Pembangunan Perempuan
Omas Bulan Samosir ;
Pengajar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis
Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 21 April
2016
Pada tahun 2016 diperkirakan dari sekitar 7,43 miliar penduduk
dunia terdapat sebanyak 3,68 miliar jiwa (49,6 persen) perempuan. Artinya,
secara global terdapat 98 perempuan per 100 laki-laki. Sementara itu, di
Indonesia pada 2016 terdapat sekitar 128,72 juta penduduk perempuan (49,8
persen) dari sekitar 258,7 juta penduduk. Berarti secara nasional terdapat 99
perempuan per 100 laki-laki.
Perbandingan antara perempuan dan laki-laki meningkat seiring
dengan meningkatnya umur. Terdapat 101 perempuan per 100 laki-laki pada
kelompok umur 20 tahun ke atas dan terdapat 141 perempuan per 100 laki-laki
pada kelompok umur 70 tahun ke atas.
Ketimpangan
Dinamika demografis ini merupakan tantangan dan peluang yang harus diantisipasi agar tujuan-tujuan
pembangunan global dan nasional dapat dicapai secara optimal. Tujuan
pembangunan nasional mustahil dapat dicapai jika mengabaikan pembangunan
perempuan. Pembangunan nasional harus mengeliminasi ketimpangan pembangunan
perempuan jika negeri ini berkeinginan menjadi negara maju dan bermartabat.
Dalam skala global, pencapaian pembangunan perempuan memang
terlihat meningkat secara nyata. Laporan Program Pembangunan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) menunjukkan, secara
global indeks ketakadilan gender (IKG) telah menurun dari 0,560 tahun 2008
menjadi 0,449 pada tahun 2014.
IKG adalah suatu ukuran yang menangkap kehilangan kesempatan
yang disebabkan oleh ketimpangan dalam hal kesehatan reproduksi, partisipasi
politik, pendidikan, dan kesempatan kerja. Semakin kecil IKG, semakin baik
pencapaian pembangunan perempuan.
Akan tetapi, ketimpangan pembangunan perempuan dunia masih
menganga lebar. UNDP (2015) melaporkan bahwa IKG pada 2014 punya rentang yang
nyata antara 0,016 di Slovenia (urutan ke-1) dan 0,744 di Yaman (urutan
ke-155).
Di antara delapan negara Asia Tenggara (yang tersedia datanya),
IKG paling rendah terdapat di Singapura (0,088, urutan ke-13 secara global),
disusul Malaysia, Vietnam, Thailand, Myanmar, Filipina, dan Kamboja, serta
paling tinggi di Indonesia (0,494, urutan ke-110 secara global). Artinya,
ketimpangan dalam bidang kesehatan reproduksi serta partisipasi politik,
pendidikan, dan angkatan kerja paling parah di Indonesia. Kita kalah dengan
Vietnam, Myanmar, dan Kamboja. Ironis sekali!
Kita pelajari lebih dalam, di Indonesia-dalam hal pembangunan
kesehatan reproduksi-terjadi ketimpangan generasi, sosial, ekonomi, dan
wilayah yang mengkhawatirkan. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
2012 (Badan Pusat Statistik, 2013) menunjukkan, pada perempuan usia 15-49
tahun, akses terhadap pelayanan kesehatan maternal lebih rendah pada mereka
yang melahirkan anak yang keenam, tinggal di pedesaan, tidak pernah sekolah,
berasal dari keluarga paling miskin, dan tinggal di Papua.
Pemeriksaan kehamilan lebih rendah pada perempuan yang
melahirkan pada usia 35-49 tahun. Sementara persalinan di fasilitas kesehatan
dan oleh tenaga kesehatan terlatih serta pemeriksaan pasca melahirkan lebih
rendah pada perempuan yang melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun.
Pengentasan
ketimpangan
Pelayanan kesehatan maternal antara lain meliputi pemeriksaan
kehamilan oleh tenaga kesehatan terlatih, persalinan di fasilitas kesehatan
dan oleh tenaga kesehatan terlatih, serta pelayanan pasca melahirkan.
Pelayanan kesehatan maternal bermanfaat mendeteksi adanya komplikasi
kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan, serta memberikan pengetahuan
kepada perempuan dalam menjaga kesehatan, kehamilan, serta bayinya. Pelayanan
kesehatan maternal sangat penting untuk menurunkan tingkat kematian ibu dan
kelangsungan hidup bayi. Penurunan tingkat kematian ibu merupakan salah satu
target Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) yang tidak berhasil dicapai.
Pada sisi lain, remaja Indonesia mempunyai fertilitas yang
tinggi. Angka kelahiran pada perempuan usia 15-19 tahun di Indonesia
merupakan salah satu yang paling tinggi di Asia Tenggara. Hampir 10 persen
dari perempuan usia 15-19 tahun di Indonesia sudah menjadi ibu. Persentase
perempuan remaja yang sudah menjadi ibu lebih tinggi di pedesaan, pada
perempuan berpendidikan rendah, pada perempuan dari keluarga termiskin, dan
di Kalimantan Barat. Fertilitas remaja yang tinggi menurunkan kesempatan
perempuan untuk mencapai kualitas sumber daya manusia yang optimal dan
berpartisipasi dalam pembangunan.
Pemerintah dan semua insan Indonesia harus membangun perempuan
melalui penurunan IKG. Kita harus membangun bangsa ini melalui pembangunan
perempuan melalui pembangunan kesehatan reproduksi, memberi kesempatan yang
lebih luas dalam partisipasi perempuan dalam hal berpolitik, meningkatkan
pencapaian perempuan dalam bidang pendidikan, dan memberi akses
seluas-luasnya dalam hal kesempatan kerja.
Agenda pembangunan tentang pengentasan ketimpangan harus
dilaksanakan. Keadilan generasi, sosial, ekonomi, dan wilayah dalam hal
kesehatan reproduksi, partisipasi perempuan dalam politik, pendidikan, dan
kesempatan kerja merupakan salah satu faktor kunci pencapaian tujuan-tujuan
pembangunan nasional dan berkelanjutan. Selamat
Hari Kartini! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar