Loncatan
Layanan Publik Bidang Hukum di 2017
Ninik Rahayu ; Anggota
Ombudsman Republik Indonesia (ORI)
|
KORAN SINDO, 04 Januari
2017
Memperhatikan
kinerja layanan publik bidang hukum sepanjang 2016, khususnya yang dilakukan
kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung, dan lembaga pemasyarakatan, tampaknya
masih bergerak di tempat.
Belum
cukup bukti ada upaya perubahan perbaikan oleh aparat maupun lembaga
penegakan hukum (law enforcement) jika dibandingkan dengan periode 2015.
Indikasi gerak di tempat dapat dilihat dari jenis maladministrasi yang
dilaporkan dan lembaga penegak hukum yang terbanyak dilaporkan. Respons yang
menonjol dari pemerintah terkait permasalahan ini justru membuat kebijakan
dan mekanisme kerja baru, bukan penegakan dari aturan dan mekanisme kerja
yang sesungguhnya masih tersedia.
Bersumber
dari pelaporan dan inisiatif investigasi yang dilakukan Ombusdman Republik
Indonesia (ORI) pada 2016, indikasi angka maladministrasi mengalami kenaikan
cukup tajam, sebanyak 40% (6.859 kasus) dari total pelaporan 10.153. Dan,
institusi kepolisian menjadi institusi terlapor tertinggi yaitu sebesar 1.612
laporan. Tingginya pelaporan terkait kinerja kepolisian meski dapat dipahami
karena memang institusi inilah garda terdepan penegakan hukum. Tetapi, jika
substansi yang dilaporkan tidak berubah setidaknya dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, artinya ada indikasi bahwa institusi kepolisian belum
sungguh-sungguhinginmelakukanperubahan kinerjanya, alias bergerak di tempat.
Sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 2/2002 tentang Kepolisian RI bahwa lembaga
ini memiliki kewenangan untuk menerima pengaduan, lidik, dan sidik
kasus-kasus pidana. Bentuk maladministrasi terbesar terkait kewenangan
tersebut antara lain penundaan berlarut, penyimpangan prosedur,
penyalahgunaan wewenang, dan permintaan imbalan uang dan barang. Kepolisian
resor adalah institusi yang terbanyak dilaporkan kinerjanya.
Dibandingkan
institusi MA yang juga lebih banyak diindikasikan melakukan maladministrasi
(392 kasus), pengaduan kinerja institusi kejaksaan lebih sedikit angkanya,
yaitu 106 kasus. Hal ini dapat dipahami karena para korban sedikit atau
bahkan hampir tidak pernah berhubungan langsung dengan institusi kejaksaan
dalam proses hukum. Pengadilan negeri yang paling banyak dilaporkan kinerja
layanan publiknya.
Bentuk
maladministrasi terbanyak yang dilaporkan terkait proses penundaan berlarut,
tidak kompeten. Selain itu, sebagaimana hasil investigasi ORI, bentuk
maladministrasi terkait pendaftaran perkara, keterlambatan jadwal sidang,
penyimpangan prosedur, dan praktik percaloan. Bentuk maladministrasi ini juga
hampir sama dengan pelaporan pada tahun sebelumnya, 2015. Berbeda dengan tiga
institusi sebelumnya, lembaga pemasyarakatan meski dari sisi jumlah angka
pengaduan kecil—ketika ORI membuka layanan pengaduan di lapas dalam satu hari
ada 100 pelaporan—bukan berarti tidak ada permasalahan di lembaga ini.
Bentuk
maladministrasi yang terbanyak dilaporkan terkait kepastian pemenuhan hak
warga binaan antara lain berupa pemenuhan hak remisi, pembebasan bersyarat,
ekstravonis, dan pelayanan lembaga pemasyarakatan. Persoalan lain misalnya
terkait permohonan pindah lapas, dugaan ada pungutan saat pengurusan
pembebasan bersyarat, dan pengajuan justice collaborator. Isu lain yang
menonjol pada 2016 hasil pengawasan ORI adalah tingginya indikasi
maladministrasi pada pelayanan publik penanganan kasuskasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak.
Pelayanan
terkait pengaduan kasus kekerasan dalam rumah tangga dan kasus kekerasan
seksual adalah dua kasus hukum, yang banyak tidak ditindaklanjuti
pelaporannya oleh institusi penegak hukum. Selain terkendala alat bukti dan
saksi, hambatan tempat pengaduan yang mudah diakses oleh korban masih menjadi
hambatan utama. Korban juga belum mendapatkan layanan khusus ketika
berhubungan dengan layanan kesehatan terkait visum maupun pemulihan medis dan
psikis korban. Kementerian Sosial yang menjadi garda terdepan untuk
memastikan korban mendapatkan layanan shelter juga belum dapat memenuhi.
Layanan ”Terbuka” Terpadu
Bidang Hukum
Tampaknya
prioritas pemerintah untuk mewujudkan peradilan terbuka melalui criminal
justice system belum juga direalisasikan. Akses keadilan bagi pelapor adalah
upaya pemenuhan hak asasi setiap orang ketika berhadapan dengan hukum. Hak
ini tidak hanya dijamin dalam Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi
Manusia, tetapi secara normatif adalah hak konstitusional warga negara yang
dijamin di dalam konstitusi, Pasal 28 UUD Tahun 1945.
Jaminan
pemenuhan tersebut setidaknya dapat diwujudkan dalam tiga aspek. Pertama,
memastikan landasan kebijakan yang secara substantif tidak bertentangan
dengan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Kedua, peran
aparat penegak hukum yang berkomitmen melakukan penegakan hukum dengan tetap
memegang prinsip-prinsip pemenuhan hak korban antara lain penghormatan dan
penegakan HAM, nondiskriminatif, dan memastikan seluruh tahapan proses hukum
dilakukan tanpa membedakan agama, suku, ras, dan jenis kelamin.
Ketiga,
sanksi hukum yang benar-benar ditegakkan, tanpa ada stratifikasi karena
jabatan sosial dan ekonomi pelapor (korban). Artinya, salah satunya butuh
melalui proses hukum dan peradilan yang terbuka. Dalam Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 (2) UU Nomor 14/1970, diperbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 35/1999, diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 4/2004, dan terakhir
diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 48/2009 yang mengatur kekuasaan
kehakiman, belum mampu menciptakan peradilan terpadu (criminal justice
system).
Peradilan
terpadu atau dikenal dengan istilah criminal justice system selama ini hanya
dimaknai sebagai kewajiban dalam lingkup peradilan atau kekuasaan kehakiman
dalam arti sempit sebagaimana yang dikatakan Prof Subarda. Kekuasaan
kehakiman dalam arti sempit hanya menekankan pada kekuasaan kehakiman sebagai
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. Artinya,
kekuasaan kehakiman diidentikkan dengan peradilan atau kekuasaan mengadili,
tetapi belum pada melaksanakan kekuasaan menegakkan hukum dan keadilan dalam
badan-badan peradilan.
Seharusnya
menegakkan hukum dan keadilan tidak hanya di lingkup pengadilan, tetapi juga
di semua lini lembaga penegak hukum. Hal ini karena proses pengadilan justru
di ujung akhir penentuan status seseorang dinyatakan sebagai korban atau
pelaku kejahatan. Mestinya kekuasaan negara dalam menegakkan hukum dan
keadilan demi cita-cita hukum berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
negara hukum Republik Indonesia dimaknai lebih luas. Yaitu, dengan membuat sistem
peradilan dalam makna lebih luas, tidak hanya badan pengadilan, tetapi sejak
proses di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan
dengan melibatkan penasihat hukum dan pendamping korban.
Diperlukan
penegakan proses hukum terpadu ini tidak hanya mempercepat proses
penyelesaian, tetapi untuk memastikan bahwa hak-hak pelapor (korban) yang
dijamin oleh hukum tidak dilanggar. Jika selama ini pelapor (korban) sebagai
subjek hukum dalam kasus pidana minim sekali didengar dan dimintai pendapatnya,
dengan keterpaduan sistem, penegak hukum secara sinergi dapat mengoptimalkan
keterangan pelapor (korban).
Bila
pelapor (korban) secara mandiri belum mampu memberikan kesaksian, peran
pendamping dan/atau penasihat hukum akan sangat membantu. Siapa saja penegah
hukum yang terlibat dalam sistem layanan terpadu. Adakah pihak lain yang juga
harus terlibat di dalamnya, lalu apa saja yang harus dipadukan, bagaimana
cara memadukan. Dasar hukum apa yang mendasari bahwa dalam rangka mendekatkan
akses keadilan bagi pelapor (korban) harus ada keterpaduan peran, dan sampai
saat ini keterpaduan sistem itu belum maksimal bekerja.
Maka
itu, melakukan lompatan bidang hukum denganmengupayakanpenegakan hukum sistem
terbuka terpadu (criminal justice system) dalam penanganan kasus-kasus
pidana, terutama kasuskasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, harus
terus diuji coba, dilakukanBpembenahan bentuk dukungannya, sehingga dapat
dirumuskan dasar implementasi kebijakannya secara utuh.
Pengaturan Peradilan
”Terbuka” Terpadu
Hakikat
pengadilan ”terbuka” terpadu adalah agar para pencari keadilan dapat
mendapatkan dengan mudah, cepat, dan biaya ringan. Terwujudnya cita hukum
nasional yang demikian salah satunya mensyaratkan proses penegakan hukum yang
adil bagi pencari keadilan. Maka itu, prinsipprinsip beracara dalam hukum
pidana salah satunya asas peradilan terbuka untuk umum.
Ketentuan
formal diatur dalam Pasal 153 ayat 3 dan 4 KUHAP yang pada prinsipnya
menjelaskan bahwa pemeriksaan di depan persidangan pengadilan untuk keperluan
pemeriksaan, hakim ketua membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum,
kecuali dalam perkara mengadili kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Maka
itu, proses menuju peradilan ”terbuka” terpadu jika hanya mengandalkan proses
pemeriksaan ”terbuka” terpadu di sidang pengadilan, tentu masih jauh dari
akses keadilan bagi pihakpihak yang berhadapan dengan hukum, terutama saksi
dan pelapor (korban).
Jika
saksi korban tidak pernah didengar secara utuh oleh penegak hukum sejak
pemeriksaan di lidik, sidik, penuntutan, dan persidangan dengan pendamping
dengan pemberdayaan hukum yang cukup, sangat mungkin suara saksi dan korban
dalam dokumen penuntutan sampai persidangan juga tidak secara optimal
menggambarkan fakta dan kebenaran peristiwanya. Sudah saatnya pemerintah
melakukan lompatan implementasi pelayanan terbuka terpadu bidang hukum.
Muladi
mengatakan bahwa korban (victims ) adalah orangorang yang baik secara
individual maupun kolektif telah menderita kerugian termasuk kerugian fisik
atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap
hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar
hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
Korban
tidak langsung (indirect victim) yang turut menjadi korban adalah orangorang
atau entitas yang mengalami kerugian akibat kejahatan atau tindak kriminal
yang dilakukan misalnya akibat pencemaran lingkungan atau pembakaran, bukan
hanya individu yang terkena sasaran langsung, tetapi juga kerugian juga akan
dialami oleh masyarakat di lingkungan korban tinggal.
Dalam
konteks kasus kekerasan dalam rumah tangga, bukan hanya perempuan korban yang
menjadi korban, melainkan juga anak-anak, keluarga kecil, bahkan komunitas
korban ikut terluka dengan peristiwa tersebut. Dengan demikian, indirect
victims dapat timbul karena keterlibatan pihak-pihak yang ikut mendukung
secara langsung dan tidak langsung dalam penyembuhan korban. Jika ini dapat
diwujudkan, citacita Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana yang
diamanatkan dalam Pasal 1 (3) yang dimandatkan dalam amendemen ketiga UUD
1945 akan dapat terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar