsungguh setiap jengkal tanah
lestarinya karena diyakini menjadi sumber daya produktif dan prospektif kini
dan nanti. Jika semua kondisi itu terwujud, cita-cita pemerintah untuk
menjaga Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) juga bisa terwujud dengan
sendirinya.
Pada
akhirnya, kehadiran negara bisa dirasakan betul oleh petani sehingga secara
otomatis kecintaan mereka terhadap Indonesia juga meningkat kualitasnya,
yakni menjadi bagian dari NKRI yang menyejahterakan. Inilah revitalisasi
subsidi yang akan memberi harapan bagi kesejahteraan petani, mewujudkan
ketahanan dan kedaulatan pangan, dan insya Allah bermuara pada ketahanan nasional.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar