Revolusi Pendidikan di Atas Kertas
Ardhie Raditya ;
Pengajar Pendidikan Kritis di
Sosiologi Unesa;
Sedang mengikuti Program Doktoral
di KBM UGM Yogyakarta
|
JAWA POS, 02 Mei
2016
SETIAP memperingati Hari Pendidikan Nasional
(Hardiknas), sosok Ki Hajar Dewantara selalu terbayang dalam ingatan. Dia
berasal dari keluarga bangsawan di Jogjakarta. Meski demikian, statusnya tak
membuatnya angkuh dan congkak. Gelar ningratnya ditanggalkannya pada usia 40
tahun. Bunuh diri kelas itu dilakukannya agar tak berjarak dengan rakyat
kebanyakan.
Ki Hajar juga disebut-sebut sebagai menteri
pendidikan dan kebudayaan pertama di Indonesia. Dia mendapatkan gelar doktor
kehormatan dari Universitas Gadjah Mada setahun sebelum mangkatnya. Setahun
setelahnya, hari kelahirannya ditetapkan sebagai Hardiknas setelah
dikeluarkannya Surat Keputusan Presiden RI Nomor 305 tertanggal 28 November
1959.
Ide-ide kritisnya bertebaran di berbagai media
massa pergerakan pada masa kolonial Belanda. Slogan "Satu untuk Semua,
Semua untuk Satu" adalah salah satu gagasannya. Tetapi, tulisannya yang
paling terkenal bertajuk "Seandainya Aku Seorang Belanda" yang
dimuat surat kabar De Expres pada
1913. Dalam tulisannya dia mengolok-olok tradisi rezim kolonial yang gemar
berfoya-foya dengan cara menguras harta benda rakyat Indonesia. Merasa
tersindir dengan ide tulisan revolusionernya, rezim kolonial akhirnya
menangkap dan mengasingkan Ki Hajar ke Pulau Bangka.
Tentu gagasannya terhadap perkembangan dunia
pendidikan di Indonesia tak bisa dihitung dengan jari. Selain taman siswanya,
Ki Hajar dikenal sebagai penggagas konsep Tut Wuri Handayani. Tapi, saya
hanya ingin menegaskan satu hal di sini bahwa membenahi dunia pendidikan tidak
selamanya harus turun ke jalan. Bisa diupayakan pula secara serius melalui
budaya tulisan.
Sebab, melalui tulisan, berbagai praktik
ketidakadilan, kezaliman, dan korupsi pendidikan bisa terbongkar secara
tekstual. Membuat tulisan memang tidak semudah dan secepat bahasa tuturan.
Tapi, menurut Derrida (1972), teks memiliki jejak yang mampu bertahan lama
daripada ujaran. Bahkan, menurut Pramoedya Ananta Toer, menulis bagian dari
keabadian. Mereka yang tidak menulis akan ditelan zaman.
Dibanding tulisan, para pengguna tradisi lisan
memang lebih banyak di kehidupan sekitar kita. Itu sebabnya, acara gosip dan
sinetron di televisi lebih banyak penggemarnya. Jangan-jangan rendahnya minat
baca dan tulisan di kalangan guru, siswa, dosen, dan mahasiswa belakangan ini
juga terkait dengan persoalan tradisi ini. Maka, jangan heran apabila jumlah
perpustakaan kalah banyak dengan taman bermain, pusat perbelanjaan, dan lahan
parkir di area-area pendidikan.
Pendidikan yang katanya sebagai sarana
pembebasan tak bisa berbuat banyak. Entah berapa banyak menteri yang hilir
mudik mengurusi masalah pendidikan di negeri ini. Semuanya berakhir dengan
dalih kebijakan membenahi sistem yang banyak celah pada era-era sebelumnya.
Kemudian, aparat birokrasi di level bawahnya memutuskan satu pilihan
pragmatis: mengekor, menjilat, dan bersilat lidah.
Rezim Orde Baru (Orba) juga tak bisa lepas
tangan dalam proses dekadensi pendidikan yang demikian. Sejak puluhan tahun,
bahasa tidak lagi mewujud dalam wadah komunikasi. Bahasa jadi jurus pemungkas
menumpas lawan politiknya. Warisan Orba itu kini masih berjalan samar-samar
sebagai kekuatan simbolis pada sistem birokrasi lembaga resmi pendidikan.
Di sana ada proses kromonisasi bahasa yang
bermakna nilai-nilai pengagungan secara halus. Semisal, atasan diperhalus
menjadi pimpinan, guru diperhalus menjadi pendidik (pahlawan tanpa tanda
jasa), kasus korupsi di universitas diperhalus menjadi musibah.
Bahkan, netralisasi simbol-simbol revolusioner
secara intensif terus saja digalakkan. Semisal, "sama rata, sama
rasa" tidak banyak digunakan jika dibandingkan dengan semboyan
"gotong royong". Semboyan yang kedua dianggap budaya khas bangsa
Indonesia karena biasa digunakan orang Jawa. "Kedok", "dalang
kerusuhan", "goblok", dan lainnya termasuk kosakata ideologis
yang menyusup dan diterima ke dalam penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari
masyarakat kita.
Melalui peringatan Hardiknas kali ini, politik
bahasa kultur dominan itu sudah selayaknya didekonstruksi melalui kultur
tulisan. Selain tak sesuai dengan spirit zaman demokrasi, juga secara tak
langsung menyusun kode kolonialisasi gaya baru dalam proses pendidikan kita.
Itu sebabnya, menulis bukan merangkai kata dan
aplikasi materi bahasa di atas kertas saja. Lebih dari itu, ia menjadi
praktik sosial yang memiliki visi-misi perjuangan dan gerakan kultural.
Bukankah ini bagian penting dari warisan Ki Hajar Dewantara yang seharusnya
kita lestarikan juga? Tanyalah kepada hatimu, kawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar