Anggaran
dan Berbagai Masalah Riset Kita
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan, Penulis; Kini menjadi seorang profesional di
perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS, 16 Januari
2017
Sejak
akhir tahun lalu terdengar keluhan soal turunnya anggaran riset. Anggaran
indikatif Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) turun dari Rp 1,1783
triliun untuk alokasi 2016 menjadi Rp 1,1662 triliun rupiah untuk tahun 2017.
Anggaran
yang sama untuk Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) turun dari Rp
977,1 miliar menjadi Rp 949,1 miliar. Baru-baru ini juga diberitakan bahwa
anggaran penelitian dan pengabdian masyarakat di perguruan tinggi juga
dipotong dari Rp 250 miliar menjadi Rp 150 miliar.
Sepertinya
ini bagian dari program pemotongan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah di
seluruh sektor. Tegasnya, pemerintah sedang kekurangan uang.
Secara
umum anggaran riset kita memang masih sangat rendah. Nilai anggaran hanya
berkisar di angka US$ 2 miliar per tahun, dan hanya sebesar 0,08% dari Gross
Domestic Product (GDP). Bandingkan dengan Malaysia dan Singapura yang
menganggarkan sekitar US$ 7 miliar, dengan persentase terhadap GDP sebesar
1,3% untuk Malaysia dan 7% untuk Singapura.
Kekurangan
anggaran adalah masalah yang paling banyak dikeluhkan oleh para peneliti.
Keluhan itu sah adanya, karena faktanya memang sedikit. Karena itu, jangan
salahkan kami kalau produktivitas riset kami rendah, kata para peneliti. Nah,
bagian ini perlu kita lihat dengan kritis.
Iran
itu hanya menganggarkan US$ 0,7 miliar per tahun untuk riset, atau sekitar
1,2% dari GDP. Bila dihitung dengan anggaran riset per kapita nilainya adalah
US$ 9,08 . Sedangkan Indonesia nilai riset per kapita adalah US$ 8,09. Nilainya
tak terpaut jauh. Tapi coba lihat produktivitasnya. Selama setahun (2014)
para peneliti Iran menghasilkan 43 ribu dokumen publikasi ilmiah. Sedangkan
para peneliti Indonesia hanya menghasilkan 6 ribu publikasi.
Di
luar masalah minimnya dana, masalah mentalitas dan kreativitas peneliti
adalah masalah terbesar pada dunia riset kita. Keluhan soal minimnya dana
adalah bagian dari masalah itu. Banyak guru besar yang terancam dipotong
tunjangannya, karena tidak melakukan kegiatan penelitian. Guru besar tidak
meneliti itu ibarat pemain sepak bola tidak main bola. Suatu hal yang tidak
masuk akal sebenarnya. Tapi hal yang tidak masuk akal itu terjadi di
Indonesia.
Artinya,
banyak peneliti yang menjadikan masalah anggaran sebagai dalih saja.
Sementara itu ada peneliti lain yang tetap produktif menghasilkan karya
ilmiah, meski dana minim.
Kalau
Iran dengan nominal anggaran per tahun di bawah Indonesia (persentase GDP dan
nilai anggaran per kapita hampir sama) bisa menghasilkan publikasi ilmiah 7
kali lebih banyak dari Indonesia, sebenarnya apa masalah kita? Sederhananya,
banyak peneliti melakukan penelitian abal-abal. Banyak peneliti mengajukan
proposal riset, kemudian mendapat dana, bukan untuk menghasilkan karya
ilmiah, melainkan sekedar untuk menambah penghasilan.
Masalah
lain adalah soal prioritas. Dua tahun yang lalu atasan saya meminta saya
untuk mencari informasi soal prioritas riset yang dicanangkan pemerintah
Indonesia. Saya dapatkan dokumennya dari Kementerian Riset dan Teknologi.
Setelah membaca dokumen itu, atasan saya berkomentar pendek, "Tidak ada
prioritas, semua mau dikerjakan." Beberapa tahun sebelumnya seorang
teknopreneur di bidang desain kapal laut juga mengeluhkan hal yang sama. Ia
menemukan informasi bahwa Kementerian Perindustrian menetapkan 14 prioritas
pengembangan industri. Prioritas kok ada 14!
Masalah
lain adalah soal pembagian peran. Ketika baru menjabat sebagai Menristek
Dikti, M Nasir menyatakan akan melakukan hilirisasi riset. Riset akan
difokuskan pada tema-tema yang bisa menghasilkan produk komersial. Sepertinya
dia tak paham bahwa rumus umum di dunia riset adalah bahwa lembaga riset
pemerintah bertugas melakukan riset-riset dasar, membangun platform
teknologi. Sedangkan riset yang bersifat pengembangan produk lebih merupakan
tugas perusahaan swasta.
Berita
gembiranya adalah kinerja riset kita mengalami peningkatan. Jumlah publikasi
ilmiah kita di tahun 2010 hanya sekitar 2.300, setiap tahun meningkat, dan
kini mencapai lebih dari 6 ribu publikasi per tahun. Kuncinya adalah bagaimana
para peneliti kita berhenti mengeluh, dan menggunakan energi mereka untuk
meningkatkan kreativitas dan produktivitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar