Memulihkan Wibawa Negara
M Riza Damanik ;
Ketua Umum Kesatuan Nelayan
Tradisional Indonesia (KNTI);
Wakil Ketua Umum Ikatan Sarjana
Kelautan Indonesia (Iskindo)
|
KORAN SINDO, 12 Mei
2016
Setelah
diketahui sarat praktik koruptif dan melanggar sejumlah peraturan
perundang-undangan di Indonesia, teranyar proyek reklamasi Teluk Jakarta
menampakkan tabiat utuhnya: melemahkan kewibawaan negara.
Pemerintahan
Jokowi-JK di dalam visi misinya, ”Jalan Perubahan untuk Indonesia Yang
Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian” (Mei, 2014), telah berhasil
mendeteksi perihal merosotnya wibawa negara sebagai satu dari tiga persoalan
pokok bangsa. Ada lima kondisi yang menyebabkan menurunnya wibawa negara.
Pertama,
ketika negara tidak kuasa memberikan rasa aman kepada segenap warga. Kedua,
tidak mampu mendeteksi ancaman terhadap kedaulatan wilayah. Ketiga,
membiarkan pelanggaran HAM. Keempat, lemah dalam penegakan hukum. Kelima,
tidak berdaya dalam mengelola konflik sosial. Gejala kelimanya semakin terasa
pada tahapan stadium lanjut polemik reklamasi di Teluk Jakarta.
Abai
Reklamasi
17 pulau baru maupun tanggul raksasa di depan Teluk Jakarta bukanlah solusi
mengatasi banjir dan kemiskinan bagi warga Ibu Kota. Sebaliknya, proyek ini
berpotensi memperluas area genangan banjir Jakarta hingga 31.000 hektare pada
2100 (KKP, 2015).
Tidak
cukup banjir, dua proyek ini bahkan berpeluang menggerus Pulau Onrust dan
pulau-pulau lain di sebelah barat Teluk Jakarta. Kerusakan lingkungan dan
penggusuran nelayan di luar Jakarta bahkan semakin sulit dihindari. Untuk
keperluan pengurukan tanggul raksasa beserta 17 pulau barunya dibutuhkan
sedikitnya 800 juta metrik ton material pasir. Kini risikonya justru semakin
besar.
Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menemukan hampir seluruh dokumen
analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pulau-pulau reklamasi di Pantai
Utara Jakarta tidak memasukkan kajian kebutuhan bahan urukan, ketersediaan
air bersih, dan pengaruh reklamasi terhadap kegiatan vital.
Tepatlah
prakarsa Menteri Koordinator Bidang Maritim Rizal Ramli pada 18 April 2016
bersama-sama Menteri LHK Siti Nurbaya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya
Purnama (Ahok), serta sejumlah pejabat di lingkungan Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) untuk menghentikan sementara (moratorium) proyek reklamasi di
Teluk Jakarta.
Sayangnya,
dua pekan setelah moratorium, kegiatan reklamasi dengan seluruh risikonya
masih saja membayangi kehidupan warga. Dari Muara Angke, Jakarta, warga
nelayan dengan mudah menyaksikan masih ada kegiatan reklamasi di Pulau G.
Beragam aktivitas pembangunan juga masih berlangsung di Pulau C dan D, dengan
dalih ketelanjuran.
Di
Desa Lontar, Banten, keresahan warga bahkan berlanjut setelah melihat
kapal-kapal penambang pasir masih beroperasi dengan jarak hanya 2-3 mil dari
garis pantai. Dus, tersungkurnya kewibawaan negara akibat tidak dijalankannya
seruan moratorium reklamasi di Jakarta akan berdampak buruk terhadap
penanganan lebih dari 30 proyek reklamasi lain, di luar Ibu Kota.
Memulihkan
Semua kita dapat berkontribusi memulihkan kewibawaan negara. Pertama,
masyarakat luas, termasuk nelayan berkewajiban untuk terus-menerus
mengingatkan penyelenggara negara agar tidak korup dan tebang pilih dalam
menuntaskan polemik reklamasi Jakarta. Tentunya, tindakan konstitusional ini
harus dapat membebaskan dirinya dari kebencian berbasis suku, agama, ras,
maupun antargolongan.
Kedua,
Gubernur Ahok dapat merujuk pada laporan warga nelayan terdampak, temuan KLHK
dan KKP untuk menyelenggarakan audit kepatuhan kepada seluruh pengembang
reklamasi di Teluk Jakarta.
Bila
terbukti melanggar, gubernur sesuai kewenangannya dapat memberikan teguran,
penyegelan, bahkan pencabutan izin. Namun, bila Gubernur Ahok sungkan atau
ragu menjalankan tugasnya, Menteri Siti Nurbaya dapat menyelamatkan
kewibawaan negara dengan mengambil alih kewenangan tersebut.
Penyegelan
yang dilakukan kemarin bisa jadi langkah awal. Selanjutnya, segera memberikan
sanksi kepada Gubernur Ahok dan para pengembang sebagaimana telah diatur di
dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Terobosan (hukum) serupa dapat dilakukan oleh Menteri Susi
Pudjiastuti sesuai kewenangannya.
Ketiga,
hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) juga dapat berpartisipasi
menegaskan posisi negara terhadap polemik reklamasi. Hakim dibenarkan untuk
mengambil putusan sela terhadap perkara Nomor 193/G.LH/2015, Nomor
14/G/LH/2016, Nomor 15/G/ LH/2016, dan Nomor 13/G/ LH/2016 untuk membatalkan
sementara dan menunda pelaksanaan izin reklamasi Pulau G, F, I, dan K, sambil
menunggu proses persidangan berkekuatan hukum tetap (incraht).
Keempat,
Presiden memiliki kemewahan konstitusional untuk mengurai pembangkangan
kebijakan moratorium reklamasi dengan mengeluarkan instruksi presiden
(inpres) tentang moratorium reklamasi pantai di seluruh Indonesia. Inpres ini
dimaksudkan untuk memperjelas dan mengakselerasi kerja para pembantu Presiden
pada tiga hal pokok.
Mulai
dari menghentikan perusakan lingkungan dan penggusuran warga pesisir dan
nelayan. Lalu, mempercepat eksekusi penegakan hukum. Puncaknya, memperjelas
strategi pemerintah meningkatkan partisipasi masyarakat pesisir dan nelayan
dalam agenda pembangunan kota-kota pantai dan poros maritim dunia. Seperti visi
Presiden, inilah momentum ”emas” melunasi janji memulihkan kewibawaan negara.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar