Catatan
Akhir Tahun Pertanian
Dwi Andreas Santosa ; Guru
Besar Fakultas Pertanian IPB;
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih
dan Teknologi Tani Indonesia/AB2TI, dan Center of Reform on Economics (CORE)
Indonesia
|
KOMPAS, 31 Desember
2016
Sekalipun
kerja keras sudah dilakukan oleh Kementerian Pertanian dan jajarannya,
pertumbuhan sektor pertanian tampaknya masih belum menggembirakan. Bank
Indonesia dalam laporan November 2016 menyatakan pertumbuhan sektor
pertanian, kehutanan, dan perikanan terus mengalami pelambatan.
Pada
2014 pertumbuhan sektor tersebut masih 4,24 persen dan menurun menjadi 4,02
persen di 2015. Pada 2016 terjadi pelambatan pertumbuhan yang tajam di
seluruh triwulan (I hingga III) jika dibandingkan 2015 (y-on-y). Pada triwulan
I pertumbuhan menurun dari 4,01 menjadi 1,77 persen, triwulan II dari 6,86
menjadi 3,35 persen, dan triwulan III dari 3,34 menjadi 2,81 persen. Sektor
pertanian mengalami pelambatan laju pertumbuhan selama dua tahun terakhir
ini.
Ekspor
komoditas pertanian pada Januari hingga Oktober 2016 menurun cukup tajam dari
3,1 miliar dollar AS di 2015 menjadi 2,7 miliar dollar AS atau penurunan
sebesar 13,8 persen. Adapun ekspor lemak dan minyak hewan/nabati yang
didominasi produk kelapa sawit juga menurun dari 15,6 miliar dollar AS
menjadi 13,9 miliar dollar AS atau 11,1 persen (BPS, November 2016). Nilai
ekspor kelapa sawit, karet, dan teh terus menurun dari tahun 2014 hingga saat
ini. Sementara ekspor kopi, kakao, dan lada meningkat di tahun 2015
dibandingkan 2014 dan kemudian menurun tajam di tahun 2016.
Sebaliknya
impor komoditas pertanian masih sulit untuk ditekan. Total impor biji-bijian
(serelia), di antaranya gandum, jagung, dan beras, pada periode
Januari-Oktober 2016 justru meningkat dari 2,48 miliar dollar AS di 2015
menjadi 2,75 miliar dollar AS atau meningkat 10,75 persen. Khusus untuk impor
beras terus terjadi peningkatan tiga tahun terakhir, dari 472.000 ton di 2013
menjadi 844.000 ton (2014), 862.000 ton (2015), dan 1.163 ton (hingga Oktober
2016) (BPS, November 2016). Impor kelompok sayuran juga meningkat dari 466
juta dollar AS menjadi 567 juta dollar AS atau meningkat sebesar 21,69
persen. Sementara impor biji-bijian berminyak, terutama kedelai, sedikit
menurun dari 1,08 miliar dollar AS menjadi 1,02 miliar dollar AS.
Harga pangan dan
kesejahteraan petani
Harga
beras pada 2016 relatif stabil dengan fluktuasi rendah yang menunjukkan
produksi dan stok yang memadai di tahun ini. Perbedaan harga terendah dan
tertinggi untuk beras medium rata-rata nasional hanya Rp 355 per kilogram
dibandingkan Rp 1.027 per kilogram di 2015. Rata-rata harga beras medium
nasional naik 5,4 persen dari Rp 10.153 di 2015 menjadi Rp 10.705 di 2016,
jauh lebih rendah dibandingkan kenaikan di 2015 sebesar 13,5 persen (Kemendag,
2015-2016).
Produk
dengan persentase impor sangat tinggi yaitu gandum dan kedelai, harganya di
pasar domestik menurun karena turunnya harga kedua komoditas ini di pasar
dunia. Untuk jagung dan gula yang persentase impornya juga cukup tinggi
harganya di 2016 ini meningkat justru ketika harga di pasar internasional
menurun. Hal ini tak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang membatasi
impor jagung dan kesalahan prediksi produksi gula nasional sehingga impor
terlambat dilakukan. Harga bawang merah juga meningkat tajam di tahun ini
karena kebijakan pembatasan impor. Harga daging sapi masih sangat tinggi
mendekati Rp 115.000 per kilogram, tetapi fluktuasi dan kenaikan harganya
relatif rendah dibandingkan tahun 2015. Sumber protein lain, yaitu daging dan
telur ayam ras, mengikuti pola fluktuasi tahunan dengan harga rata-rata yang
lebih tinggi dibandingkan tahun 2015.
Hal
penting lain adalah kesejahteraan petani. Salah satu indikator kesejahteraan
petani adalah nilai tukar petani (NTP). Meskipun NTP Gabungan Nasional masih
berada di atas 100, nilai tersebut mengalami penurunan dari 102,03 (2014)
menjadi 101,61 (2015) dan 101,67 (hingga November 2016). NTP tanaman pangan
mengalami peningkatan dari 98,88 di 2014 menjadi 100,35 di 2015. Peningkatan
NTP disebabkan harga beras yang melonjak tinggi di tahun tersebut. Pada 2016
NTP tanaman pangan terus menurun dari 103,94 di bulan Januari 2016 menjadi
98,17 di bulan November 2016.
Rekomendasi
Meskipun
upaya keras membangun sektor pertanian masih menghadapi berbagai tantangan,
sektor tersebut sangat penting bagi Indonesia dan masih menjadi penyumbang
produk domestik bruto (PDB, menurut lapangan usaha) terbesar kedua setelah
industri pengolahan. Hingga triwulan III-2016, PDB dari sektor ini sudah Rp
463,2 triliun. Distribusi sektor ini terhadap PDB menurut lapangan usaha juga
terus meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 13,34 persen di 2014 menjadi 13,52
persen di 2015 dan di atas 14,0 persen di 2016 (BPS, November 2016).
Sektor
pertanian juga tetap penyumbang lapangan pekerjaan terbesar dengan jumlah
pekerja di Agustus 2016 mencapai 37,77 juta orang meskipun sudah menurun
lebih dari 1 juta orang dibandingkan Agustus 2014 (38,97 juta orang). Jumlah
ini jauh melampaui sektor perdagangan (26,69 juta orang), jasa (19,46 juta
orang), dan industri (15,54 juta orang).
Mengarusutamakan
pembangunan sektor pertanian dan pangan memiliki dampak yang strategis bagi
keberlanjutan pembangunan, termasuk pembangunan sumber daya manusia di
Indonesia. Apalagi dari hasil kajian Indeks Kelaparan Global (IKG) 2016 dari
International Food Policy Research Institute (IFPRI), posisi Indonesia masih
terpuruk (IFPRI, Oktober 2016). Skor IKG Indonesia di tahun 2016 sebesar 21,9
yang menurun dari 28,6 di tahun 2008. Skor tersebut masih masuk dalam
kategori "skala kelaparan serius" (skala 20,0-34,9). Di antara para
tetangga di Asia, Indonesia berada di bawah Tiongkok (7,7), Malaysia (9,7), Thailand (11,8), Vietnam
(14,5), Filipina (19,9), dan Kamboja (21,7), tetapi lebih baik daripada
Myanmar (22,0) dan Sri Lanka (25,5).
Terdapat
tiga dimensi IKG, yaitu persentase ketidakcukupan pasokan pangan, persentase
anak kekurangan gizi, dan persentase kematian anak di bawah lima tahun.
Pembangunan pertanian sangat terkait dengan pemenuhan kebutuhan kalori dan
gizi masyarakat sehingga dapat menurunkan skala ketiga dimensi IKG tersebut.
Pemusatan
perhatian yang terlalu berlebih pada program Pajale (Padi, Jagung, dan
Kedelai) selama dua tahun terakhir ini mendistorsi pembangunan di subsektor
lain yang penting dalam peningkatan devisa dan ekspor. Pemerintah perlu mulai
memperhatikan sektor lain, terutama perkebunan rakyat yang NTP-nya terus
menurun dan untuk tahun ini hanya berada di kisaran 96,14 (terendah) dan
98,91 (tertinggi). Pada kondisi saat ini, program pertanian tanpa reforma
agraria adalah upaya "menjaring angin". Semua upaya peningkatan
produksi hanya akan berada di atas kertas belaka dan defisit pangan dan impor
pangan akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Redistribusi lahan untuk
petani kecil sebagaimana yang diamanatkan dalam Nawacita harus benar-benar
serius dilakukan.
Tata
kelola pangan sangat terkait dengan ketersediaan data yang akurat terutama
data produksi dan stok. Ketidakakuratan data menyebabkan kebijakan pangan
bermasalah dan menimbulkan fluktuasi harga yang merugikan petani dan
konsumen. Gejolak harga di tahun 2015 seharusnya menyadarkan kita bersama
bahwa ada masalah serius terkait data.
Terakhir,
peningkatan kesejahteraan petani harus menjadi fokus utama pembangunan
pertanian. Kebijakan tata kelola pangan yang selama ini fokus ke kepentingan
konsumen perlu diubah menjadi fokus ke kepentingan petani dengan menjamin
harga yang menguntungkan di tingkat usaha tani. Pola subsidi (benih dan
pupuk) dan berbagai bantuan yang selama ini terbukti tidak efektif perlu
diubah menjadi pembayaran langsung dan subsidi output. Diharapkan melalui
perubahan kebijakan yang mendasar terjadi peningkatan kesejahteraan petani
dan meningkatkan ketertarikan generasi muda di bidang pertanian. Peningkatan
produksi hanyalah buah dari upaya keras meningkatkan kesejahteraan petani dan
bukan sebaliknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar