Tantangan
Ekonomi 2017
Berly Martawardaya ; Dosen FEB-UI, Ekonom INDEF;
Ketua PP Ikatan Sarjana Nahdlatul
Ulama (ISNU)
|
KORAN SINDO, 20 Januari
2017
Niels
Bohr, pemenang hadiah Nobel Fisika pada 1922, menyatakan bahwa melakukan
prediksi sangat sulit, khususnya prediksi tentang masa depan. Sekitar dua
tahun lalu (KORAN SINDO, 17/12/2014) penulis menyatakan bahwa ekonomi dua
tahun ke depan akan mengalami perlambatan.
Periode
2015-2016 adalah masa menanam dan menata ulang ekonomi untuk memanen
pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran pada periode 2017-2018. Tentu pertumbuhan
yang lebih tinggi dari 4,79% pada 2015 dan sekitar 5% pada 2016 akan lebih
baik, apalagi kalau bisa menembus 6,95% pada 2007 yang tertinggi sejak
krismon Asia 1998.
Setelah
krisis subprime mortgage 2009, pertumbuhan sempat mencapai 6,15% pada 2011
dan setelah itu terus alami perlambatan. Kenapa pertumbuhan ekonomi terus
menurun sejak 2011 dan bagaimana membalikkan tren tersebut? Jawaban utama
adalah melambatnya sektor manufaktur yang masih merupakan seperlima
perekonomian Indonesia dan menjadi motor perekonomian pada masa Orde Baru.
Apabila
sektor terbesar melambat, otomatis keseluruhan perekonomian akan turun
pertumbuhannya. Pada 2011 adalah tahun terakhir di mana pertumbuhan sektor
manufaktur lebih tinggi dari pertumbuhan nasional. Sektor manufaktur seperti
eskalator yang mampu menyerap penduduk berpendidikan rendah dan menyediakan
pekerjaan jangka panjang untuk mendorong mobilitas vertikal.
Melemahnya
sektor manufaktur ketika pendidikan sebagian masyarakat masih kurang memadai
untuk bekerja di sektor jasa bernilai tambah tinggi seperti perbankan dan
telekomunikasi, akan berakibat pada perlambatan pengentasan kemiskinan dan
peningkatan kesenjangan. Itulah yang terjadi sejak 2011.
Jokowi
lama menjalani profesi sebagai pengusaha dan eksportir mebel yang merupakan
bagian dari sektor manufaktur. Pengalamannya memimpin dan mendorong ekonomi
Kota Solo menambah kesadaran pentingnya sektor manufaktur pada perekonomian
nasional. Apa saja yang diperlukan untuk menggenjot pertumbuhan industri
Indonesia?
Selain
market yang besar dan berkembang, pengusaha juga akan memilih daerah yang
lebih mudah membangun pabrik, menjalankan dan menjual hasil produksinya.
Pemikiran ini membawa kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi untuk fokus
memperbaiki infrastruktur khususnya jalan dan listrik serta memperbaiki iklim
usaha dan memotong proses perizinan.
Dalam
ekonomi dan keuangan dikenal istilah J-curve, yaitu kurva yang menurun untuk
naik lagi. Perusahaan atau wilayah perekonomian sering mengikuti pola ini
karena pada awal perubahan diperlukan penyesuaian dan realokasi sumber daya
sebelum competitiveness bisa menguat lagi.
Dana
yang tadinya dialokasikan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan
mendorong konsumsi masyarakat digunakan untuk membangun infrastruktur. Pada
saat konstruksi infrastruktur menghasilkan multiplier effect positif pada
perekonomian, tapiprosesmenarik investasi baru dan pembangunan fasilitas
produksi membutuhkan waktu.
Transisi
dari berkurangnya konsumsi dan belum menguatnya industri dan ekspor turut
berperan dalam perlambatan ekonomi pada 2015- 2016. Apalagi, juga terjadi
perlambatan ekonomi global dan kebakaran hutan di Indonesia. Akankah 2017
menjadi periode untuk memanen pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran?
Tergantung
bagaimana pemerintah merespons lima tantangan besar. Tantangan pertama adalah
disiplin dan pengawasan dalam melakukan pembangunan infrastruktur dan
penguatan iklim investasi. Perbaikan belum tuntas dan masih banyak pekerjaan
yang bila tidak diawasi ketat dapat menimbulkan masalah.
Jalan
tol Trans-Jawa dari Merak sudah bisa langsung sampai Brebes pada 2016 dan
tahun ini ditargetkan selesai sampai Semarang untuk tersambung sampai
Banyuwangi pada 2019. Masih ada puluhan bandara, pelabuhan, serta ribuan
jembatan yang akan dibangun atau renovasi pada 2017. Apabila pemerintah,
khususnya Kementrian PU dan Perhubungan, tidak jeli dan ketat dalam menjaga
kualitas, daya dorong infrastruktur dan kredibilitas terhadap investor akan
menurun.
Sangat
penting bahwa pemerintah transparan dan secara periodik menyampaikan
perkembangan pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur secara
masif membutuhkan dana yang tidak sedikit sehingga membawa kita pada
tantangan kedua yaitu penerimaan negara khususnya pajak. Penerimaan pajak
pada 2015 yang di bawah target menurunkan kredibilitas kebijakan fiskal.
Masuknya
Sri Mulyani pada pertengahan 2016 sebagai menteri keuangan membawa disiplin
dan realisme yang ketat dengan dipotongnya belanja sebesar Rp133,8 triliun.
Kondisi fiskal 2017 tidak bisa lagi berharap terangkat oleh tax amnesty yang
pada tahap terakhir dan tidak akan menghasilkan dana tebusan sebesar tahap
sebelumnya pada 2016.
Adalah
tantangan bagi aparat pajak untuk membuktikan bahwa tax amnesty bukan hanya
menghasilkan dana pada 2016, tapi selanjutnya juga meningkatkan penerimaan
pajak dan tax ratio. Salah satu sumber pendapatan negara dan perusahaan
adalah harga global dan kondisi sektor migas yang menjadi tantangan ketiga.
Sudah beberapa tahun tidak banyak terjadi investasi baru pada sektor migas.
Pada
2016 bahkan terdapat 14 lelang ulang ladang migas karena pada lelang pertama
tidak mendapatkan peminat yang memadai. Sepakatnya OPEC untuk
memotongproduksidanmembaiknya ekonomi dunia berpotensi meningkatkan harga
migas dunia.
Tapi,
pada lain sisi, Kementerian ESDM mengubah sistem cost recovery di production
sharing contract (PSC) yang sudah dianut sejak 1961 menjadi grosssplit yang
walau di atas kertas memiliki beberapa keunggulan, tapi memerlukan waktu
implementasi dan penyesuaian bagi para kontraktor migas untuk mengalkulasi
dan simulasi.
Net
effect dari kenaikan harga migas dan pergantian sistem kontrak masih belum
bisa dipastikan dan perlu pengamatan beberapa bulan ke depan. Tantangan
keempat adalah proteksionisme negara maju. Melambatnya perekonomian di Eropa
dan Amerika serta terpilihnya Trump sebagai presiden Amerika memperkuat
semangat proteksionisme.
Apabila
banyak muncul kebijakan yang membatasi ekspor, akibatnya akan merugikan
negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada jangka pendek, ekspektasi
berkurangnya impor Amerika terhadap produk negara berkembang akan mendorong
kenaikan inflasi dan suku bunga di Amerika yang sebabkan keluarnya modal dan
investasi portofolio dari negara berkembang.
Pada
jangka menengah, pendapatan negara berkembang dari ekspor ke Amerika akan
berkurang sehingga dampak negatifnya akumulatif. Dua negara besar di Eropa,
Prancis dan Jerman, akan melakukan pemilihan umum pada 2017. Isu besar yang
dihadapi adalah populisme dan semangat menutup diri.
Apabila
calon dari kubu tersebut berhasil menjadi presiden Prancis dan kanselir
Jerman, dampak negatif bagi ekonomi negara berkembang akan makin besar.
Tantangan besar kelima bagi ekonomi Indonesia pada 2017 adalah kondisi ekonomi
China. Walau masih menembus 6,5%, pertumbuhan ekonomi di China terus melambat
dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Pada
2016 China sempat mengalami guncangan nilai saham serta nilai tukar yang
signifikan dan memiliki debt to GDP ratio sebesar 247%. Sebagai perekonomian
kedua terbesar dunia dan sasaran 11,5% ekspor Indonesia pada 2016,
perlambatan dan guncangan ekonomi di China akan terasa dampaknya bagi
Indonesia.
Tantangan
pertama dan kedua berada di dalam negeri dan bisa diatasi dengan kebijakan yang
tajam dan disiplin dalam implementasi. Namun, tiga tantangan berikutnya ada
di luar negeri sehingga pemerintah perlu mempersiapkan beberapa skenario
serta sigap dalam merespons sehingga 2017 dapat menjadi tahun pertumbuhan
ekonomi dan kemakmuran rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar