Demokrasi Pasca-Reformasi
Dinna Wisnu ;
Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina
Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 11 Mei
2016
Sampai
saat ini, saya dan mungkin orang-orang lain masih bingung dengan ”hantu”
komunis yang sering disebut hadir dalam pertemuan-pertemuan, mulai dari
pertemuan korban tahun 1965.
Demikian
besarnya rasa takut hingga aparat keamanan perlu membubarkan atau tidak
memberikan izin segala macam kegiatan kritis yang disimpulkan setali tiga
uang dengan gerakan komunis. Saya mencoba memahami fenomena ini tidak dalam
konteks teori konspirasi yang meyakini terjadinya ketegangan di antara
faksi-faksi elite di dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla,
tetapi
lebih mencoba memahami sejauh mana propaganda tersebut menjadi ancaman serius
terhadap konsolidasi demokrasi yang menjadi syarat pertumbuhan dan distribusi
ekonomi di tengah masyarakat. Ancaman terhadap demokrasi tampaknya lebih
nyata daripada bahaya komunis itu sendiri.
Ancaman
itu adalah menguatnya paradigma yang percaya bahwa bahaya yang bersifat
ideologis hanya dapat dituntaskan dengan kekerasan. Apabila kita memang
memiliki keinginan untuk membangun sistem politik yang demokratis, tidak ada
pilihan untuk membiasakan diri berpikir dan bertindak secara rasional dan
mendasarkan kepada ilmu pengetahuan.
Ideologi
komunis sebagaimana halnya ideologi kapitalis harus ditinjau, dikritik, atau
dievaluasi dengan kegiatan keilmuan dan tidak bisa dengan kekerasan, apalagi
menggunakan aparat keamanan sebagai alat negara. Kita tidak boleh lupa bahwa
menguatnya paham teroris disebabkan oleh salah satunya yaitu daya kritis yang
menumpul.
Salah
satu isu yang terkait dengan membiasakan diri untuk berpikir kritis adalah
hak menyatakan pendapat. Dalam semua konvensi-konvensi hak asasi manusia
mulai perlindungan terhadap hak sipil hingga konvensi yang mengatur
perburuhan, hak untuk menyatakan pendapat adalah hak yang sifatnya universal
dan tidak dapat ditawar. Mengapa hak menyatakan pendapat memiliki kedudukan
tinggi?
Alasan
sederhananya tidak lain karena perlu mekanisme untuk mengontrol produk-produk
hukum yang dihasilkan oleh negara. Negara dan pihak-pihak lain terkait dapat
membuat undang-undang atau peraturan yang ideal dan bagus, tetapi bila tidak
ada kebebasan untuk menyatakan pendapat maka tidak ada yang dapat
mengevaluasi sejauh mana undang-undang atau peraturan dilaksanakan atau dapat
diterapkan.
Kenyataannya,
implementasi hak kebebasan berpendapat dan berkumpul terhambat oleh paradigma
yang lebih membungkam daya kritis. Hal seperti itu bisa menjadi penyakit
kanker yang terus menggerogoti sistem yang secara prosedural demokratis. Di
Tanah Air telah terjadi rangkaian upaya ”penertiban demonstrasi”, mulai dari
penentuan di mana boleh berdemonstrasi sampai halhal teknis pelaksanaan
demonstrasi.
Lebih
lanjut, ternyata bukan hanya demonstrasi yang ditertibkan tetapi juga ragam
kegiatan dialog, pameran, pertunjukan seni bahkan seminar. Telah terjadi di
beberapa tempat di mana dikabarkan ada unsur masyarakat yang resah atau
curiga dengan intensi suatu acara sehingga meminta aparat keamanan untuk
mengambil tindakan tegas membatalkan acara.
Mengapa
sebagai warga negara kita perlu membela hak kebebasan berpendapat (freedom of
expression) untuk dilakukan secara penuh di Indonesia? Alasan praktisnya
karena sebagai negara yang telah terintegrasi dengan sistem pasar, kita juga
tidak ingin ada pembatasan untuk menggunakan hak kita berpendapat apabila ada
hak-hak kita yang dilanggar atau dizalimi.
Kita
sebagai warga negara dunia yang mobilitasnya telah melampaui batas-batas
tradisional kedaulatan negara kita sendiri mengharapkan hak ini berlaku
secara universal sehingga kepentingan kita juga terlindungi. Deklarasi
Universal HAM, khususnya pasal 19, menyatakan tiap individu berhak mempunyai
dan mengeluarkan pendapat dengan tidak mendapat gangguan, termasuk untuk
mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan dan ide-ide dengan cara apapun
dan tidak memandang batas-batas.
Masih
relevan dengan hak tersebut, ada pula pasal 20 dalam Deklarasi Universal HAM,
di mana disebutkan bahwa tiap individu berhak untuk berkumpul dan berserikat
secara damai dan tidak boleh dilarang untuk menjadi anggota suatu
perserikatan. Dalam praktiknya, hak-hak yang diakui secara internasional itu
diperdebatkan di tingkat nasional, khususnya dalam konteks hak kelompok lain
dan hak atas ketertiban publik.
Kebanyakan
perdebatan muncul dengan suatu argumen yang bersandar pada sejumlah asumsi
atas tindakan kelompok lain dan sejumlah kekhawatiran akan dampak-dampak
sosial yang tidak terkendali. Itu sebabnya kemudian lahir sensor dan
peraturan-peraturan. Belakangan di tingkat praktis muncul spontanitas dari
kelompok-kelompok yang vokal dan aktif mengatur ini dan itu dalam masyarakat.
Problemnya:
bila asumsi terhadap kelompok lain dan kekhawatiran akan dampak-dampak sosial
tidak dikaji secara hatihati, dan tidak dikembangkan secara cermat
berdasarkan data yang sahih dan disepakati di parlemen, maka yang terjadi
adalah pembungkaman kebebasan berekspresi.
Di
seluruh dunia juga dikenal pula batasan-batasan untuk kebebasan berpendapat,
contohnya larangan untuk membicarakan hal-hal cabul yang melukai moralitas
yang berlaku pada suatu zaman, fitnah dan pencemaran nama baik serta sumpah
palsu, hak atas privacy , political correctness (kepatutan politis),
ketertiban umum, keamanan publik, dan sebagainya.
Kita
tidak perlu takut untuk bicara tentang apa saja halhal yang patut diatur dan
yang bisa dibebaskan sebagai bagian dari pembangunan wacana yang sehat.
Pendapat atau ideologi yang akan mengancam ruang demokrasi seperti ideologi
yang dianut oleh para teroris adalah termasuk kebebasan yang harus dibatasi
dan jangan sebaliknya, ideologi yang mengancam demokrasi justru diberi
keleluasaan untuk bergerak.
Pemerintah
harus dapat membedakan kegiatan mana yang mengancam demokrasi dan yang mana
justru menguatkan demokrasi. Dalam beberapa kasus seperti kasus penangkapan
23 buruh dan aktivis HAM yang kini telah masuk masa persidangan di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dapat dirasakan kerancuan tersebut.
Sebagai
sebuah sarana demokrasi, aksi unjuk rasa adalah salah satu cara demokratis
yang dilakukan oleh gerakan reformasi mahasiswa dan masyarakat. Mei 18 tahun
lalu hal ini berhasil mendobrak rezim otoriter Orde Baru namun sarana itu
yang kini justru mulai ikut ”direformasi” juga.
Ada
beberapa alasan, di antaranya saat ini kita memasuki pembangunan dan
aksi-aksi unjuk rasa dan demonstrasi yang dianggap menghalangi pembangunan
harus dicegah. Di situ kita harus meyakini bahwa perencanaan dan distribusi
hasil pembangunan ekonomi yang adil dan baik adalah mekanisme yang secara
alamiah akan mengurangi unjuk rasa, namun pengurangan dan pembatasan unjuk
rasa secara sengaja tidak akan menjamin adanya pembangunan dan distribusi
hasil ekonomi yang adil dan baik.
Oleh
sebab itu, apabila kita ingin melindungi kebebasan berpendapat sebagai
pengawal pembangunan, kita sepatutnya tidak mengizinkan pembungkaman daya
kritis baik di dalam kegiatan unjuk rasa maupun kegiatan akademis, kecuali
bila kita ingin kembali mendirikan negara yang otoriter dan tertutup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar