Membangun
Pendidikan Berintegritas
Marthunis ; Kandidat
Master of Education di Tempere University, Finlandia
|
MEDIA INDONESIA,
02 Januari 2017
SALAH
satu peristiwa yang cukup mencuri perhatian publik beberapa waktu lalu ialah
dibebaskannya Antasari Azhar, sang mantan Ketua KPK. Tuduhan pembunuhan yang
dialamatkan kepadanya mengharuskannya mendekam di balik jeruji besi selama
tujuh tahun lebih. Banyak pihak menengarai kasusnya ialah kriminalisasi
karena hingga saat ia dibebaskan, tuduhan tersebut masih belum terbukti.
Terlepas dari kontroversi mengenai kasusnya, di mata banyak orang Antasari
tetap dianggap sebagai figur yang memiliki integritas tinggi dalam
mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan negara. Sosok jujur, teguh, serta
berkukuh di atas prinsip kebenaran meskipun harus mempertaruhkan hidupnya.
Berbicara
tentang integritas, Clive Staples Lewis, novelis berkebangsaan Inggris yang
populer dengan salah satu karya fiksinya The Chronicles of Narnia pernah
berujar, “Integrity is doing the right thing even when no one is watching.”
Ya, melakukan hal yang benar di hadapan banyak orang ialah sesuatu yang
mainstream, tetapi melakukan sesuatu yang baik dan benar tanpa disorot banyak
mata ialah barang langka yang sulit ditemukan dalam konteks sosial masyarakat
kita.
Hal
serupa juga menjangkiti pendidikan Indonesia. Proses pendidikan yang
sejatinya diharapkan mampu menjadi pilar dasar dalam membentuk watak jujur
penuh integritas ternyata begitu rapuh dan mudah dirobohkan untuk kepentingan
sesaat. Proses pendidikan kita yang selama ini hanya menitikberatkan pada
hasil tanpa memberikan ruang apresiasi terhadap proses telah berhasil membuat
para pelaku pendidikan menggadaikan integritas mereka karena yang terlintas
dalam benak mereka ialah menghalalkan segala cara demi mendapatkan hasil yang
ditargetkan.
Rasanya
tidak berlebihan jika saya mengatakan pendidikan kita sedang mengalami krisis
integritas. Potret ini tercuplik dari data yang dikeluarkan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Indonesia yang merilis hanya 503
sekolah jenjang SMP dan SMA dari seluruh Indonesia yang terindeks pada
kategori memiliki integritas tinggi dalam pelaksanaan UN 2016. Padahal,
jumlah ini hanyalah 1% dari total jumlah SMP dan SMA (47.897) yang tersebar
di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Dengan kata lain, mayoritas lembaga
pendidikan di negeri ini miskin integritas. Dengan demikian, tidak
mengherankan jika produk yang dihasilkan pendidikan kita hari ini ialah
generasi politisi korup dan akademisi yang senang akan plagiarisme.
Bahkan,
menurut guru besar ilmu politik dari Northwestern University, Chicago,
Amerika Serikat, Jeffrey A Winters, yang juga Ketua Dewan Pengawas Indonesian
Scholarship and Research Support Foundation (ISRSF), sebuah lembaga yang
mewadahi mahasiswa Indonesia dalam melanjutkan studi doktoral di Amerika
Serikat, mayoritas mahasiswa calon penerima beasiswa dari Indonesia cenderung
terindikasi plagiat dalam menulis esai mereka. Kalaupun kita tidak merasa
malu dengan paradigma ini, setidaknya fakta ini dapat menyadarkan kita bahwa
kualitas jebolan pendidikan negeri ini lack
of integrity.
Jika
full day school (FDS) yang diwacanakan Mendikbud Muhadjir Effendy beberapa
waktu silam dianggap sebagai proyeksi pendidikan karakter bagi siswa-siswi Indonesia,
tahapan evaluasinya tetap mengandalkan result oriented. Karena itu, sama saja
keluarannya ialah generasi yang mewarisi karakteristik gemar berkompetisi
untuk meraih nilai tertinggi meskipun dengan cara yang tidak semestinya.
Akhirnya, pendidikan karakter hanya menjadi jargon komersial belaka, tanpa
benar-benar menyentuh substansi dari karakter itu sendiri, yaitu integritas.
Karena
itu, indeks penilaian integritas yang digagas mantan Mendikbud Anies Baswedan
merupakan angin segar bagi pendidikan Indonesia. Setelah puluhan tahun
dimensi proses dalam pendidikan kita kurang mendapatkan ruang apresiasi, kini
ia menemukan habitatnya. Meminjam jargon Pak Jokowi, ‘Revolusi Mental’, setidaknya
gagasan ini mampu merevolusi mental serta pikiran para pelaku pendidikan
bahwa untuk dihargai dan diapresiasi tidaklah harus mengandalkan nilai
tinggi, tetapi cukup melewati proses dengan benar, jujur serta bermartabat.
Hal
ini pula yang semestinya menjadi perhatian Pak Muhadjir saat ini. Selain
melanjutkan program penilaian integritas yang telah digagas pendahulunya,
demi memanifestasikan salah satu Nawa Cita Presiden terkait pendidikan,
melakukan revolusi karakter bangsa, seyogianya eranya Pak Muhadjir fokus
melahirkan program-program evaluasi pendidikan yang bertumpu pada proses.
Kalaupun gagasan penghapusan UN dijegal pemerintah, sejatinya ia tidak akan
menjadi masalah jika saja juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk
teknis) implementasinya berorientasi pada proses.
Hal
itu bertujuan agar masyarakat kita semakin mampu mengapresiasi proses tanpa
perlu merasa takut terhadap hasil yang akan diperoleh. Tentu, fase itu
menjadi sebuah harapan baru terhadap lahirnya generasi-generasi berintegritas
di masa yang akan datang. Generasi aparatur hukum yang tidak mudah dibeli,
politisi yang bebas korupsi, akademisi cerdas dengan karya orisinal, serta
penguasa yang tidak mudah diajak kompromi untuk melakukan praktik kejahatan.
Praktik membangun
integritas di Sukma Bangsa
Sebagai
salah satu guru yang telah hampir lima tahun mengajar di Sekolah Sukma
Bangsa (SSB) Pidie, salah satu dari tiga Sekolah Sukma Bangsa di Aceh, saya
mendapati jauh sebelum mantan Mendikbud Anies Baswedan mencanangkan indeks
penilaian integritas, sekolah ini telah lebih dulu mengimplementasikan
praktiknya.
No
Cheating di SSB Pidie bukan hanya slogan dan jargon, melainkan nilai jujur
yang berusaha diinternalisasikan untuk membentuk siswa berintegritas. Bukan
hanya ketika ujian nasional (UN) berlangsung, pengawasan ketat terhadap
perilaku menyontek digelar. Namun, pembelajaran sehari-hari pun mewajibkan
setiap guru untuk tidak permisif terhadap segala macam bentuk kecurangan yang
dilakukan siswa. Bahkan, kesediaan para orangtua siswa dalam menandatangani
kontrak integritas untuk berperilaku jujur tanpa menyontek selama proses
pembelajaran berikut dengan konsekuensi yang akan diterima apabila
melanggarnya, telah menjadi syarat utama dalam penerimaan calon siswa baru
tiap tahunnya.
Proses
memperjuangkan integritas memang tidaklah mudah, bahkan sering kali
berbenturan dengan banyak pihak, sebagaimana pengalaman mengeluarkan 11 siswa
yang terindikasi menyontek pada pelaksanaan UN 2012 silam yang bukan hanya
mendapati pertentangan dari orangtua siswa terkait, bahkan pemangku otoritas
di dinas pendidikan kala itu juga menuding keputusan SSB Pidie keliru.
Karena
itu, menghadirkan lembaga pendidikan alternatif yang memperjuangkan
pembentukan integritas peserta didiknya di negeri yang dilanda krisis
integritas ini bukanlah perkara mudah, kalaupun tidak ingin dikatakan
mustahil. Setidaknya, SSB Pidie sebagai salah satu di antara banyak sekolah
lainnya di luar sana yang mengimplementasikan hal yang sama akan selalu
berada di garda depan dalam membangun generasi jujur berintegritas.
Kalaupun
pada prosesnya terasa hambar karena tak kunjung mendapat apresiasi dari apa
yang telah dipraktikkan selama 10 tahun lebih, tapi biarlah ia tetap berada
di jalan sunyi. Karena sejatinya sebuah integritas ialah melakukan sesuatu
dengan benar meski tidak ada yang memuji. “Real
integrity is doing the right thing, knowing that nobody’s going to know
whether you did it or not”, Oprah Winsfrey. Selamat tahun baru! semoga
pendidikan kita memiliki resolusi yang lebih konkret untuk membangun
integritas dalam mengawali tahun ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar