Perlindungan Anak Tak Seperti Ini
Putri Kusuma Amanda ;
Pusat Kajian Perlindungan Anak
Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 21 April
2016
Apakah sistem peradilan pidana masih bisa dipercaya untuk
menangani anak yang menjadi korban tindak pidana? Beberapa waktu lalu,
seorang rekan advokat mendampingi kasus anak yang menjadi korban kekerasan
seksual. Anak itu dimintai keterangannya oleh penyidik di sebuah ruangan,
bersamaan dengan rekan-rekan penyidik lain yang sedang menonton televisi,
bercengkerama, sambil merokok. Si anak ditanya tentang detail kejadian tanpa
menunjukkan sikap empati terhadap apa yang dialami korban.
Bisa jadi kita semua terlalu marah dengan para ”tersangka”, lalu
luput mengawasi bagaimana penegak hukum memperlakukan para anak yang menjadi
korban suatu tindak pidana. Bahkan, kita luput untuk berpikir secara
objektif, apakah ”tersangka” adalah benar-benar pelakunya. Pada tahun 1991,
Fitzpatrick sudah menyampaikan kekhawatirannya akan gerakan perlindungan anak
yang justru mengorbankan hak proses hukum yang adil bagi tersangka, yang pada
akhirnya berbahaya bagi korban salah tangkap (King, 1992; Fitzpatrick, 1991).
Pada 13 April 2016, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Masyarakat
Profesi Penilai Indonesia (Mappi), Fakultas Hukum Universitas Indonesia
(FHUI), dan Indonesia Jentera School of
Law menyelenggarakan diskusi dan peluncuran buku yang membahas tentang
putusan perkara kasus Jakarta International School (JIS). Kasus ini menguji
kemampuan penegak hukum untuk memperhatikan kerentanan dari dua sisi: anak
dan tersangka, hingga terjadi perbenturan antara para pembela hak anak dan
para pembela hak tersangka.
Perlindungan
anak vs perlindungan tersangka
UU Sistem Peradilan Pidana Anak dan UU Perlindungan Anak telah
mengakomodasi berbagai hak yang dimiliki oleh anak yang menjadi korban tindak
pidana. Anak memiliki hak mendapatkan perlindungan, hak untuk dirahasiakan
identitasnya, dan hak untuk didampingi selama proses peradilan oleh orangtua
atau orang yang dipercaya oleh anak. Juga punya hak untuk mendapat perlakuan
secara manusiawi, penyediaan petugas pendamping khusus anak, penyediaan
sarana dan prasarana, yang seluruhnya untuk kepentingan terbaik bagi anak.
Tak ada satu pun maksud dari aturan ini untuk mengesampingkan hak tersangka.
Proses peradilan pidana yang baik seharusnya dapat menampung hak
bagi anak yang menjadi korban dan juga pelaku. Sebab, mengesampingkan hak
tersangka sama sekali tak akan membantu anak ataupun masyarakat menemukan
keadilan (Legal Action Group, 2005). Mengutip pernyataan Kontras dan Mappi
pada bedah buku tersebut, apabila penegak hukum mengesampingkan hak
tersangka, memaksakan proses peradilan hingga akhirnya menghukum orang yang
tidak bersalah, tidak menutup kemungkinan pelaku yang sebenarnya tidak
ditangkap. Ini artinya keadilan bagi anak tidak benar-benar ditegakkan.
Perlindungan anak tidak seperti ini.
Berdasarkan diskusi eksaminasi putusan kasus JIS, disebutkan
bahwa proses rekonstruksi dan pemeriksaan dari pihak korban didominasi oleh
keterangan orangtua, bukan dari anak itu sendiri. Kenyataan ini
mengindikasikan telah terjadi pelanggaran hak anak untuk didengar
pendapatnya. Apabila masih ada penegak hukum yang menyatakan bahwa anak tidak
memiliki kemampuan untuk menyatakan pendapat, menyatakan keinginannya, dan
merekonstruksi sebuah kejadian, maka kemampuan, perspektif, dan sensitivitas
penegak hukumlah yang seharusnya dipertanyakan.
Pada kasus ini, penegak hukum juga dipertanyakan netralitasnya
di tengah opini publik yang mengemuka. Masih bisakah kita percayakan kepada
mereka untuk mempraktikkan hukuman kebiri? Atau kebijakan emosional lain yang
tidak berbasis bukti? Kasus JIS memperkuat kebutuhan mendesak untuk melakukan
perubahan masif dalam proses peradilan pidana, dimulai dengan penyelesaian
pembahasan rancangan KUHP, KUHAP, peningkatan kapasitas dan perspektif
penegak hukum, serta perbaikan birokrasi karena reformasi secara sistemik
adalah satu-satunya cara agar keadilan dapat ditegakkan (Sopher, 1994).
Kasus JIS juga merupakan ujian bagi para pembela hak anak dan
pembela hak tersangka untuk berada pada posisi yang sama.
Pembela hak anak tidak seharusnya membela dengan cara membabi
buta, membangun opini publik dan menebarkan kebencian terhadap tersangka yang
belum tentu bersalah, kemudian luput untuk memperhatikan dampak pelanggaran
hak tersangka dan opini publik bagi anak-anak tersangka atau anak-anak di
lingkungan tempat tinggal tersangka. Perlindungan anak tak seperti ini. Pembela
hak tersangka juga selayaknya secara elegan membela tersangka dengan juga
menunjukkan sikap empati kepada anak yang jadi korban, perasaan keluarga dan
masyarakat.
Peran
pendidikan hukum
Tulisan ini juga menanggapi opini Topo Santoso dalam tulisannya
yang berjudul ”Pendidikan Hukum Kita”, yang dimuat di Kompas edisi 6 April
2016. Diskusi eksaminasi putusan kasus JIS merupakan langkah yang positif
yang diambil para akademisi hukum karena mampu memperlihatkan kompleksitas
sebuah kasus dari sisi formal, materiil, forensik, bahkan latar belakang
politis di belakangnya. Sebuah acara yang patut diapresiasi dan layak menjadi
budaya bagi institusi pendidikan hukum lainnya.
Kemampuan pengajar untuk memperkenalkan mahasiswa bahwa setiap
kasus tidak boleh hanya dilihat dari kacamata hukum sangat patut
dipertimbangkan. Pemahaman interdisipliner dan dinamika sosial-politik di
tataran praktis menjadi penunjang bagi mahasiswa hukum untuk meningkatkan
kepekaan, memberikan perspektif, dan menjadi bagian dari solusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar