Kuncup
Pembangunan Yang Tak Kunjung Mekar
Candra Fajri Ananda ; Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Brawijaya
|
KORAN SINDO, 16 Januari
2017
Rakyat
Indonesia mendapat kado pahit pesta Tahun Baru lalu berupa kenaikan harga
yang mulai menyentuh beberapa komponen penting.
Kenaikan
paling hot tentu terkait dengan inflasi kelompok harga bergejolak (volatile food) untuk kebutuhan pangan,
dengan lakon utamanya diperankan oleh harga cabai yang kian hari bertambah
“pedas”. Derita rakyat Indonesia berpotensi terus meningkat seiring dengan
keputusan pemerintah untuk menaikkan harga beberapa komoditas yang nilainya
diatur pemerintah (administered prices), seperti tarif listrik (TDL) hingga
komponen administrasi kendaraan bermotor.
Situasi
terkini menjadi sangat dinantikan mengenai bagaimana dampak kebijakan
terhadap daya beli masyarakat. Sebagai bahan pembanding, kita bisa gunakan
catatan inflasi pada Desember 2016 sebagai media kontemplasi. Badan Pusat
Statistik (BPS, 2017) melansir tingkat inflasi pada Desember lalu secara
agregat mencapai 0,42% (month to month).
Komponen
administered prices memiliki andil paling tinggi sebesar 0,19%, atau
berdampak 45,24% terhadap agregat inflasi. Situasi yang akan terjadi di
depan, berpotensi lagi-lagi muncul dari kelompok administered prices. Namun,
situasinya bisa dikatakan berbeda karena inflasi pada Desember lalu lebih
didorong oleh kenaikan permintaan akibat momentum Natal danTahun Baru,
sedangkan yang sekarang lebih menjurus pada kenaikan harga komoditas.
Hal
yang perlu diwaspadai ialah dampak kenaikan tarif listrik, karena bisa
menaikkan biaya produksibagi para pelakuusaha. Kalau kita memahami bagaimana
dampak keterkaitan yang kuat di antara indicator-indikator makroekonomi,
sudah sepatutnya kita semakin khawatir dengan penurunan produktivitas dan
daya beli masyarakat. Apalagi jika sumber gangguannya berasal dari kegugupan
pemerintah dalam mengendalikan situasi pasar. Akibatnya bisa sangat fatal dan
merembet pada stabilitas politik di dalam negeri.
Kerangka yang Tak Utuh
Kita
harus mengakui, pemerintah memiliki pekerjaan rumah sangat berat untuk segera
dibenahi. Sedikitnya ada tiga unsur pembangunan yang muaranya sangat kuat
untuk mencapai pertumbuhan berkualitas, yakni persoalan lapangan pekerjaan,
daya saing daerah dan nasional, serta kesenjangan kesejahteraan. Ketiga unsur
tersebut bisa berdampak secara parsial maupun interaksional terhadap
kutub-kutub pembangunan lainnya.
Jika
ketiganya mampu digerakkan secara simultan, upaya untuk mewujudkan Indonesia
sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan menjadi negara
berpendapatan menengah-atas bukan lagi sekadar isapan jempol belaka. Namun
sebaliknya, jika pertumbuhan ekonomi tetap melaju tinggi meskipun ketiga
unsur sedang tidak berdaya, kita perlu khawatir jangan-jangan ada kesalahan
sistemik yang sewaktu-waktu dapat menjurus pada situasi yang cenderung
“kurang sehat”.
Persoalan
lapangan pekerjaan menjadi salah satu hulu yang teramat penting untuk
menyelesaikan masalah kemakmuran, karena di dalamnya menyiratkan kehadiran
komponen pendapatan yang kemudian berpengaruh pada daya beli dan tingkat
konsumsi masyarakat. Ketika lapangan pekerjaan mampu mengakomodasi berapa pun
jumlah tenaga kerja yang tersedia serta menyediakan tingkat upah yang layak,
sedikitnya pemerintah sudah terbantu mengentaskan persoalan pengangguran,
kemiskinan, dan kesenjangan.
Belum
lagi dengan ekspektasi pertumbuhan ekonomi kita yang sebagian besar
bertonggak pada konsumsi rumah tangga. Namun, persepsi ini tentu masih dalam
anganangan normatif. Pada posisi empiris, kita justru tengah menghadapi
guncangan hebat akibat dua isu ketenagakerjaan yang sedang pelik, yakni
terkait ketersediaan lapangan pekerjaan yang semakin terbatas, dan dilengkapi
dengan terungkapnya gempuran tenaga kerja asing (TKA) yang bekerja secara
ilegal.
Terkait
dengan melubernya TKA, memang sudah menjadi konsekuensi logis dari komitmen
pasar global yang disusun secara terintegrasi. Namun, prosesnya jangan sampai
menyimpang dengan cara-cara yang unfair. Hadirnya TKA ilegal seharusnya
menjadi pukulan telak bagi pemerintah yang terbilang kecolongan dalam
pengawasan imigrasi.
Janji
lain Presiden Joko Widodo untuk menyediakan 10 juta lapangan pekerjaan baru
perlu terus ditagih agar segera direalisasikan. Karena kalau tidak, peluang demographic dividend (bonus demografi)
tahun 2020-2040 bisa berubah haluan menjadi ancaman demographic disaster
(bencana demografi). Situasi ketenagakerjaan boleh kita sebut sedang dalam
posisi runyam jika kita sangkut-pautkan antara satu komponen dan perkembangan
isu-isu lainnya.
Dikutip
dari data BPS (2016), untuk saat ini struktur tenaga kerja didominasi pekerja
dengan tingkat pendidikan rendah yang kontribusinya mencapai 60,24%. Sisanya
disuplai dari tenaga kerja dengan pendidikan menengah sebesar 27,52% dan
pendidikan tinggi 12,24%. Komposisi yang relatif timpang inilah yang kemudian
dianggap ikut mendorong dominasi jumlah pekerja di sektor informal. Nilai
akumulasinya mencapai 57,60% berbanding dengan 42,40% yang bekerja di sektor
formal.
Kelemahan
dominasi sektor informal sendiri membuat kita sulit mengharapkan impact yang
lebih besar karena mereka dianggap relatif sulit “dikendalikan”. Selain itu,
pekerja dengan tingkat pendidikan yang rendah juga dianggap menyulitkan
pemerintah untuk memenuhi pasar tenaga kerja yang disyaratkan sektor
industri. Bahkan, tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang lebih baik pun
tidak kalah sulitnya untuk diserap pasar tenaga kerja.
Struktur
tertinggi untuk indikator pengangguran terbuka masih didominasi alumni SMK
dan SMA yang masingmasing memiliki andil 11,11% dan 8,73%. Sementara lulusan
diploma dan universitas (atau yang setara) memiliki andil 6,04% dan 4,87%
terhadap agregat pengangguran terbuka. Situasi ini jelas mengindikasikan
adanya miss-match yang kuat antara sistem pendidikan dengan dunia kerja.
Pemerintah
harus berani melakukan evaluasi besar-besaran agar perkembangannya tidak
semakin keluar jalur. Upaya yang paling logis, pemerintah perlu
memprioritaskan layanan sertifikasi pendidikan berbasis keterampilan untuk
mengimbangi perkembangan pasar tenaga kerja global. Bahkan kalau perlu,
sekolah- sekolah dan perguruan tinggi (terutama yang berbasis vokasi) yang
layanannya cenderung “mengabaikan” perkembangan dunia kerja harus segera
ditertibkan.
Pemerintah
memang harus berani melakukan tindakan preventif (secara elegan), agar tenaga
kerja lokal mulai buruh kasar hingga para tenaga ahli kita mampu bersaing
mengisi pos-pos pekerjaan potensial. Upaya pemerintah memang sedang diarahkan
untuk memperbaiki daya saing melalui pembangunan besaran-besaran pada
investasi infrastruktur serta berbagai jenis deregulasi dan debirokratisasi.
Namun,
strategi yang ada dirasa belum cukup komprehensif karena pemerintah terkesan
melupakan aspek-aspek penting lainnya yang juga terkait dengan daya saing. Sebut
saja komponen-komponen penting yang terkait dengan kemunduran sektor
industri, seperti produktivitas tenaga kerja. Pemerintah dalam kebijakannya
dinilai terlalu “memanjakan” kaum buruh dengan penetapan biaya upah yang
terus meningkat, namun terkesan “menghilang” di saat pembahasan produktivitas
tenaga kerja.
Sebagai
perbandingan, menurut Asian Productivity Organization (APO, 2014)
produktivitas tenaga kerja kita menghasilkan sekitar USD23.000 terhadap PDB,
namun masih kalah dibandingkan dengan Thailand (USD24.900), Malaysia
(USD54.900), dan Singapura (USD125.400) yang memiliki produktivitas tertinggi
di dunia. Selain soal produktivitas, pemerintah juga dinilai alpa untuk
membentuk jejaring rantai nilai usaha serta mengembangkan bidang-bidang
substitusi yang dapat mengebiri industri kita terhadap ketergantungan impor,
terutama untuk kebutuhan bahan baku dan barang modal.
Terakhir,
menyinggung soal pembangunan inklusif untuk mengurangi ketimpangan
kesejahteraan masyarakat. Perbaikan akses pada layanan dasar, pendidikan,
kesehatan, serta pembiayaan, merupakan kunci penting untuk mendorong
pencapaian pembangunan yang inklusif. Konsekuensinya, proporsi pembiayaan
untuk merealisasi perbaikan akses pembangunan perlu terus ditingkatkan dengan
memperhatikan tingkat ketertinggalan daerah terhadap rata-rata layanan secara
nasional.
Dalam
pandangan penulis, perjalanan pembangunan yang kita jalankan sampai saat ini,
lebih berat pada pembangunan fisik, seperti infrastruktur, kantor layanan
birokrasi, sekolah dan rumah sakit, di mana itu semua tidak cukup untuk
meraih pembangunan yang berkualitas.
Kita
masih membutuhkan “roh” pembangunan yang kuat dan yang diwujudkan dalam
kualitas SDM sebagai kunci pembangunan. Manusialah sebagai pusat, pelaku
serta objek dari pembangunan itu sendiri. Untuk itu, pembangunan
infrastruktur tetap kita dorong, dengan meletakkan pembangunan SDM pada pusat
dan inti gerakan pembangunan itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar