Negara
Vs Bandit Harga
Khudori ; Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang; Pegiat Asosiasi
Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
|
MEDIA INDONESIA,
04 Januari 2017
NEGARA
kembali tidak berdaya mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok. Itu tecermin
dari tidak terkendalinya harga bawang merah dan cabai. Seperti layang-layang
putus benang, harga kedua komoditas itu bergerak tanpa kendali, naik turun
bagai roller coaster. Tangan-tangan negara tak kuasa menjangkau. Hukum keseimbangan
permintaan (demand) dan
ketersediaan (supply) menjadi
usang. Hukum besi pasar itu tidak berlaku.
Kenyataan
itu membuat Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian Spudnik Sujono
terheran-heran (Media Indonesia, 29/12/2016). Spudnik membeberkan hasil
pengamatan di dua pasar, Pasar Induk Cibitung, Kabupaten Bekasi, dan Pasar
Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Di Pasar Cibitung, harga cabai pekan
pertama September Rp38.333 per kg dengan pasokan 664 ton. Di pekan kedua,
pasokan turun jadi 442 ton, tapi harga turun dan kembali turun di pekan
ketiga jadi Rp28.338 per kg dengan pasokan 530 ton. Pada Oktober-November
2016 harga terus naik dengan pasokan 570-635 ton. Di Pasar Induk Kramat Jati,
harga cabai pekan kedua September Rp33.475 per kg dengan pasokan 661 ton.
Harga turun jadi Rp22.429 pada pekan ketiga dengan pasokan yang naik jadi 686
ton. Setelah itu, harga cabai terus merambat naik setiap minggunya. Padahal,
pasokan stabil 585-707 ton. Pola serupa terjadi pada bawang merah. Dari sisi
pasokan, menurut data Kementerian Pertanian, persediaan cabai dan bawang
merah saat ini surplus. Spudnik mencurigai ada peran ‘tangan-tangan kedua’
yang mengatur harga.
Sistem
distribusi kebutuhan pokok di Indonesia belum efisien. Indikasinya terlihat
dari disparitas harga antarwilayah yang relatif tinggi dan fluktuasi harga
yang belum terkendali akibat ketidakseimbangan supplay and demand.
Keterkaitan antarwilayah yang masih lemah, terutama menyangkut arus barang,
kian memperumit masalah. Ditambah dengan belum meratanya infrastruktur
distribusi, baik sarana transportasi, jalan, pelabuhan, maupun infrastruktur
nonfisik, membuat distribusi berhadapan banyak kendala. Ujung semua ini,
sistem distribusi belum berjalan sesuai dengan harapan. Survei pola
distribusi perdagangan pangan pokok dan strategis di 34 provinsi dan 186
kabupaten/kota (BPS, 2015) mengafirmasi uraian di atas. Survei menemukan
distribusi perdagangan beras, cabai merah, bawang merah, jagung pipilan, dan
daging ayam ras dari produsen sampai ke konsumen akhir, melibatkan dua hingga
sembilan fungsi kelembagaan usaha perdagangan. Margin perdagangan dan
pengangkutan amat variatif, setiap komoditas berturut-turut beras sebesar
10,42%, cabai merah 25,33%, bawang merah 22,61%, jagung pipilan 31,90%, dan
daging ayam ras 11,63%.
Setiap
titik distribusi mengutip margin yang membuat harga akhir di konsumen
melambung. Pasar menjadi tidak terkendali karena ditopang rantai pasok dan
jalur rantai distribusi yang centang perenang. Implikasinya, pasar tidak bisa
berjalan sempurna karena ruang informasi dalam posisi asimetris (Stiglitz,
2005). Ditambah pasar yang oligopoli membuat negara kian tidak berdaya
mengendalikan harga aneka pangan.
Saat
struktur pasar tidak sempurna, harga bisa diciptakan, bahkan disulap, dengan
menciptakan 'kelangkaan seolah-olah'. Pasar seolah-olah langka, padahal
kelangkaan itu disulap pengendali pasar. Survei Susenas 2009–2013 (BPS, 2015)
menunjukkan bahan makanan pokok yang sering mengalami kenaikan harga seperti
beras, beras ketan, gula pasir, bawang merah maupun putih, daging sapi,
hingga cabai merah, ternyata memiliki pertumbuhan konsumsi negatif. Bagaimana
mungkin bahan makanan yang tingkat konsumsinya tumbuh negatif harganya terus
naik? Bukankah itu bagai sulapan!
Sama mengisap
Perilaku
tengkulak memainkan harga pada rantai distribusi demi meraih surplus dan
mengorbankan konsumen ialah perilaku kejahatan sistemis. Dalam kamus Mancur
Olson (2000), perilaku itu disebut bandit. Menurut Olson, model bandit ada
dua, yakni bandit menetap (stationary bandits) dan bandit berkeliaran (roving
bandits). Munculnya bandit berkeliaran acap kali diawali dengan melemahnya
model bandit menetap.
Bandit
menetap sengaja memberi hak keleluasaan warga untuk terus berusaha. Dengan
cara itu, ia akan terus dapat menarik pelbagai pungutan yang menjadi topangan
hidupnya. Setelah rezim otoritarian rontok, muncullah bandit berkeliaran.
Model bandit ini mengokupasi sebuah wilayah, mengeksploitasi habis wilayah,
lalu pergi. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menguras habis
kekayaan di tempat itu tanpa menyisakan apa pun (Wibowo, 2008). Meski
berbeda, sifat keduanya sama yaitu mengisap.
Daron
Acemoglu dari MIT dan James A Robinson dari Universitas Harvard dalam buku
mereka, Why Nations Fail; The Origin of Power, Prosperity and Poverty (2012),
berkesimpulan bahwa ketimpangan di negara miskin lebih disebabkan kebijakan
dan kelembagaan ekonominya yang bersifat ekstraktif, yang hanya menguntungkan
segelintir oligopolis. Kondisi diperparah kebijakan pemerintah yang tanpa
sadar ternyata telah memfasilitasi terjadinya penguasaan pasar melalui
kebijakan tata niaga yang salah.
Untuk
mengeliminasi tengkulak yang berlaku bandit dan mengisap surplus pasar, ada
empat hal yang harus dilakukan. Pertama, reformasi struktur pasar. Caranya,
mendorong munculnya pelaku-pelaku usaha baru di setiap komoditas strategis.
Reformasi struktur pasar tidak untuk mematikan pelaku usaha lama, tapi
mendorong munculnya pelaku usaha baru. Kedua, membenahi administrasi
pergudangan. Ketika informasi gudang dikuasai, gerak arus barang dari satu
titik ke titik lain mudah diestimasi, termasuk fluktuasi harga. Lebih dari
itu, administrasi yang baik dengan mudah mendeteksi aksi aji mumpung, baik
menimbun maupun menciptakan kelangkaan pasar semu pelaku kartel.
Ketiga,
meningkatkan produksi, produktivitas, dan efisiensi usaha tani dan tata niaga
komoditas pangan di hulu. Produksi pangan yang baik akan menekan dampak buruk
inefisiensi perdagangan. Perbaikan sistem informasi harga, informasi pasar,
dan teknologi baru akan mengurangi inefisiensi sistem perdagangan yang akut.
Keempat, memperkuat KPPU baik dalam kewenangan menemukan alat bukti,
memperluas definisi pelaku usaha sebagai subjek hukum KPPU, maupun
peningkatan denda administratif menjadi Rp500 miliar agar ada efek jera.
Amendemen UU No 5/1999 tak bisa ditawar. Empat langkah itu secara gradual
akan memperkuat posisi negara versus para bandit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar