Mikraj dan Ketuhanan yang Berkebudayaan
Asep Salahudin ;
Dekan Fakultas Syariah IAILM
Suryalaya;
Dosen LB di Fakultas Seni dan
Sastra Unpas Bandung
|
MEDIA INDONESIA,
04 Mei 2016
ISRA adalah perjalanan
bumi yang dilakukan Sang Nabi SAW dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha
di Palestina. Mikraj merujuk perjalanan langit dari Masjidil Aqsha menuju
langit, menembus takhta Sidratul Muntaha untuk kemudian menerima wahyu
kewajiban salat lima waktu yang konon sebermula ialah 50 waktu. Dalam sebuah
dialog surealis Nabi Muhammad SAW dengan nabi-nabi terdahulu.
Isra dan Mikraj bagi
saya melambangkan bagaimana agama yang dipromosikan Muhammad SAW tidak hanya
berbicara tentang persoalan langit-ketuhanan, tapi juga ihwal keseharian,
tentang dengus napas kemanusiaan. Agama yang mempercakapkan medan sakral
ilahiah sekaligus membincangkan ruang profan kebudayaan-insaniyah.
Peristiwa isra Mikraj
menjelaskan bagaimana agama yang dibawa Muhammad SAW bergerak dalam garis
lintang keseimbangan dunia dan akhirat. Dalam sebuah sabdanya disebutkan,
"Mereka yang tidak bisa berdamai dengan bumi mustahil berdamai dengan
langit."
Konteks kebangsaan
Kesadaran seperti itu
nampaknya yang menjadi asbabun nuzul yang mengendap dalam layar bawah sadar
ketika para pendiri bangsa merumuskan dasar negera. Sila pertama ialah
'Mikraj', dan empat sila susulannya menunjukkan tentang kesadaran 'isra'.
Dengan kata lain, isra
Mikraj harus dimaknai secara personal, sekaligus secara sosial kebangsaan.
Bangsa yang telah mengalami isra Mikraj tidak saja mampu menanamkan keinsafan
teologis 'ketuhanan yang Maha Esa', tapi juga sigap membumikan imperatif
etiknya berupa 'kemanusiaan yang adil dan berada, persatuan, kerakyatan,
kebijaksanaan, kesejahteraan', dan 'keadilan'.
Itulah yang tempo hari
dipadatkan Bung Karno dalam ungkapan 'ketuhanan yang berkebudayaan'.
Ketuhanan yang berkebudayaan diusulkan 'Bung Besar' sebagai sila kelima
rumusan dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945. Sementara itu, empat sila
sebelumnya ialah kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau peri
kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, dan kesejahteraan sosial. Bahkan bagi
Bung Karno, Pancasila dapat dipadatkan lagi menjadi trisila, yaitu
sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Dapat diperas lagi
menjadi ekasila, yaitu gotong royong.
Pada akhirnya, lewat
perdebatan alot dan kelapangan hati para pendiri bangsa, dengan melihat
realitas sosiologis, antropologis, dan teologis, dicarilah jalan keluar teks
Pancasila seperti yang sampai pada hari ini kepada kita.
Menarik sekali ketika
Bung Karno mengusulkan 'ketuhanan yang berkebudayaan'. Sebuah tawaran nalar
yang membayangkan tentang wawasan keagamaan yang inklusif dan kosmopolit
sekaligus wawasan kebangsaan yang diacukan pada semangat nasionalisme utuh,
yang dijangkarkan pada bentangan kemajemukan kebudayaan dan keragaman
kepercayaan masyarakat di halaman negeri kepulauan.
Ketuhanan
berkebudayaan menjadi sebuah kalimat dengan imaji bahwa bangsa yang besar
hanya akan diraih manakala masyarakatnya mampu menanggalkan egoisme beragama. Soekarno yang lahir
dari seorang ibu Bali (Hindu), bapak (Islam-Jawa), dan dalam asuhan Sarinah
(sosialisme) sadar sesadar-sadarnya bahwa fakta kebangsaan yang majemuk
sangat rentan terhadap konflik apabila tidak ada falsafah yang menjadi payung
bersamanya. Falsafah itu tidak lain ialah 'ketuhanan yang berkebudayaan'.
Bahwa 'ketuhanan' agar
fungsional, harus diterjemahkan dalam ranah kebudayaan dan sejarah politik
harian. Sebagaimana kebudayaan supaya memiliki visi jelas semestinya ditancapkan
pada haluan nilai-nilai ketuhanan dan kedalaman iman yang menggetarkan.
Sengketa teologis
Sebuah bacaan cerdik,
sebab Soekarno melihat bangsa-bangsa lain yang cerai berai karena dipicu
sengketa teologis kekanak-kanakan, pemantiknya sering kali ialah metafisika
kebencian karena salah kaprah dalam menafsirkan senarai firman Tuhan, dan
sesat pikir ketika memahami kebangsaan kaitannya dengan keagamaan. Soekarno
mampu melampaui sentimen keagamaan dan menawarkan visi keagamaan dan
kebangsaan yang lapang dada.
Soekarno seakan
dibimbing 'wahyu' bahwa bangsanya yang baru saja keluar dari sekapan kaum
kolonial dalam waktu sekejap akan berubah menjadi medan pertumpahan darah,
karena kontestasi keyakinan keagamaan yang hendak dipaksakan menjadi bagain
integral dari batang tubuh kenegaraan. Kata Bung Karno, "Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, melainkan masing-masing
orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Hendaknya negara
Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya
dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara
berkebudayaan, yakni dengan tiada 'egoisme agama'.”
Dengan sila itu, Bung
Karno ingin menegaskan bahwa persoalan ketuhanan ialah hal asasi yang
semestinya menjadi keyakinan individu, sekaligus tidak menutup mata dari
fakta pluralisme dalam bernegara. Bahwa berketuhanan tidak otomatis menampik
liyan, tapi justru seharusnya semakin menebalkan sikap terbuka menerima
keliyanan sebagai bagian ontologis anak bangsa yang memiliki cita-cita sama
untuk menjadikan Indonesia sebagai hamparan berkhidmat demi tegaknya
kohesivitas, kemanusiaan, dan keadaban.
Soekarno dengan sangat
visioner menempatkan agama (Islam) dalam domain spiritualisme (api), dan
negara ialah lain sisi yang tidak semestinya mengurus salah satu agama saja
sebagaimana agama salah kaprah kalau melakukan intrvensi terhadap urusan
negara. 'Agama itu perlu dimerdekakan
dari asuhannya supaya menjadi subur. Kalau Islam terancam bahaya pengaruhnya
di atas rakyat Turki, maka itu bukanlah karena tidak diurus pemerintah,
tetapi justru diurus oleh pemerintah. Umat Islam terikat kaki-tangannya
dengan rantai kepada politiknya pemerintahan. Hal ini adalah suatu halangan
besar sekali buat kesuburan Islam di Turki dan bukan saja di Turki, tetapi di
mana-mana saja, karena pemerintah campur tangan di dalam urusan agama, di
situ menjadikan ia satu halangan besar yang tak dapat dienyahkan'. (Soekarno, 2005: 404-405).
Dalam menyambut isra
Mikraj dan memaknai peristiwa itu dalam pemaknaan 'ketuhanan yang
berkebudayaan', semakin relevan untuk kita tengok kembali justru ketika anak
bangsa banyak yang tergoda fantasi politik yang sama sekali berseberangan
dengan Pancasila. Isra Mikraj dan dan Tuhan yang berkebudayaan menjadi
penting justru ketika uang menjadi daulat utama.
Isra Mikraj dalam
napas kebangsaan seperti itu dapat meneguhkan bahwa rute kebangsaan yang
berketuhanan ialah persyaratan mutlak agar keagamaan dan kebangsaan kita
memiliki nilai dan fungsi nyata dalam sejarah pengalaman keseharian. Agar
keragaman agama dan budaya menjadi energi yang menggerakkan bangsa ini menuju
kesejahteraan lahir batin, bangsa yang toleran. Bangsa yang bisa bermikraj ke
langit keutamaan dan berisra, terhunjam dalam akar keluhuran kearifan
tradisional yang terbentang sepanjang khatulistiwa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar